Perang di Intan Jaya: Senjata Menang, Rakyat Kalah

Perang di Intan Jaya: Senjata Menang, Rakyat Kalah. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

KONTAK tembak di Intan Jaya pada 15 Oktober 2025 kembali membuka luka lama Papua yang tak pernah sembuh. TNI menyebut operasi di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, berhasil menewaskan 14 anggota TPNPB/OPM yang dilabeli sebagai KKB. Di sisi lain, TPNPB menyebut sebagian korban adalah warga sipil. Dua narasi yang saling bertolak belakang ini menandakan satu hal: kebenaran di Papua selalu berada di bawah bayang-bayang senjata. Dalam setiap konflik bersenjata di tanah Papua, suara resmi negara selalu lebih nyaring daripada suara rakyat di lapangan.

Publik Indonesia terbiasa hanya mendengar satu versi: rilis aparat yang menekankan keberhasilan operasi dan jumlah korban “musuh”. Tidak ada verifikasi independen, tidak ada suara saksi sipil, dan sangat jarang ada jurnalis yang benar-benar hadir di lokasi kejadian. Di mata publik, peristiwa yang sebenarnya sangat tragis itu berubah menjadi angka-angka dingin yang tercatat sebagai keberhasilan militer. Padahal di balik angka itu ada tubuh manusia, ada tangis keluarga, dan ada kampung yang porak poranda. Di titik inilah, kemenangan senjata berubah menjadi kekalahan kemanusiaan.

Masyarakat sipil Papua menjadi pihak yang paling menderita dalam lingkaran kekerasan ini. Mereka tidak bersenjata, tidak berperang, tetapi rumah dan kampungnya dijadikan medan operasi. Banyak di antara mereka kehilangan keluarga, ladang, dan ketenangan hidup. Sebagian mengungsi, sebagian lainnya hidup dalam ketakutan. Mereka juga kehilangan suara, karena apa yang mereka alami tidak pernah sampai ke ruang publik nasional. Perang di Intan Jaya bukan sekadar perang senjata, tetapi juga perang narasi yang membungkam rakyat kecil dan menghapus wajah kemanusiaan dari konflik ini.

Setiap kali negara mengumumkan keberhasilan operasi, jarang disertai penjelasan tentang perlindungan terhadap warga sipil. Tak ada laporan akuntabel, tak ada mekanisme transparansi publik, dan tak ada audit independen terhadap kemungkinan pelanggaran HAM. Padahal, sebuah negara demokratis semestinya tidak hanya kuat dalam menembak musuh, tetapi juga kokoh dalam melindungi rakyatnya sendiri. Di Papua, kekuatan itu justru tidak tampak. Yang terdengar hanyalah suara tembakan, bukan suara keadilan dan empati negara terhadap rakyatnya.

Pendekatan keamanan murni telah berlangsung puluhan tahun, tetapi kekerasan bersenjata terus berulang dari Nduga hingga Intan Jaya. Fakta ini membuktikan bahwa peluru tidak pernah menyelesaikan masalah politik. Yang dibutuhkan Papua bukan operasi militer tanpa ujung, melainkan keberanian politik untuk membuka kanal dialog, membangun kepercayaan, dan mengakhiri spiral kekerasan. Selama akar persoalan Papua terus diabaikan, konflik hanya akan melahirkan lebih banyak korban dan luka baru.

Kemenangan senjata bukan kemenangan rakyat. Ia hanya membungkam satu sisi dan menyisakan bara di sisi lain. Di atas tanah yang terus berdarah, rakyat kecil menjadi pihak yang paling kalah. Suara mereka tidak terdengar, luka mereka tidak disembuhkan, dan masa depan mereka dikubur dalam narasi resmi yang dingin. Intan Jaya hari ini adalah cermin kegagalan negara melihat Papua dengan mata kemanusiaan, bukan dengan moncong senjata. (Editor)