OPINI  

Proposal Perdamaian Trump dan Pasukan Stabilisasi Internasional: Kemenangan Israel di Meja Diplomasi

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

DUKUNGAN dunia terhadap Palestina meningkat pesat ketika Mahkamah Internasional menyatakan pendudukan Israel bertentangan dengan hukum internasional dan Sidang Umum PBB menetapkan tenggat penarikan pasukan Israel. Banyak pihak melihat situasi itu sebagai titik balik karena negara-negara dari berbagai kawasan mulai bersuara bulat mendukung terbentuknya negara Palestina. Gelombang dukungan moral dan hukum tersebut memberi harapan baru bahwa perjuangan panjang rakyat Palestina akhirnya memasuki babak penting dalam sejarah politik internasional.

Namun kondisi itu berubah cepat setelah Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump meluncurkan 20-Point Peace Plan for Gaza. Rencana tersebut kemudian diperkuat oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 2803 yang membentuk International Stabilization Force (ISF) dan Board of Peace (BoP) sebagai struktur transisi di Gaza. Langkah ini mengalihkan fokus dunia dari isu kemerdekaan menuju agenda stabilisasi. Perubahan ini menunjukkan bagaimana Israel, dengan dukungan penuh Amerika Serikat, berhasil memanfaatkan mekanisme diplomasi internasional untuk menahan tekanan global dan menjaga posisi strategisnya di kawasan.

Momentum Pro-Palestina di Tingkat Global

Sebelum rencana Trump diumumkan, dukungan internasional terhadap Palestina mencapai puncaknya. Putusan Mahkamah Internasional pada 2024 menyatakan bahwa keberadaan Israel di wilayah pendudukan melanggar hukum internasional dan menegaskan kewajiban penarikan pasukan. Putusan tersebut menjadi dasar moral yang kuat bagi negara-negara anggota PBB untuk menekan Israel menghentikan pendudukan. Tak lama kemudian, Sidang Umum PBB menetapkan 13 September 2025 sebagai batas akhir penarikan pasukan Israel, yang memperkuat keyakinan bahwa negara Palestina mungkin segera terwujud.

Banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menyuarakan dukungan tegas terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina. Gelombang dukungan ini menimbulkan kesan bahwa dunia bergerak menuju arah yang lebih berkeadilan. Negara-negara yang sebelumnya pasif mulai berbicara lebih lantang, sedangkan negara besar mempertimbangkan ulang posisi politik mereka. Situasi ini menempatkan Israel dalam posisi defensif secara diplomatik, meskipun tetap kuat secara militer di lapangan.

Namun dukungan Sidang Umum tidak memiliki kekuatan mengikat. Ini menjadi celah penting yang dimanfaatkan Amerika Serikat. Dengan memindahkan isu Gaza dari Sidang Umum—yang cenderung pro-Palestina—ke Dewan Keamanan, Amerika Serikat mengubah arena pertempuran diplomatik. Dewan Keamanan memiliki otoritas yang jauh lebih besar untuk mengatur mekanisme keamanan dan pemerintahan, sehingga lebih mudah diarahkan menuju solusi yang menguntungkan pihak tertentu.

Isi Proposal Perdamaian Trump dan Implikasinya

Rencana perdamaian yang diumumkan Trump menawarkan serangkaian langkah yang diklaim sebagai solusi komprehensif bagi konflik Gaza. Rencana ini memuat gencatan senjata bertahap, pertukaran sandera dan tahanan, serta penataan ulang administrasi Gaza. Selain itu, rencana tersebut menjanjikan pembangunan ekonomi berskala besar sebagai bagian dari pemulihan Gaza setelah konflik yang berkepanjangan. Permukaan rencana ini terlihat sebagai upaya memulihkan kondisi kemanusiaan yang memburuk.

Namun isi rencana tersebut menunjukkan fokus besar pada kepentingan keamanan Israel. Salah satunya adalah ketentuan bahwa Hamas tidak lagi boleh memegang kekuasaan di Gaza dan seluruh kelompok bersenjata Palestina harus dilucuti. Selain itu, Gaza harus dikelola oleh badan transisi yang dipimpin pihak internasional yang sejalan dengan Amerika Serikat. Rencana ini memperkenalkan Board of Peace sebagai lembaga pengawas administrasi Gaza hingga akhir 2027, yang berarti otoritas lokal tidak memiliki kendali penuh selama masa transisi.

Penyebutan kemungkinan pembentukan Palestinian state dalam rencana tersebut tidak disertai peta jalan yang jelas. Janji itu ditempatkan sebagai opsi jangka panjang yang sangat bergantung pada situasi keamanan. Dengan kata lain, rencana ini tidak secara konkret mengarahkan Palestina menuju kemerdekaan. Sebaliknya, ia menghadirkan skema stabilisasi yang membuat Gaza bergantung pada negara-negara besar dalam pengelolaan keamanan dan administrasi.

Banyak analis menilai rencana ini sebagai pengalihan isu. Dengan menekankan stabilitas dan rekonstruksi, Amerika Serikat berhasil mengganti isu politik yang sensitif menjadi persoalan teknis. Pergeseran kerangka inilah yang menjadi inti keberhasilan strategi diplomasi mereka, karena mengurangi tekanan terhadap Israel untuk berdialog mengenai status politik Palestina.

Pemindahan Medan Diplomasi ke Dewan Keamanan

Setelah proposal Trump diumumkan, langkah berikutnya adalah membawanya ke Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan memiliki otoritas membuat keputusan yang mengikat di bidang keamanan global. Amerika Serikat melakukan lobi intensif kepada negara anggota tetap dan tidak tetap untuk mendukung rencana tersebut. Narasi yang dibangun adalah bahwa Gaza memerlukan solusi cepat yang dapat diterapkan di lapangan, bukan perdebatan panjang di Sidang Umum.

