Oleh: Yakobus Dumupa
(Alumni SMA Teruna Bakti Waena, Ketua OSIS SMA Teruna Bakti Waena 2000-2001)
Pendahuluan
Sejarah pendidikan di Tanah Papua adalah sebuah kisah panjang tentang perjuangan, pengabdian, dan cinta yang tulus. Di balik setiap sekolah, ada kisah tentang orang-orang yang memberi diri, guru-guru yang setia, dan lembaga yang berjuang melawan segala keterbatasan demi mencerdaskan anak-anak Papua. Dalam kisah besar itu, nama Teruna Bakti menempati tempat istimewa.
Teruna Bakti bukan hanya nama sebuah sekolah. Ia adalah simbol perjalanan panjang pendidikan Katolik di Papua. Dari awalnya sebagai Sekolah Pendidikan Guru (SPG), hingga kemudian bertransformasi menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA), Teruna Bakti telah menjadi rumah belajar bagi ribuan anak muda Papua. Dari sekolah ini, lahir banyak guru, birokrat, rohaniwan, politisi, wiraswastawan, dan tokoh masyarakat yang mengabdikan diri bagi Gereja dan tanah air.
Artikel ini akan menelusuri sejarah berdirinya Teruna Bakti, maksud yang melatarbelakangi pendiriannya, kiprahnya dalam pembangunan Tanah Papua, dan arah masa depannya dalam semboyan yang penuh makna: Pro Ecclesia et Patria — Demi Gereja dan Tanah Air.
Sejarah Berdiri: Dari Fakfak ke Waena
Sejarah Teruna Bakti tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang pendidikan Katolik di Papua. Kisahnya dimulai pada tahun 1950 di Fakfak. Seorang misionaris Fransiskan, Pastor Oscar Cremers, OFM, menyadari kebutuhan mendesak akan tenaga guru di kampung-kampung. Saat itu, pendidikan formal di Papua masih sangat terbatas, dan sebagian besar guru berasal dari luar Papua.
Pastor Oscar Cremers menggagas pendirian Opleidingsschool Dorpsonderwijzers (ODO), atau Sekolah Guru Kampung. Tujuannya jelas: mendidik anak-anak Papua sendiri agar mereka bisa menjadi guru di kampung halaman mereka. Pendidikan ini bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal pengabdian. Para lulusan diharapkan kembali ke kampung untuk mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan nilai-nilai iman Katolik.
Lulusan pertama ODO keluar pada tahun 1953. Mereka segera menyebar ke berbagai pelosok Papua. Kehadiran mereka ibarat lilin kecil yang menyinari kegelapan, menyalakan api pengetahuan di tanah yang masih baru mengenal pendidikan formal. Dari sinilah benih Teruna Bakti tumbuh.
Perjalanan ODO tidak berhenti di Fakfak. Pada awal 1960-an, sekolah ini berpindah ke Nabire, kemudian Kokonao di Mimika, dan selanjutnya Biak. Perpindahan ini menandai dinamika yang dihadapi Gereja Katolik dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Setelah integrasi Papua ke Indonesia tahun 1963, ODO disesuaikan menjadi Sekolah Guru B (SGB), lalu berkembang menjadi Sekolah Guru Atas (SGA).
Tonggak penting terjadi pada tahun 1971, ketika sekolah ini dipindahkan ke Waena, Jayapura. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama SPG Teruna Bakti. Nama ini dipilih untuk melambangkan semangat kaum muda yang siap berbakti. Gedung sekolah dibangun di atas tanah hibah, salah satunya dari keluarga Ohee. Tahun 1971 menjadi penanda kelahiran lembaga yang kemudian menjadi salah satu pilar pendidikan Katolik terbesar di Papua.
SPG Teruna Bakti: Pusat Pencetak Guru Papua
Selama hampir dua dekade, dari tahun 1971 hingga 1990, SPG Teruna Bakti memainkan peran yang amat vital. Sekolah Pendidikan Guru memang didirikan untuk satu tujuan: mencetak tenaga guru sekolah dasar. Di Papua, kebutuhan guru sangat besar, sehingga lulusan SPG Teruna Bakti hampir selalu langsung mendapat penugasan ke berbagai daerah.
