PERISTIWA politik menarik terjadi pada Sabtu, 1 November 2025, ketika Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, secara terbuka meminta izin kepada para relawan Projo untuk bergabung ke Partai Gerindra dalam Kongres III Projo di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan. Di hadapan ribuan relawan dan Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Budi Arie menyatakan: “Saya minta izin kepada teman-teman, saya akan masuk ke Partai Gerindra, partai yang dipimpin Presiden Prabowo.”
Pernyataan itu sontak menjadi sorotan nasional. Banyak pengamat menilai langkah Budi Arie sebagai tanda menjauhnya Projo dari Jokowi dan berpindah haluan ke Prabowo. Bahkan sejumlah analis menyebutnya sebagai simbol berakhirnya era politik relawan Jokowi dan lahirnya era baru di bawah Prabowo. Namun, pandangan semacam itu terlalu dangkal bila tidak dibaca dari konteks strategi politik Jokowi yang lebih halus, sistematis, dan jangka panjang.
Secara faktual, Projo lahir sebagai gerakan relawan Jokowi sejak 2013 dan menjadi basis sosial terbesar yang menopang dua kali kemenangannya (2014 dan 2019). Jokowi bukan hanya pendiri moral gerakan ini, melainkan juga simbol sentral yang menyatukan jaringan relawan lintas daerah dan profesi. Karena itu, mustahil langkah sebesar bergabungnya Projo ke Gerindra dilakukan tanpa komunikasi dan restu Jokowi.
Pendekatan politik yang lebih rasional justru menunjukkan bahwa Jokowi memberi restu langkah Budi Arie demi menjaga kesinambungan komunikasi dan hubungan strategis dengan Presiden Prabowo Subianto. Dengan posisi Jokowi sebagai tokoh senior nasional yang tidak lagi menjabat presiden, keberadaan Projo di bawah Gerindra menjadi jembatan politik non-formal antara Jokowi dan Prabowo — sebuah kanal pengaruh yang tetap menghubungkan keduanya di luar struktur pemerintahan.
Dukungan ini juga diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada 4 November 2025, yang mengatakan: “Relawan memang seharusnya menginduk kepada presiden, agar program pemerintahan berjalan selaras.”
Pernyataan Gibran bukan sekadar komentar biasa, melainkan kode politik yang menunjukkan kesinambungan garis Jokowi dalam mendukung langkah relawan Projo menyesuaikan diri dengan realitas politik baru. Dengan kata lain, Jokowi tidak ditinggalkan, tetapi menempatkan Projo sebagai representasinya di lingkaran pemerintahan Prabowo–Gibran.
Dari sudut pandang geopolitik kekuasaan, Jokowi sedang memainkan politik jembatan — strategi klasik pemimpin yang ingin menjaga kesinambungan pengaruh setelah masa jabatan berakhir. Ia tahu bahwa kedekatannya dengan Gerindra penting untuk memastikan transisi kekuasaan tetap harmonis, sekaligus mengamankan warisan kebijakan dan jejaring loyalisnya.
Dengan langkah ini, Projo berubah peran: dari mesin relawan elektoral menjadi simbol kesinambungan dua kekuatan besar — Jokowi dan Prabowo. Mereka bukan dua kutub yang berseberangan, tetapi dua figur yang kini dipersatukan oleh kepentingan bersama menjaga stabilitas politik nasional.
Maka, ketika publik menilai Projo telah meninggalkan Jokowi, sebenarnya Projo justru menjalankan misi Jokowi: memastikan bahwa kekuatan relawan tidak tercerai-berai, melainkan tetap hidup dalam orbit pemerintahan baru. Budi Arie hanyalah operator politik dari skenario yang dirancang matang oleh Jokowi — menjaga pengaruh tanpa harus tampil di garis depan.
Langkah ini bukan sekadar adaptasi, melainkan strategi pengaruh jangka panjang. Dalam politik Indonesia yang cair dan berbasis figur, kemampuan Jokowi menanam “wakil relawan” di kubu penguasa adalah bentuk kecerdikan politik tingkat tinggi: diam, tapi tetap menentukan arah. (Editor)










