Suci di Bibir, Busuk di Hati

Suci di Bibir, Busuk di Hati. Gambar ilustrasi: Istimewa

Loading

PONDOK pesantren selalu dielu-elukan sebagai benteng moral bangsa. Tempat suci tempat anak-anak belajar agama, menjadi insan berakhlak. Tapi di balik pagar tinggi dan jubah para ustaz, ada kenyataan busuk yang selama ini ditutup-tutupi: pelecehan dan kekerasan seksual terhadap santri—terutama santriwati—yang dilakukan oleh orang yang mestinya menjadi teladan.

Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024, dari 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, 20 persen terjadi di pesantren dan madrasah. Dan dari semua bentuk kekerasan itu, 42 persen adalah kekerasan seksual. Ini bukan angka kecil, bukan cerita satu-dua pesantren “oknum”. Ini pola. Pola yang berulang. Pola yang dibiarkan membusuk.

Para pelaku bukan orang asing. Mereka adalah guru ngaji, ustaz, bahkan kyai. Orang-orang yang posisinya dipuja bak manusia suci. Saat tangan mereka menyentuh tubuh anak-anak tak berdaya, suara korban terkubur dalam ketakutan. Siapa berani melawan simbol agama? Bahkan ketika kejahatan terbongkar, suara-suara itu diredam demi menjaga “nama baik pesantren”.

Ironi terbesar adalah budaya diam. Kasus pemerkosaan santriwati disapu rapi seperti debu di kolong sajadah. Pelaku dilindungi, korban disalahkan. Masyarakat lebih sibuk membela reputasi pesantren ketimbang membela anak-anak yang direnggut masa depannya. Negara datang terlambat, lembaga agama berpura-pura buta, dan masyarakat… memilih sunyi.

Jika pesantren benar-benar benteng moral, mengapa dari balik tembok suci itu muncul jeritan anak-anak yang diperkosa oleh orang berjubah? Agama tidak mengajarkan pelecehan. Yang mencederai agama bukan pengkritik pesantren, tapi para bajingan berbaju ustaz yang menjadikan ayat suci sebagai tirai untuk menyembunyikan kejahatan.

Lebih busuk lagi: kejahatan ini kerap dianggap “aib” yang harus ditutup-tutupi, bukan kejahatan yang harus dihukum seberat-beratnya. Maka para predator terus berkeliaran dengan jubah kesalehan, sementara korban ditinggalkan dalam gelap, membawa luka seumur hidup.

Pesantren bukan lagi tempat suci bila anak-anak dipaksa diam. Tak ada kesucian dalam lembaga yang membiarkan pemerkosa berdakwah di atas penderitaan santrinya. Jika nama baik lebih penting dari keadilan, maka itu bukan pesantren—itu sarang pemangsa.

Agama tak perlu dibela dari kritik. Yang harus dibasmi adalah kebusukan yang merajalela di balik klaim kesalehan. Sebab di dunia ini, tak ada topeng yang lebih menjijikkan daripada kesalehan palsu yang melindungi kejahatan seksual. (Editor)