FENOMENA relawan politik di Indonesia selalu menarik untuk dicermati. Pada pemilihan presiden 2014 dan 2019, ribuan relawan lahir dan mengusung nama Joko Widodo sebagai simbol harapan perubahan. Mereka mengklaim sebagai kekuatan rakyat, bekerja tanpa pamrih demi “Indonesia baru”. Namun, kini, setelah dua periode Jokowi hampir berakhir, sebagian dari mereka berbondong-bondong mengalihkan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming. Pertanyaan penting muncul: apakah benar Prabowo membutuhkan relawan-relawan itu? Ataukah justru para relawan itulah yang kini membutuhkan Prabowo demi bertahan dekat dengan lingkar kekuasaan?
Secara politik, Prabowo tidak kekurangan mesin. Ia didukung partai-partai besar yang mapan, punya jaringan struktural dari pusat hingga desa, serta memiliki akses penuh terhadap sumber daya negara karena menggandeng putra Presiden. Kehadiran relawan lama Jokowi yang “bermigrasi” tampaknya tidak lagi menentukan. Dukungan mereka hanya menambah warna, bukan menentukan arah. Dalam kalkulasi politik yang realistis, Prabowo jauh lebih membutuhkan kekuatan partai dan aparatur dibandingkan kelompok relawan oportunis.
Sebaliknya, dari sisi relawan, pergeseran dukungan ini mencerminkan sebuah strategi bertahan hidup. Relawan bukan lagi sekadar gerakan moral atau idealisme rakyat, melainkan wadah mobilisasi kepentingan. Setelah Jokowi selesai memimpin, mereka kehilangan sumber daya, akses, dan panggung politik. Agar tetap relevan, mereka harus menemukan “rumah baru” yang menjanjikan kelanjutan kekuasaan. Maka, pilihan jatuh pada Prabowo-Gibran, pasangan yang dianggap sebagai penerus langsung pengaruh Jokowi. Dengan kata lain, bukan Prabowo yang membutuhkan relawan, melainkan relawan yang membutuhkan Prabowo agar tidak ditinggalkan sejarah.
Fenomena ini memperlihatkan wajah ganda politik relawan di Indonesia. Di satu sisi, mereka mengaku mewakili aspirasi rakyat; di sisi lain, mereka kerap bergerak mengikuti arah angin kekuasaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi nilai dan integritas perjuangan. Jika relawan benar-benar digerakkan oleh idealisme, mestinya mereka berani mengambil sikap kritis terhadap kekuasaan, bukan sekadar menempel pada siapa pun yang sedang atau akan berkuasa.
Lebih jauh, publik justru mulai melihat relawan semacam ini sebagai beban moral, bukan kekuatan politik. Mereka menjadi simbol pragmatisme politik yang mengikis kepercayaan masyarakat. Dukungan yang mudah berpindah membuat mereka kehilangan kredibilitas, bahkan bisa menjadi liabilitas bagi Prabowo. Sebab, rakyat dapat menilai bahwa pasangan Prabowo-Gibran hanya menjadi magnet bagi kelompok-kelompok pencari rente politik, bukan gerakan rakyat sejati.
Pada akhirnya, peralihan relawan dari Jokowi ke Prabowo bukanlah tentang siapa yang akan menang, melainkan tentang siapa yang bisa tetap bertahan di dekat singgasana kekuasaan. Publik patut mengingatkan bahwa politik relawan seharusnya bukan jalan pintas untuk mencari tempat aman, melainkan ruang bagi rakyat untuk mengontrol kekuasaan. Jika relawan hanya sibuk memastikan diri mereka tidak kehilangan kursi di meja kekuasaan, maka rakyatlah yang sejatinya ditinggalkan. (Editor)










