Oleh Thomas Ch Syufi
Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)
SEJUMLAH media Rabu (24/12) melansir berita Indonesia resmi mendapatkan kepercayaan dari negara-negara anggota Asia-Pacific Group (APG) dinominasikan sebagai Presiden Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2026.
Dukungan itu menempatkan Indonesia sebagai calon tunggal dari kawasan Asia-Pasifik. Penetapan resmi Presiden Dewan HAM PBB 2026 dijadwalkan berlangsung Kamis (8/1). Jabatan tersebut nantinya akan diemban oleh Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB di Jenewa, Swiss, Duta Besar Sidharto Reza Suryodipuro, yang akan memimpin jalannya sidang Dewan HAM PBB sepanjang 2026.
Saat ini Indonesia merupakan anggota Dewan HAM PBB periode 2024-2026. Berdasarkan mekanisme rotasi kawasan, Asia-Pacific Group (APG) memperoleh giliran memegang presidensi pada siklus ke-20 tahun berdirinya Dewan HAM PBB, yang dinilai bagi 47 negara anggota Dewan HAM PBB, termasuk Indonesia. Ini menjadi momentum penting untuk mendorong tata kelola HAM internasional yang lebih inklusif, konstruktif, dan berbasis kerja sama multilateral.
Namun, sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang selama ini kosisten memantau dan mengadvokasi isu-isu pelanggaran HAM di tanah Papua berpikir sebaliknya. POHR memandangm menempatkan Indonesia sebagai calon tunggal Presiden Dewan HAM PBB tidak tepat.
Ini berpijak kondisi objektif HAM Indonesia, terutama di tanah Papua yang terjadi sejak Papua dimasukkan menjadi bagian Indonesia yang diawali dengan kebijakan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961.
Belum Tuntas
Banyak pelanggaran HAM di tanah Papua oleh Indonesia tanpa pertanggungjawaban atau penyelesaian tuntas. Dapat diestimasikan 300-500 ribu orang Papua telah dibunuh militer Indonesia selama lebih dari 60 tahun Papua bergabung dengan Indonesia.
Asian Human Rights Commission melaporkan, sedikitnya 4,000 orang Papua dibunuh selama operasi militer di daerah Pegunungan Tengah, tahun 1977-1978. Sedangkan Amnesti International mendokumentasikan 95 dugaan pembunuhan tidak sah oleh pasukan keamanan tahun 2010-2018.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas diselesaikan bahkan sudah menjadi rekomendasi Komisi Nasional (Komnas) HAM Republik Indonesia sebagai jenis pelanggaran HAM berat masih tersendat di Kejaksaan Agung.
Pasalnya, masih terjadi tarik ulur kepentingan politik dan ketiadaan itikad baik (good will) pemerintah untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan di anah Papua. Sebut saja, kasus Biak Berdarah (1998), Abepura Berdarah (2000), Wasior Berdarah (2001), Wamena Berdarah (2003), dan pembunuhan tokoh politik pro-demokrasi dan HAM Papua Theys Hiyo Eluay (2001).
Begitu pula pembunuhan Opinius Tabuni pada peringatan Hari Masyarakat Pribumi Internasional 9 Agustus tahun 2008 di Lapangan Sinampuk, Wamena, pembunuhan aktivis Papua Mako Musa Tabuni tahun 2012, pembunuhan empat siswa di Paniai tahun 2014, dan pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani di Intan Jaya tahun 2020.
Dari semua kasus pelanggaran HAM ini sebagian besar pelakunya tidak pernah diproses hukum, bahkan sebagian diproses namunn sekadar formalitas. Malah sebaliknya, dibebaskan oleh pengadilan, diganjar hukuman ringan, sanksi sementara berupa demosi.
Kemudian, dipromosikan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam satuan TNI-Polri, bahkan menduduki jabatan penting di pemerintahan. Apalagi aktor di balik pelanggaran HAM yang memegang struktur komando jarang bahkan luput dari sentuhan hukum.
Pengadilan HAM tidak pernah digelar atas semua kasus pelanggaran HAM berat di tanah Papua, sesuai dengan ketentuan hukum internasional maupun hukum positif. Misalnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dari rangkaian potret buram pelanggaran HAM berat di tanah Papua yang tidak diselesaikan, POHR berpandangan pemerintah Indonesia tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di tanah Papua.
Bahkan sampai saat ini korban masyarakat sipil terus berjatuhan akibat gempuran senjata antara militer Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Permukiman dan perkebunan warga sipil dibombardir pihak keamanan, fasilitas publik seperti sekolah, gereja, dan kantor pemerintah digunakan sebagai pos militer.
Pelanggaran Hukum Internasional
Mandeknya penyelesaian kasus-kasus itu adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter, dan Konvensi Jenewa 1949. Tidak ada jaminan keselamatan dan masa depan orang Papua di negeri sendiri atas konflik berkepanjangan di tanah Papua yang telah menggerus martabat kemanusiaan dan menciptakan bencana kemanusiaan bagi Papua.
Ruang kebebasan berekspresi pun dibungkam mati, aktivis pro-demokrasi dan HAM dikejar, ditangkap, dan dipenjarakan sewenang-wenang. Mereka ditangkap hanya karena hendak mengemukan pandangan dan pendapatnya secara damai di ruang publik.
Pemerintah tidak memiliki niat membuka ruang dialog yang adil dan damai dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan berbagai konflik di tanah Papua, Jakarta lebih memilih menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan keamanan dan kekerasan daripada jalan damai.
