Oleh Agus Sumule
Akademisi Universitas Papua, Manokwari
KETIKA Belanda mulai lebih intensif `mengembangkan’ pemerintah di wilayah Papua, yang waktu itu dikenal dengan nama Nederlands Nieuw Guinea, ada enam afdeling yang dibentuk. Salah satunya adalah Afdeling Manokwari dengan enam onderafdeling yaitu Sorong, Raja Ampat, Manokwari, Ransiki, Teminabuan, dan Bintuni.
Di Onderafdeling Manokwari sendiri dibangun beberapa kompleks perumahan penting yang terkait dengan pengembangan pemerintahan maupun industri. Di daerah yang kita kenal sebagai Kampung Ambon sekarang ini dibangun perumahan untuk para pegawai kantor controller dan polisi.
Di Sanggeng dibangun perumahan untuk para pekerja galangan kapal (sekarang Fasharkan TNI AL) dan perusahaan kayu. Di Amban dibangun perumahan untuk para pegawai Lembaga Penelitian Pertanian (kemudian menjadi bagian dari Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, dan berkembang menjadi Universitas Papua). Kemudian, di Reremi serta Kampung Ambon Atas dibangun perumahan untuk para pegawai dengan eselon yang lebih tinggi.
Pada awalnya, para karyawan galangan kapal maupun perusahaan kayu milik pemerintah hidup relatif baik di daerah Sanggeng, karena gaji yang mereka terima dari perusahaan. Keadaan tersebut masih berlangsung sesudah Irian Barat kembali ke NKRI sampai sekitar 1980-an.
Sesudah itu, secara bertahap para karyawan di industri galangan kapal maupun perusahaan kayu mulai pensiun karena usia. Sesuai aturan, mereka tetap berhak menghuni perumahan yang masih ditempati hingga sekarang.
Namun, yang menjadi masalah, para penghuni perumahan itu sudah bukan lagi hanya satu keluarga, tetapi berkembang menjadi beberapa keluarga per rumah. Tidak banyak di antara para anak dan cucu dari para karyawan tersebut yang memperoleh pekerjaan yang layak. Apalagi sesudah galangan kapal maupun perusahaan kayu itu praktis sudah tidak berfungsi lagi karena satu dan lain hal.
Di sisi lain, daerah di sekitar Sanggeng berkembang lebih cepat. Ada pasar, pertokoan, pompa bensin, dan lain-lain. Hanya sedikit dari warga Sanggeng yang bisa terserap untuk memperoleh pekerjaan di berbagai kegiatan perdagangan ini.
Semua situasi di atas ini, menurut hemat saya, menciptakan rasa teralienasi atau termarginalkan di kalangan mereka yang dahulu pernah menonjol dalam perekonomian di daerah Sanggeng.
Keadaan ini lebih diperparah karena generasi yang ada sekarang ini tidak terlatih untuk menjadi nelayan atau bertani, atau tidak memiliki akses ke fasilitas melaut maupun berkebun. Akibatnya, mereka sangat bergantung hidup pada pekerjaan-pekerjaan informal (kerja serabutan), berjualan pinang/buah sukun, dan lain-lain yang tidak menentu, dan penghasilannya pun terbatas.
Situasi ini berbeda, misalnya, dengan mereka yang bermukim di Amban yang umumnya bekerja di bidang pertanian. Umumnya memiliki kebun-kebun yang bisa menghidupi sebagian besar anak dan cucu ketika mereka pensiun dari pegawai di Lembaga Penelitian, Faperta Uncen atau Unipa.
Itu berarti diperlukan intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memberikan peluang kerja dan tempat tinggal yang layak bagi banyak keluarga muda. Termasuk anak-anak muda yang belum menikah, yang hingga sekarang masih tinggal di rumah-rumah orang tua di daerah Sanggeng tersebut.
Menurut hemat saya kalau dua soal penting ini: (i) lapangan kerja, dan (ii) rumah yang layak bagi setiap keluarga, bisa tersedia, maka tingkat kriminalitas di Sanggeng akan menurun drastis.
Pada tahun 2007, saya mengikuti Gubernur Papua, Barnabas Suebu berkunjung ke Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Di situ saya menyimak Gubernur Alex Noerdin berbagi pengalaman dengan Gubernur Papua, khususnya penyediaan rumah bagi rakyat miskin.
Pengalaman Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan seyogyanya bisa diterapkan juga di Papua. Tahapnya sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah perlu membebaskan kawasan yang memadai untuk membangun perumahan murah ini.
Kedua, di atas lahan itu, yang perlu dimatangkan terlebih dahulu (dibuat saluran drainase, jalan lingkungan, air bersih, listrik), dibangun perumahan rakyat yang sejak awal dibuat semurah mungkin. Misalnya luas bangunan cukup 28 m2 (satu kamar tamu, satu kamar tidur, dapur kecil, dan kamar mandi/WC).
Dinding luar tidak perlu diplester, diding dalam diplester secukupnya, lantai cukup semen kasar, langit-langit tidak perlu dipasangi plafon, dan WC cukup kloset jongkok yang murah namun baik. Yang penting, luas tanah untuk bangunan-bangunan tersebut cukup besar, misalnya 20 x 20 atau 20 x 15 meter.
Ketiga, para penghuni cukup membayar Rp 10.000 setiap hari untuk mencicil biaya pembangunan rumah. Pasti tiap keluarga mampu mencari Rp 10.000 setiap hari. Entah dari berjualan pinang, bekerja buruh, ojek, dan sebagainya. Dalam setahun tercicil sebesar Rp 3.650.000 Dalam 10 tahun biaya pembangunan rumah itu sudah lunas.
Saya yakin, tidak saja para keluarga tersebut mampu mencicil rumah sangat sederhana yang dibangunkan oleh pemerintah tersebut. Namun, mereka pasti mampu memperbesarnya sehingga menjadi rumah tinggal yang lebih besar dan layak dalam jangka waktu 10-20 tahun sejak mereka bermukim di rumah tersebut.
Penanganan masalah Sanggeng dan pemukiman-pemukiman serupa,di banyak tempat di Papua membutuhkan kontribusi dari banyak pihak, termasuk pemerintah daerah. Untuk kasus pembangunan rumah seperti yang saya kemukakan di atas, kontribusi pemerintah tidak perlu terlalu besar, karena pada akhirnya masyarakat akan melunasi pengeluaran itu dengan mencicil harian.
Yang paling penting Pemda menyediakan lahan buat kaum miskin orang asli Papua di kota. Kalau bisa kasih tanah 2 hektar buat orang-orang miskin dari Tanah Sabrang datang ke Papua, lengkap dengan jalan dan banyak fasilitas lainnya (sekolah, klinik, masjid, gereja), tidak masuk akal kalau Pemda di Papua tidak bisa menyediakan tanah bagi rakyatnya sendiri. Demikian saran pemikiran saya. Mudah-mudahan menolong.










