Oleh Silwanus Sumule
ASN–Obginsos dan Kandidat Doktor Hukum Universitas Hasanuddin, Jayapura
Akhir tahun selalu datang membawa ruang untuk berhenti sejenak. Bagi sebagian orang, ia adalah waktu merayakan pencapaian. Bagi dokter, terutama di Papua, akhir tahun sering kali justru menjadi waktu mengingat kembali wajah-wajah yang tidak berhasil diselamatkan.
Berita kematian dalam pelayanan medis selalu memuat dua beban sekaligus: duka yang sah dan manusiawi bagi keluarga serta kecurigaan yang hampir otomatis diarahkan kepada dokter. Namun satu hal penting: tetap teguh di tengah duka, tetap profesional di tengah sengketa.
Di titik inilah profesi kedokteran diuji, bukan hanya oleh ilmu, tetapi oleh keteguhan batin. Tidak setiap kematian adalah kesalahan. Tidak setiap kegagalan medis adalah pelanggaran profesi.
Sejak awal, kedokteran bukan ilmu kepastian, melainkan ilmu kemungkinan —ilmu yang bekerja di wilayah risiko, keterbatasan biologis, dan ketidakpastian klinis. Para dokter memahami kenyataan ini. Namun publik sering kali tidak demikian.
Di Papua, tantangan itu berlapis. Keterbatasan fasilitas, jarak rujukan yang panjang, kondisi geografis yang keras, serta beban kerja yang tinggi, berjalan beriringan dengan tuntutan moral untuk selalu berhasil. Seolah kegagalan tidak diberi ruang kemanusiaan.
Ketika tragedi medis terjadi, emosi publik kerap mendahului proses ilmiah. Media sosial menyederhanakan peristiwa yang kompleks. Cerita dibelah menjadi hitam dan putih. Jika ada yang meninggal, maka harus ada yang salah.
Dalam situasi seperti inilah dokter dituntut tetap berdiri tegak. Tetap bekerja profesional. Tetap setia pada sumpah kedokteran. Tetap menjunjung tinggi martabat profesi, bahkan ketika kepercayaan publik sedang diuji. Ini bukan perkara mudah.
Beban psikologis sengketa medis jarang terlihat, tetapi nyata dirasakan. Ada dokter yang pulang membawa rasa bersalah meski tidak lalai. Ada yang menyimpan duka yang tidak pernah masuk laporan. Ada yang keesokan harinya kembali masuk ruang tindakan, meski malam sebelumnya berhadapan dengan kematian.
Tak Menafikan Duka
Catatan ini tidak ditulis untuk menafikan duka keluarga pasien. Duka mereka sah, dan harus dihormati. Namun keadilan tidak boleh lahir dari kemarahan semata. Ia harus tumbuh dari pemeriksaan yang jujur, objektif, dan berbasis ilmu.
Jika terbukti ada kelalaian, pelanggaran etik, atau penyimpangan prosedur, maka hukum harus berjalan. Tidak ada dokter yang kebal. Tetapi jika tidak ada kesalahan profesional, dokter juga berhak atas perlindungan.
Sistem kesehatan yang sehat bukan sistem yang menghukum setiap kegagalan, melainkan sistem yang mampu membedakan dengan jernih antara risiko medis dan kesalahan profesional.
Jika ketakutan dibiarkan menguasai praktik kedokteran, dokter akan menghindari kasus berat, rujukan akan tertunda, dan pada akhirnya pasienlah yang paling dirugikan.
Di akhir tahun ini, kepada para dokter di Papua, catatan ini hendak menyampaikan satu pesan sederhana namun mendalam: Tetaplah teguh. Tetaplah bekerja dengan ilmu, hati nurani, dan integritas.
Tetaplah siap siaga menghadapi sengketa medis, tanpa kehilangan kemanusiaan. Dan tetaplah percaya bahwa profesi ini luhur, meski tidak selalu dipahami. Di antara duka keluarga dan beban dokter, kita hanya bisa melangkah dengan satu pegangan: kejujuran ilmiah, etika profesi, dan keberanian untuk tetap manusia.
Karena tidak semua tragedi bisa kita kendalikan. Namun martabat profesi selalu bisa kita jaga. Dan di atas semuanya, iman mengajarkan bahwa panggilan tidak selalu bebas dari kesesakan, tetapi selalu menuntut keteguhan: “Bersukacitalah dalam pengharapan. Sabarlah dalam kesesakan dan bertekunlah dalam doa” (Roma 12:12).
Ayat ini mengingatkan bahwa pengharapan tidak selalu berarti keberhasilan klinis, kesabaran tidak selalu berarti bebas dari tuduhan, dan ketekunan bukan berarti tidak Lelah —melainkan tetap setia pada panggilan, bahkan ketika hasilnya tidak seperti yang diharapkan.










