WACANA Partai Golkar mengenai pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali menguat dalam perayaan HUT ke-61 Golkar pada 5 Desember 2025 di Istora Senayan, Jakarta. Dalam forum itu, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar Pilkada tidak lagi berlangsung secara langsung, melainkan melalui DPRD sebagai lembaga representasi politik daerah. Presiden Prabowo Subianto, yang hadir dalam kegiatan tersebut, menilai usulan ini layak dipertimbangkan karena berkaitan dengan efektivitas demokrasi dan membengkaknya biaya politik. Perdebatan yang kemudian muncul menunjukkan bahwa Indonesia sedang mencari kembali bentuk demokrasi yang paling sesuai dengan karakter bangsa dan tantangan pemerintahan daerah hari ini.
Sejarah politik Indonesia menegaskan bahwa mekanisme perwakilan adalah fondasi utama demokrasi kita. Pada masa awal republik dan sepanjang era sebelum 2004, banyak keputusan politik strategis—termasuk pemilihan presiden—diputuskan oleh lembaga perwakilan rakyat. Konstitusi juga menempatkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagai dasar sistem politik Indonesia. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah langkah mundur atau penyimpangan dari demokrasi, melainkan bentuk demokrasi representatif yang sejalan dengan tradisi politik nasional. Mekanisme ini mencerminkan model demokrasi yang menekankan musyawarah, pertimbangan rasional, dan penilaian berbasis kapasitas, bukan semata kontestasi popularitas.
Pilkada langsung memiliki nilai partisipatif yang kuat, tetapi pelaksanaannya selama dua dekade juga mengungkapkan tantangan serius. Biaya politik yang sangat tinggi, maraknya politik uang, serta polarisasi masyarakat sering menjadi konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Banyak kepala daerah terpilih yang kemudian terjerat korupsi karena tekanan untuk mengembalikan modal politik yang besar selama kampanye. Dalam konteks inilah Prabowo memandang bahwa Pilkada melalui DPRD dapat menjadi alternatif demokratis yang lebih efisien dan lebih sehat. Demokrasi tidak hanya diukur dari banyaknya orang mencoblos, tetapi dari kemampuan sistem memastikan bahwa proses politik berlangsung adil, bersih, dan rasional.
Dari sudut pandang substantif, pemilihan oleh DPRD tetap memenuhi prinsip demokrasi karena DPRD sendiri dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu legislatif. Mandat rakyat melekat pada setiap kursi dan keputusan DPRD. Ketika DPRD memilih kepala daerah, keputusan tersebut tetap bersumber dari kedaulatan rakyat, hanya melalui mekanisme perwakilan yang telah lama menjadi ciri khas demokrasi Indonesia. Jika model ini ditopang oleh keterbukaan, standar etika yang kuat, serta pengawasan publik, legitimasi kepala daerah akan tetap terjaga dan kualitas kepemimpinan daerah dapat ditingkatkan.
Selain itu, pemilihan melalui DPRD berpotensi meredam konflik horizontal dan polarisasi yang kerap muncul dalam Pilkada langsung. Proses seleksi di DPRD mendorong penilaian berbasis kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon, bukan sekadar kemampuan mobilisasi massa. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, pendekatan representatif dapat memperkuat stabilitas politik lokal dan mengurangi ketegangan sosial yang sering muncul menjelang pemungutan suara.
Kritik bahwa Pilkada langsung lebih mencerminkan kedaulatan rakyat tetap perlu dihargai. Namun demokrasi Indonesia tidak pernah dirancang sebagai tiruan dari model mana pun. Demokrasi kita berakar pada perwakilan, musyawarah, dan penyeimbangan kepentingan. Karena itu, pemilihan kepala daerah oleh DPRD tetap dapat disebut demokratis, bahkan berpotensi memperkuat demokrasi Indonesia ketika dilaksanakan dengan integritas yang tinggi dan tata kelola yang terbuka. (Editor)










