OPINI  

Papua di Meja Utama Negara

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua

PERTEMUAN Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto dengan seluruh kepala daerah di tanah Papua di Istana Negara pada Selasa (16/12) bukan sekadar agenda seremonial akhir tahun. Ia adalah sinyal politik dan kebijakan yang kuat: Papua sedang dipindahkan dari pinggiran wacana nasional ke meja utama perencanaan masa depan Indonesia. Arah baru pembangunan Papua di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gubran Rakabuming Raka terbaca jelas.

Dalam pertemuan itu, hadir enam gubernur masing-masing Gubernur Papua Mathius Derek Fakhiri, Gubernur Papua Barat Gubernur Papua Barat, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu, Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa, Gubernur Papua Pegunungan John Tabo, dan Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo serta 42 bupati dan walikota serta Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

Pertemuan Jalan Veteran menunjukkan bahwa negara tidak lagi ingin pembangunan Papua berjalan sendiri-sendiri, terfragmentasi atau sekadar bergantung pada rutinitas anggaran. Namun, dalam pertemuan itu yang ditawarkan Presiden adalah melangkah dalam satu arah, satu komando, dan satu tujuan besar: kemandirian Papua dalam bingkai Indonesia yang berdaulat dan adil.

Keamanan sebagai Prasyarat

Arahan Presiden Prabowo yang menekankan pengamanan kekayaan negara sering kali dibaca secara sempit sebagai pendekatan keamanan (security approach). Padahal, jika dicermati lebih dalam, pesan tersebut justru berniat menempatkan keamanan sebagai prasyarat pembangunan, bukan tujuan akhir.

Papua menyimpan kekayaan strategis nasional semisal mineral, hutan tropis, biodiversitas, dan potensi energi terbarukan. Namun sejarah menunjukkan, kekayaan tanpa tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) justru melahirkan ketimpangan dan konflik.

Karena itu, ketika Presiden menegaskan pentingnya pengamanan kekayaan negara, sesungguhnya yang ingin dijaga adalah hak rakyat Papua atas manfaat dari tanahnya sendiri.

Keamanan, dalam narasi ini, bukan semata soal aparat, tetapi soal kepastian bahwa kekayaan Papua tidak bocor, tidak dirampas, dan tidak dikelola tanpa keberpihakan pada rakyat. Statemen kepala negara: “kita akan membantu supaya setiap kabupaten bisa swasembada pangan,” adalah salah satu frasa paling penting dalam keseluruhan arahan. Kalimat ini sederhana, tetapi konseptual dan politis.

Untuk pertama kalinya, swasembada pangan tidak sekadar diletakkan di level pusat atau provinsi melainkan diturunkan ke level kabupaten. Artinya, negara mengakui bahwa kunci ketahanan pangan Papua terletak pada kampung, keluarga, dan sistem produksi lokal.

Ini sekaligus pengakuan bahwa pangan Papua tidak harus diseragamkan. Sagu, ubi, umbi-umbian, padi lokal, dan hortikultura dataran tinggi bukan sekadar pangan alternatif, tetapi pilar kedaulatan pangan Papua. Negara hadir untuk membantu, tetapi tanggung jawab moral dan kepemimpinan ada pada kepala daerah.

Energi Papua Bukan Konsumen Abadi

Ketika Presiden menyebut Papua sebagai kawasan strategis swasembada energi nasional, di situlah terjadi pergeseran paradigma besar. Papua tidak lagi diposisikan sebagai konsumen listrik mahal dan terbatas, tetapi sebagai produsen energi masa depan.

Energi air, surya, dan biomassa yang melimpah membuka peluang kemandirian listrik hingga ke wilayah terpencil. Ini bukan hanya soal terang lampu, tetapi soal hidupnya industri lokal, berjalannya sekolah dan rumah sakit serta turunnya biaya hidup masyarakat. Pesan Presiden tersirat jelas: energi adalah instrumen keadilan sosial, bukan sekadar urusan teknis kelistrikan.

Arahan Presiden tentang pembangunan rumah sakit, renovasi sekolah umum dan sekolah rakyat serta peningkatan pariwisata menunjukkan bahwa pembangunan Papua tidak boleh berhenti pada beton dan aspal. Ia harus menyentuh martabat manusia.

Sekolah dan rumah sakit adalah simbol kehadiran negara yang paling nyata. Ketika anak Papua belajar di ruang kelas yang layak dan rakyat mendapat pelayanan kesehatan yang manusiawi, di situlah kepercayaan pada negara tumbuh subur. Pembangunan manusia, dalam narasi ini, bukan pelengkap namun inti dari stabilitas jangka panjang Papua.

Pesan paling tegas —meski tidak selalu diucapkan secara eksplisit— adalah ini: otonomi Khusus tidak lagi boleh dimaknai sekadar sebagai kucuran dana jumbo. Ia harus diterjemahkan sebagai tanggung jawab pemimpin dan pola kepemimpinan yang efektif dan melayani kepentingan dan kebaikan warga (bonume commune).

Pusat telah menegaskan komitmen, menyiapkan anggaran, membentuk komite pengawas, dan memperkuat koordinasi. Kini, pertanyaannya berpindah ke daerah. Pertanyaan retoris reflektif lahir: mampukah para pemimpin Papua mengubah arahan ini menjadi program nyata yang menyentuh rakyat?

Arahan Presiden kepada para pemimpin tanah Papua dari Jalan Veteran (Istana Negara) menandai fase baru pembangunan Papua —fase kedaulatan pangan dan energi, penguatan layanan dasar, dan integrasi Papua dalam strategi besar Indonesia.

Ini bukan sekadar janji negara, tetapi ujian sejarah bagi kepemimpinan daerah Papua saat ini dan di masa akan datang. Jika momentum ini diterjemahkan dengan kerja nyata, tanah Papua tidak hanya akan mengejar ketertinggalan, tetapi ia berdiri sebagai salah satu pilar masa depan Indonesia.

Tanah Papua tidak sedang diminta menunggu. Papua sedang diminta bergerak dalam satu denyut menuju masyarakat yang sejahtera, adil, aman, dan damai di atas bumi Cenderawasih.