Dalam pembahasan di Dewan Keamanan, Amerika Serikat menggambarkan proposal Trump sebagai satu-satunya rencana yang realistis. Negara-negara Eropa dan beberapa negara Timur Tengah mulai menganggap rencana tersebut sebagai kompromi yang dapat mengakhiri konflik. Setelah serangkaian negosiasi, Dewan Keamanan akhirnya mengadopsi Resolusi 2803 pada 17 November 2025. Resolusi ini secara resmi memberikan mandat internasional bagi rencana Trump dan menetapkan struktur transisi di Gaza.

Keputusan ini memperlihatkan pergeseran besar dalam dinamika diplomasi internasional. Oleh karena resolusi Dewan Keamanan bersifat mengikat, maka resolusi Sidang Umum yang pro-Palestina secara praktis tersingkir dari pembahasan. Amerika Serikat berhasil mengalihkan isu Gaza ke forum yang lebih menguntungkan, sehingga tekanan global terhadap Israel berhasil diredam dengan cara yang sangat efektif.

International Stabilization Force dan Struktur Transisi Baru

International Stabilization Force dibentuk sebagai pasukan multinasional yang bertugas menjaga keamanan, memastikan gencatan senjata, serta mencegah remiliterisasi Gaza. Pasukan ini bukan bagian dari blue helmets PBB, melainkan koalisi negara-negara yang memiliki kepentingan sejalan dengan Amerika Serikat. Dengan kerangka seperti itu, ISF bekerja bukan sebagai pasukan netral, tetapi sebagai instrumen keamanan yang menegakkan stabilitas sesuai kepentingan negara-negara pendukungnya.

Board of Peace berperan sebagai badan pemerintahan transisi yang mengelola distribusi bantuan, rekonstruksi, dan administrasi publik di Gaza. Walaupun melibatkan aktor lokal, struktur kekuasaan BoP tetap didominasi oleh pihak internasional. Artinya, selama masa mandat, Gaza tidak memiliki kontrol penuh atas kebijakan internalnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana masyarakat Palestina benar-benar memiliki kedaulatan dalam menentukan masa depan mereka.

Berbagai pihak mengkritik pembentukan ISF dan BoP. Hamas menolak resolusi tersebut dan menyebut ISF sebagai bentuk pendudukan yang dilegalkan. Beberapa akademisi hukum internasional menilai bahwa skema baru ini mengaburkan kewajiban Israel untuk mengakhiri pendudukan. Sementara itu, kelompok masyarakat sipil berpendapat bahwa struktur ini justru memperpanjang ketergantungan Gaza pada pihak luar dan tidak menyelesaikan akar persoalan politik.

Kritik tersebut menunjukkan bahwa meskipun ISF membawa stabilitas jangka pendek, struktur transisi ini lebih menguntungkan Israel dan Amerika Serikat. Gaza memperoleh ketenangan relatif tanpa kemajuan signifikan menuju kemerdekaan.

Kemenangan Israel dalam Diplomasi Global

Jika melihat seluruh rangkaian peristiwa ini, tampak jelas bahwa Israel meraih kemenangan strategis di meja diplomasi. Peralihan fokus dunia dari isu pendudukan ke isu stabilisasi mengurangi tekanan internasional yang sebelumnya sangat kuat. Dengan dukungan Amerika Serikat, Israel berhasil mengarahkan pembahasan ke mekanisme yang memprioritaskan keamanan dan mengalihkan perhatian dari tuntutan politik Palestina.

Pembentukan ISF memberi Israel jaminan keamanan internasional tanpa perlu menghadirkan pasukan militernya secara langsung. Selain itu, BoP memastikan bahwa Gaza dikelola dalam kerangka yang dapat dipantau secara ketat oleh negara-negara besar. Pada saat yang sama, narasi global berubah dari pembicaraan tentang kemerdekaan Palestina menjadi pembahasan teknis mengenai rekonstruksi dan tata kelola.

Kemenangan ini bukan hanya hasil kekuatan militer, tetapi juga keberhasilan strategi diplomasi Amerika Serikat. Dengan menguasai forum yang memiliki otoritas legal, mereka dapat membingkai ulang persoalan sesuai kepentingan kedua negara. Sidang Umum yang pro-Palestina menjadi kurang relevan setelah Dewan Keamanan mengambil alih arah pembahasan.

Penutup: Stabilitas yang Tidak Menyentuh Akar Persoalan

ISF mungkin akan membawa ketenangan jangka pendek bagi Gaza, dan BoP mungkin akan membantu memperlancar proses rekonstruksi. Namun stabilitas yang dibangun melalui mekanisme transisi ini tidak menyentuh inti persoalan, yaitu hak rakyat Palestina atas tanah dan kedaulatan mereka. Selama akar konflik tidak ditangani, setiap rencana perdamaian hanya menjadi tampilan teknis yang menunda penyelesaian isu yang lebih besar.

Proposal Perdamaian Trump dan pembentukan ISF bukan langkah menuju kemerdekaan Palestina, melainkan kemenangan Israel dalam menguasai kembali narasi internasional. Dengan memanfaatkan kekuatan geopolitik, Amerika Serikat berhasil menggantikan agenda kemerdekaan dengan agenda stabilisasi yang lebih menguntungkan Israel. Situasi ini menunjukkan bahwa dalam politik global, kekuatan diplomatik sering kali lebih menentukan daripada konsensus moral dunia.