Bagi banyak orang Papua, guru-guru lulusan Teruna Bakti adalah cahaya pertama pendidikan di kampung mereka. Mereka datang dengan bekal ilmu seadanya, tetapi dengan hati penuh pengabdian. Mereka mengajar di kampung-kampung pegunungan, di kampung-kampung pesisir, hingga pulau-pulau kecil yang terpencil. Di tengah keterbatasan gaji, fasilitas yang minim, dan tantangan medan, mereka tetap setia mengabdi.
SPG Teruna Bakti bukan hanya tempat belajar akademik, melainkan juga pusat pembinaan karakter. Para siswa dibentuk dengan disiplin yang ketat, hidup sederhana, dan berakar pada iman Katolik. Nilai-nilai itu melekat kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka keluar dari sekolah, mereka membawa bukan hanya ijazah, tetapi juga jiwa pengabdian.
Transformasi Menjadi SMA Teruna Bakti
Perubahan besar datang pada awal 1990-an. Pemerintah pusat memutuskan untuk menutup semua SPG di Indonesia. Alasannya, fungsi SPG dianggap tumpang tindih dengan lembaga pendidikan guru di perguruan tinggi. Keputusan ini juga berlaku bagi SPG Teruna Bakti.
Namun, cerita tidak berakhir di situ. Para misionaris, guru, dan pengelola sekolah di bawah Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Fransiskus Asisi Jayapura tidak rela membiarkan Teruna Bakti hilang dari sejarah. Mereka memilih mengubah bentuk sekolah ini.
Pada 8 April 1991, berdasarkan SK Pendirian Nomor 09/K/I-Skep/4/1991, SPG Teruna Bakti resmi dialihfungsikan menjadi SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura. Kepala sekolah pertama SMA ini adalah Sr. Mariechen Warshon, DSY.
Sejak itu, Teruna Bakti melanjutkan kiprahnya dalam bentuk baru. Dari sekolah yang dulu mencetak guru, kini Teruna Bakti mencetak lulusan SMA yang bisa melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi dan bidang profesi. Namun, spiritnya tetap sama: mendidik generasi muda Papua yang beriman, berilmu, dan siap mengabdi.
Maksud Berdiri: Membentuk Kaum Muda untuk Mengabdi
Maksud berdirinya Teruna Bakti sejak awal tidak pernah berubah: mendidik kaum muda untuk mengabdi. Nama “Teruna Bakti” sendiri sudah menjadi pernyataan. “Teruna” berarti kaum muda, sedangkan “Bakti” berarti pengabdian. Dari nama ini kita tahu bahwa sekolah ini dibangun bukan semata-mata untuk mengejar prestasi akademik, tetapi untuk menumbuhkan generasi yang setia melayani.
Dalam tradisi Katolik, pendidikan dipandang sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Manusia tidak hanya dilatih pikirannya, tetapi juga hatinya. Teruna Bakti hadir untuk melahirkan generasi yang cerdas, tetapi juga berhati nurani; berwawasan luas, tetapi juga rendah hati; dan berakar dalam iman Katolik, tetapi terbuka kepada dunia.
Kiprah dalam Pembangunan Tanah Papua
Pertama, di bidang pendidikan. Pada masa SPG, ribuan guru yang dilahirkan sekolah ini menjadi peletak dasar pendidikan di pelosok Papua. Mereka mengajar di desa-desa yang jauh dari pusat kota, mendidik anak-anak yang sebelumnya tidak mengenal huruf dan angka. Pada masa SMA, Teruna Bakti melahirkan generasi yang melanjutkan pendidikan tinggi dan berkiprah sebagai guru, dosen, peneliti, dan pengelola lembaga pendidikan. Dengan cara ini, Teruna Bakti membentuk rantai panjang pembangunan pendidikan di Papua.
