OPINI  

Urgensi Peningkatan PAD Pemda di Tanah Papua (1)

Samuel Pakage, intelektual dan pemerhati masalah Papua. Foto: Istimewa

Oleh Samuel Pakage

Intelektual dan Pemerhati Masalah Papua

PEMERINTAH Daerah di tanah Papua bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).

Sejak pelaksanaan UU Otsus Papua, pemerintah daerah ditugasi untuk mempercepat laju pertumbuhan dan perkembangan daerahnya serta memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Oleh sebab itu, pemerintah daerah wajib memenuhi anggaran pendapatan minimal yang merupakan target dari total pendapatan yang telah ditetapkan.

Bagi pemerintah daerah, kinerja pendapatan yang sangat baik adalah ketika pendapatan riil melampaui yang diproyeksikan dalam anggaran. Sedangkan kinerja pendapatan yang buruk adalah ketika pendapatan aktual tidak sesuai dengan yang diproyeksikan.

Realitas menunjukkan, hingga saat ini keuangan daerah di tanah Papua masih bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini terutama disebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih kecil sedangkan kebutuhan dana pembangunan sangat tinggi.

Dengan demikian, daerah membutuhkan dana transfer dari pusat (dana perimbangan) seperti DAU, DAK, dan DBH untuk menutup kesenjangan fiskal, menunjang pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan meskipun pemerintah pusat terus mendorong kemandirian fiskal daerah melalui perluasan kewenangan pajak dan retribusi daerah (local taxing power).

Ketergantungan ini adalah realitas sistem desentralisasi fiskal Indonesia, namun tujuannya adalah menuju kemandirian daerah agar pembangunan lebih berkelanjutan dan berdaya saing. Sebagai contoh, secara umum rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD pemerintah daerah di tanah Papua masih rendah dengan perkiraan rata-rata sekitar 23 persen pada tahun 2024.

Sementara sebagian besar pendapatan berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Kondisi ini menunjukkan, secara umum kemandirian fiskal daerah di tanah Papua masih cukup rendah, dan sekitar 77 persen APBD ditopang oleh dana transfer pusat.

Realitas ini menunjukkan daerah-daerah di tanah Papua belum maksimal menggali potensi pajak dan retribusi daerah, sehingga kontribusi PAD terhadap APBD masih kecil dibandingkan transfer dari pusat. Memang ada perbedaan signifikan dalam kemampuan ekonomi dan potensi sumber daya antar daerah, sehingga pemerintah pusat berperan sebagai penyeimbang melalui dana transfer untuk memastikan pemerataan pembangunan dan pelayanan publik di seluruh wilayah Indonesia.

Akibatnya, sebagian besar daerah mengandalkan transfer dari pusat sebagai tulang punggung pembiayaan daerah, dalam arti membantu daerah yang kurang mampu secara fiskal. Dana dari pusat menjadi stimulus utama untuk menggerakkan pembangunan daerah, membiayai program prioritas, dan memastikan kesejahteraan masyarakat terwujud.

Pertanyaan Penting

Pertanyaan besarnya, sampai kapan pemerintah daerah di tanah Papua bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat? Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah daerah di tanah Papua sebagai solusi agar tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat? Dalam penalaran yang wajar, tidaklah ideal jika keuangan pemerintah daerah di tanah Papua terlalu bergantung kepada pemerintah pusat.

Mengapa? Hal itu berdampak pada tidak optimalnya pelaksanaan pembangunan di tanah Papua. Perlu dicatat bahwa tanah Papua dikaruniai Tuhan dengan sumber daya alam yang melimpah, dan UU Otsus Papua juga memberi kewenangan kepada pemerintah daerah bersama masyarakat di tanah Papua untuk mengelola sumber daya alam (SDA). Tentu hal ini harus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah daerah di tanah Papua.

Dalam UU Otsus Papua secara jelas didefenisikan bahwa otonomi khusus adalah kewenangan khusus   yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.

Selanjutnya jika diperhatikan dalam konsiderans UU Otsus Papua sudah secara jelas menyatakan bahwa keberadaan UU tersebut adalah dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya, perlu diberi kepastian hukum.

