Oleh David Goo, S.Pd
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Dogiyai, Papua Tengah
PENDIDIKAN saat ini berada di dalam lompatan pembelajaran yang sangat jauh dari konteks daerah bila dibandingkan dengan kota-kota besar dan perkembangan teknologi yang berdampak terutama dalam proses pembelajaran di kelas. Mengapa demikian? Di daerah kondisi pembelajaran masih bertumpuh pada kebiasaan menantang para guru untuk mampu meningkatkan energi dan emosi masuk dalam perubahan dunia.
Daerah tentu ketinggalan menghadapi berbagai perubahan khususnya di bidang teknologi. Sedang di kota-kota besar akses kemudahan teknologi sangat cepat, ibarat berada di jalan bebas hambatan atau jalan tol dengan segala kemudahannya.
Dengan kompetensi (kemampuan) kecerdasaan artifisial atau artificial intelligence (AI) kita harus mampu mengendalikan proses pembelajaran di sekolah dari dasar. Misalnya, menanamkan tujuh kebiasaan anak Indonesia yang dicanangkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Prof Dr Abdul Mu’ti, M.Ed. yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.
Tujuh kebiasan anak Indonesia yaitu yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat diarahkan untuk mencapai delapan dimensi profil pelajar Pancasila, yaitu keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.
Dari dalam delapan dimensi tersebut di dalamnya dikemas proses pembelajaran yang harus didapatkan anak didik kita. Melalui pembelajaran mendalam (deep learning), kecerdasan artifisial dan coding kita diarahkan tanpa meninggalkan kita membaca buku ke pembelajaran berbasis digital.
Perihal Literasi
Literasi tetap menjadi urutan pertama. Karena itu, membaca buku menjadi habitus, kebiasaan yang harus terus menerus ditumbuhkan, dikembangkan dan harus dipertahankan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendibud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti mengalamanatkan bahwa anak didik diberi waktu untuk membaca buku 15 menit setiap hari.
Term literasi dijelaskan sebagai kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, dan berpikir kritis. Konsep literasi mencakup pemahaman dan pengolahan informasi untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ada berbagai jenis literasi, termasuk literasi baca-tulis, literasi digital, dan literasi informasi. Berbagai jenis literasi itu semuanya memiliki tujuan dan manfaat yang berbeda. Literasi sangat penting untuk membantu individu beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi serta untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Pembelajaran mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu.
Materi dari kegiatan pelatihan, seminar, workshop, dan sejenisnya terkait literasi saling terkait antara satu lain. Selain itu, aktivitas literasi itu harus mendalam dan menyentu hati apabila kita menjajaki dan mendalami materi secara serius dan berusaha mengembangkannya kedalam Komunitas belajar yang ada. Ketika terlebih dahulu kita menjelahinya melalui berbagai sumber pembelajaran, kita membawa keluar pengetahuan dan pemahaman.
Kesiapan ini bila dilakukan maka anak-anak didik kita mudah diarahkan dan membawa mereka (anak didik) kepada suatu pencapaian yang gemilang. Dimulai dari kebiasaan hidup anak-anak didik, guru misalnya, menjembatangi mereka untuk menyeberangkan dengan hati ke ‘jalan tol’ hidup yang didambahkan. Di sinilah tugas mulia guru dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan.
Karena itu semua stakeholders pendidikan mau dan harus saling memuliahkan antara satu dengan yang lain. Entah dengan anak, sesama guru, atasan, dan dengan masyarakat. Dalam penerapan deep learning semua pihak yang terlibat saling menghargai dan menghormati dengan mempertimbangkan potensi, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa harus demikian? Kita semua harus saling membantu dalam berkembang antara satu dengan yang lain terlebih dahulu untuk mendidik anak-anak kita menjadi terdidik (educated). Kompetensi seseorang —baik secara kognitif (berpikir dan memahami), afektif (sikap dan nilai), maupun psikomotorik (keterampilan praktis)— akan tumbuh secara utuh dan berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian pikiran, hati, rasa dan raga kita berkembang beriringan lalu melahirkan manusia sebagai pribadi yang berkualitas.
Namun demikian, menjadi tantangan tersendiri apabila pembelajaran coding dan kecerdasal arifisialsalah ditempatkan, digunakan, dan salah dimengerti. Bila kita sebagai guru salah, maka apalah artinya anak didik kita kelak. Karena itu menjadi perhatian Bersama bahw kecerdasan artifisial dimengerti sebagai alat bantu untuk meningkatkan kompetensi diri. Ia bukan sebagai sarana instan yang malah menghambat proses belajar dan pengembangan kemampuan manusia.
Risiko Ketergantungan
Ketergantungan berlebihan terhadap kecerdasan artifisial berpotensi menimbulkan risiko jangka panjang. Dalam pengembangan perangkat lunak, misalnya, meminta kecerdasan artifisial menulis program tanpa memahami alur logikanya bisa berujung program tidak berjalan sesuai harapan.
Ketika terjadi kesalahan, pengguna yang tidak memahami dasar program akan kesulitan memperbaikinya. Sebaliknya, seorang pengembang yang memahami cara kerja program dapat menggunakan kecerdasan artifisial sebagai alat bantu untuk mempercepat penulisan kode atau mencari referensi sintaks. Ketika terjadi masalah, ia tetap mampu melakukan analisis dan perbaikan secara mandiri.
Kecerdasan artifisial seharusnya diposisikan sebagai mitra dalam proses belajar dan bekerja. Ia sebagai asisten yang mempercepat dan mempermudah, bukan sebagai pengganti proses berpikir dan berlatih. Dengan pendekatan yang tepat, kecerdasan artifisial dapat menjadi alat bantu yang sangat berguna dalam mengembangkan kompetensi diri.
Namun, jika digunakan secara pasif tanpa pemahaman, maka justru bisa menghambat pertumbuhan intelektual, kematian emosional dan keterampilan seseorang. Karena itu, pesan penting: gunakan kecerdasan artifisial dengan bijak menjadi panduan. Jadikan kecerdasan artifisial sebagai mitra yang mendukung proses belajar. Bukan sebagai jalan pintas yang merusak pondasi pembelajaran itu sendiri. Mengapa? Sejatinya, kompetensi manusia dibentuk melalui proses, bukan hasil instan.
Oleh karena itu, catatan berikut patut jadi refleksi atau renungan bersamaa semua stakeholders. Sekolah sehat diperlukan di mana setiap sekolah mengembangkan sekolah sehat. Kemudian, sekolah sepanjang hari. Berikut nilai-nilai kebudayaan dilatih dan diajarkan. Literasi dikembangkan, dimajuhkan, dan semakin ditingkatkan. Pojok baca dibangun dan dikembangkan. Lalu, guru Bahasa Inggris dan Bahasa asing lainnya sebaiknya membuka bimbingan belajar (bimbel) atau kursus, termasuk kelompok baca dan sejenisnya.