Berbagai rekomendasi dari masyarakat Papua, pemerhati HAM, juga kelompok-negara peduli HAM Papua yang terhimpun dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF), dan African, Caribbean, and Pacific (ACP) agar Pemerintah Indonesia membuka akses jurnalis asing masuk ke tanah Papua.
Hampir 10 tahun terakhir negara-negara MSG, PIF, dan ACP meminta jurnalis asing diberi kebebasan ke Papua dan mendesak Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke bumi Cenderawasih. Tujuannya, melakukan penelitian dan memamtau secara langsung kondisi objektif dan dinamika HAM di tanah Papua yang makin makin memburuk, namun aspirasi damai itu tidak pernah digubris oleh pemerintah Indonesia.
Atas alasan-alasan ini, POHR menilai Indonesia dijagokan sebagai calon tunggal Presiden Dewan HAM PBB merupakan sebuah kontradiksi sekaligus pengkhianatan terhadap masyarakat Papua serta Indonesia secara keseluruhan yang terus menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tanpa pertanggaungjawaban secara kredibel dan transparan.
Hal ini merupakan bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh komunitas internasional maupun regional untuk mengerdilkan atau melokalisir pelanggaran HAM Papua yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif selama lebih dari 60-an tahun.
POHR menolak cara-cara melegalisasi dan melegitimasi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk orang Papua. Orang Papua sangat menderita dan kini membutuhkan belas kasihan dari masyarakat internasional untuk membantu mengakhiri penderitaan ini tanpa syarat dan jangan menormalisasi tindakan dehumanisasi di tanah Papua sebagai persoalan minor dalam negeri Indonesia, karena secara ensensial HAM berlaku prisip non-dicriminationserta bersifat universal, imparasial, dan inklusif.
Hemat POHR Indonesia belum layak dan belum siap untuk memimpin lembaga paling kredibel dalam aspek HAM tingkat dunia. Indonesia memiliki banyak catatan sejarah kelam tentang persolan HAM yang belum dibersihkan. Apalagi lembaga ini terdiri dari 47 negara anggota yang fungsinya sebagai forum multilateral untuk mengatasi pelanggaran serta situaasi darurat HAM di berbagai negara.
Dewan HAM PBB juga akan memberikan rekomendasi praktis mengenai implementasi HAM di lapangan. POHR tidak yakin Indonesia akan melaksanan tugas ini maksimal, murni, dan konsekuen sebagai Presiden Dewan HAM PBB dengan negara-negara anggota Dewan HAM PBB yang lain untuk menjawab tuntutan kebutuhan HAM di saat ini, terutama dalam aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM di seluruh dunia.
Mengapa? Indonesia masih dibebani beragam pekerjaan rumah pelanggaran HAM yang belum dibereskan. Sangat sulit bagi Indonesia akan sukses membasuh darah seluruh umat manusia di seluruh dunia dengan tangannya yang masih berlumuran darah. We doubt it and that’s impossible.
Jika Indonesia dipaksakan menjadi Presiden Dewan HAM PBB, negara dengan penduduk sekitar 270, 2 juta jiwa ini akan menjalankan peran ganda. Pertama, mendorong serta menjaga HAM untuk semua individu di seluruh dunia. Memberikan rekomendasi kepada badan-badan PBB agar meningkatkan upaya promosi dan perlindungan HAM.
Kedua, menjalankan tugas sebagai suksesor pelanggar HAM di tanah Papua. Sangat tidak mungkin melalui forum Dewan HAM PBB, Indonesia akan mengakui, mengoreksi, dan melakukan otokritik terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya selama 60-an tahun di tanah Papua.
Hal tersebut adalah bentuk kemunafikan internasional atas krisis HAM di Papua dengan mengangkat negara penjahat HAM memimpin lembaga bergengsi dan kredibel seperti Dewan HAM PBB yang sejatinya bersih dari segala bentuk noktah hitam HAM. Kondisi ini bertentangan dengan landasan filosofis lahirnya Dewan HAM PBB yang diformulasikan dalam beberapa instrument hukumnya.
Misalnya, Piagam PBB (UN Charter), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR 1948), dan Resolusi Dewan HAM 51/1 (2007), yang semuanya menjadi fondasi bagi upaya PBB untuk mendorong dan melindungi HAM di seluruh dunia, menetapkan elemen-elemen utama mekanisme kerja Dewan HAM.
Pandangan POHR yang diutarakan ini adalah situasi objektif HAM yang terjadi di tanah Papua yang tidak bisa distorsi dengan alasan apa pun, termasuk kepentingan kerja sama regional maupun internasional di berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya.
Mengepresikan kekecewaan ini murni atas dasar pertimbangan HAM orang Papua yang sudah beberapa dekade menderita ketidakadilan negara, bukan atas dasar dendaman, kebencian, atau diskriminasi.
Saat ini orang Papua butuh intevensi kemanusiaan dari masyarakat internasional atas kemelut yang terus mewarnai hari-hari hidup mereka, tanpa keterlibatan Indonesia di dalamnya.
Karena itu, POHR menolak dengan tegas Indonesia menduduki posisi Presiden Dewan HAM PBB, sekaligus mendesak masyarakat internasional, terutama negara-negara Asia-Pasifik yang terhimpun dalam APG menghargai masyarakat Papua sebagai korban pelanggaran HAM yang masih terus memperjungkan keadilan dan penegakan HAM di tanah Papua! Liberte.