Juga dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan otsus Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran.

Selain itu, melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat papua. Dengan demikian, meskipun tidak berisi norma yang berdiri sendiri, konsiderans memberikan kerangka normatif yang esensial bagi eksistensi dan penerapan norma-norma dalam UU Otsus Papua.

Kerangka Hukum dan Pendanaan

Dari konsiderans di atas menunjukkan UU Otsus Papua telah menyediakan kerangka hukum dan dukungan pendanaan awal yang memungkinkan daerah di tanah Papua untuk pembangunan fondasi ekonomi. Namun, peningkatan PAD yang berkelanjutan sangat bergantung pada kebijakan strategis dan optimalisasi sumber daya lokal yang efektif oleh pemerintah daerah itu sendiri.

Secara normatif, penerapan UU Otsus Papua sesungguhnya berkorelasi dengan upaya peningkatan PAD, meskipun relasi tersebut bersifat tidak langsung. Fokus utama UU Otsus adalah penyediaan dana transfer khusus dari pusat (dana otsus) untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan. Sedangkan peningkatan PAD mengandalkan optimalisasi potensi lokal dan kebijakan pemerintah daerah.

Kaitan antara peningkatan PAD di tanah Papua dengan UU Otsus ini antara lain dapat dilihat dari adanya pemberian kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah di tanah Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, termasuk dalam pengelolaan SDA alam dari potensi ekonomi lokal.

Kewenangan ini membuka peluang untuk mengoptimalkan sumber-sumber PAD. Adanya kewenangan ini sejatinya mampu mendorong pemerintah daerah untuk menggenjot sektor-sektor potensial selain tambang, seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan jasa kontruksi, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan PAD.

Realitas menunjukkan, walaupun ada upaya namun beberapa kajian menunjukkan, pemerintah daerah masih fokus pada dana transfer dari pusat (dana otsus), dan upaya untuk secara signifikan meningkatkan PAD dari sektor non-tambang masih terus diupayakan.

Realisasi PAD cenderung, berfluktuasi, dengan peningkatan signifikan sering kali didorong oleh pendapatan dari pajak perusahaan besar seperti Pajak Air Permukaan (PAP) PT Freeport Indonesia. Dengan demikian, salah satu hal yang perlu menjadi prioritas pemerintah daerah di tanah Papua adalah meningkatkan PAD melalui berbagai sektor agar perlahan tapi pasti tidak hanya bergantung pada dana otsus dari pusat.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka upaya peningkatan PAD di tanah Papua menjadi urgen dan harus fokus pada optimalisasi sumber daya lokal, pemberdayaan ekonomi kerakyatan (pertanian, UMKM), percepatan pembangunan infrastruktur (jalan, listrik, komunikasi) melalui dana tambahan infrastruktur serta pengelolaan dana otsus yang lebih efektif (2 persen dari DAU) untuk pendidikan,  kesehatan, dan pemberdayaan, dengan mengedepankan peran lembaga adat (MRP) dan pemerintah daerah dalam merumuskan peraturan daerah (Perdasus/Perdasi) untuk memperkuat kemandirian fiskal dan ekonomi secara berkelanjutan sesuai semangat UU Otsus Papua.

Kewenangan khusus yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengelola SDA sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Otsus tentu membuka ruang yang lebih luas untuk meningkatkan PAD. Pengelolaan SDA di tanah Papua dilakukan oleh pemerintah provinsi bersama masyarakat adat dengan mempertimbangkan kearifan lokal, dan mengacu pada prinsip kebersamaan, keadilan serta memberikan kewenangan lebih besar untuk mengelola potensi SDA di wilayahnya.

Ketentuan ini memberi ruang yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda yang mengatur pengelolaan SDA di wilayahnya. Pemberian otonomi khusus ini bertujuan agar masyarakat di tanah Papua dapat menikmati hasil pembangunan dan pengelolaan SDA secara wajar sesuai dengan amanat UU Otsus Papua sebagai upaya untuk pemerataan dan kesejahteraan. (Bagian pertama)