Kedua, di bidang Gereja. Sebagai sekolah Katolik, Teruna Bakti juga melahirkan banyak alumni yang memilih jalan hidup sebagai imam, suster, bruder, dan aktivis Gereja. Mereka melayani di paroki, keuskupan, maupun lembaga karya pastoral. Ada pula yang menjadi penggerak liturgi, musisi gereja, dan pendidik iman. Dengan cara ini, Teruna Bakti memberi kontribusi nyata bagi kehidupan Gereja Katolik di Papua.
Ketiga, di bidang sosial dan politik. Banyak alumni Teruna Bakti yang masuk ke dunia birokrasi dan politik. Mereka menjadi pegawai negeri, pejabat pemerintahan, anggota DPRD, bahkan kepala daerah. Ada pula yang berkiprah sebagai pengacara, jurnalis, aktivis LSM, dan tokoh masyarakat. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa Teruna Bakti telah membentuk kader yang memberi warna dalam dinamika sosial dan politik Papua.
Keempat, di bidang budaya dan olahraga. Teruna Bakti tidak hanya mengasah kemampuan akademik, tetapi juga menumbuhkan kreativitas dan semangat sportivitas. Sekolah ini aktif dalam kegiatan seni, budaya, dan olahraga. Ia sering tampil dalam festival budaya Papua, dan juga berpartisipasi dalam kompetisi olahraga seperti Honda DBL Papua Series di bidang basket. Kegiatan ini membentuk generasi yang sehat, kreatif, dan mencintai budaya Papua.
Masa Depan: Pro Ecclesia et Patria
Menghadapi masa depan, Teruna Bakti tidak bisa hanya berpuas diri dengan kejayaan masa lalu. Dunia terus berubah: globalisasi, teknologi digital, dan dinamika sosial-politik Papua menghadirkan tantangan baru. Namun, sekolah ini memiliki arah yang jelas, yaitu tetap setia pada semboyan: Pro Ecclesia et Patria.
Pro Ecclesia berarti Teruna Bakti harus terus melahirkan generasi muda yang berakar pada iman Katolik, siap melayani Gereja, dan memperjuangkan nilai kasih, keadilan, serta perdamaian.
Pro Patria berarti setiap alumni Teruna Bakti dipanggil untuk mengabdi kepada tanah air, khususnya Papua. Mereka harus menjadi manusia yang mencintai tanah kelahirannya, membangun masyarakat, menjaga alam, dan memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Masa depan Teruna Bakti juga terletak pada kekuatan jejaring alumninya. Ikatan Alumni Teruna Bakti (IATB) adalah aset yang besar. Dengan dukungan alumni, sekolah ini bisa menyediakan beasiswa, memperkuat mutu pendidikan, dan membuka peluang bagi generasi muda Papua untuk berkembang.
Penutup
Teruna Bakti adalah bagian penting dari sejarah Papua. Ia lahir dari semangat misi sederhana di Fakfak, tumbuh melalui dinamika di Nabire, Kokonao, dan Biak, berakar di Waena sebagai SPG, lalu bertransformasi menjadi SMA. Sejak awal, maksud berdirinya adalah jelas: mendidik kaum muda untuk beriman, berilmu, dan mengabdi.
Kiprahnya nyata dalam pembangunan Papua: mencetak guru, melahirkan rohaniwan, membentuk pemimpin sosial-politik, serta menumbuhkan kecintaan pada budaya dan olahraga. Kini, di tengah tantangan zaman, Teruna Bakti tetap dipanggil untuk setia pada semboyan: Pro Ecclesia et Patria.
Demi Gereja dan tanah air, Teruna Bakti akan terus menjadi mercusuar pendidikan Katolik di Papua, menyalakan harapan, dan membentuk generasi muda yang mencintai iman, tanah, dan bangsanya.
Selamat HUT Teruna Bakti yang ke 54, 1 September 2025.Pro Ecclesia et Patria!