GEMA tembakan di Gaza baru-baru ini bukan datang dari Israel. Rekaman yang beredar luas menunjukkan sejumlah pria dieksekusi di depan umum oleh orang-orang bersenjata yang mengenakan atribut Hamas. Hamas menyebut mereka sebagai “penjahat” dan “kolaborator”. Tetapi bagi dunia internasional, tindakan itu adalah extrajudicial killing—pembunuhan di luar proses hukum—yang secara terang melanggar hak asasi manusia. Peristiwa ini menunjukkan dengan telanjang satu kenyataan pahit: tanpa Israel pun, Gaza tetap berdarah.
Selama ini, narasi publik sering menyederhanakan penderitaan Gaza sebagai akibat agresi Israel semata. Memang benar, blokade dan serangan militer Israel telah menciptakan penderitaan mendalam bagi dua juta penduduk Gaza. Namun, di balik tembok blokade itu, Gaza juga menyimpan luka internal yang tak kalah serius: represi, fragmentasi kekuasaan, dan kekerasan antarfaksi bersenjata. Hamas, sebagai penguasa de facto sejak 2007, menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Eksekusi publik adalah bentuk paling kasar dari cara mempertahankan kendali atas wilayah dan masyarakat.
Gaza bukan wilayah yang damai bahkan ketika bom Israel berhenti jatuh. Ia adalah wilayah dengan jaringan faksi bersenjata yang saling berebut pengaruh: Hamas, Palestinian Islamic Jihad, klan-klan lokal, hingga kelompok kecil bercorak ekstremis. Dalam situasi seperti ini, kekerasan sering menjadi alat politik, bukan sekadar reaksi terhadap agresi luar. Eksekusi publik yang terjadi baru-baru ini adalah contoh bagaimana kekuasaan dijalankan melalui ketakutan, bukan hukum.
Potensi kekerasan semacam ini akan tetap hidup bahkan setelah kesepakatan perdamaian internasional tercapai. Perdamaian dengan Israel tidak otomatis berarti perdamaian di Gaza. Selama pemerintahan dijalankan secara represif dan masyarakat hidup di bawah bayang-bayang senjata, kekerasan akan menjadi bagian dari keseharian. Dalam kondisi sosial ekonomi yang tercekik blokade, ketegangan politik internal mudah meledak menjadi konflik berdarah antar kelompok Palestina sendiri.
Perdamaian sejati di Gaza hanya akan lahir jika ada perubahan mendasar di dalamnya. Tidak cukup hanya menghentikan serangan dari luar. Gaza membutuhkan pemerintahan yang menghormati hukum, ruang sipil yang bebas dari teror, dan rekonsiliasi politik internal yang nyata. Selama kekuasaan dijalankan dengan peluru, bukan keadilan, Gaza akan terus berdarah—dengan atau tanpa Israel.
Dunia internasional tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan ini. Mengakhiri perang Israel–Palestina penting, tetapi membiarkan kekerasan internal Hamas dan faksi bersenjata lainnya berarti hanya menukar satu bentuk luka dengan luka yang lain. Gaza tidak hanya membutuhkan perdamaian dari luar, tapi juga dari dalam. (Editor)