Papua 2025: Surat Dakwaan atas Kejahatan Negara

Papua 2025: Surat Dakwaan atas Kejahatan Negara. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

TAHUN 2025 layak dicatat sebagai tahun refleksi yang serius bagi negara Indonesia dalam relasinya dengan Tanah Papua. Bukan sekadar evaluasi kebijakan, melainkan sebuah catatan dakwaan moral dan politik atas rangkaian tindakan negara yang sepanjang tahun ini menimbulkan penderitaan mendalam bagi rakyat Papua. Editorial ini disusun sebagai surat dakwaan publik, bukan untuk menghasut, melainkan untuk menuntut pertanggungjawaban.

PERTAMA, negara patut didakwa atas penggunaan pendekatan keamanan yang berdampak luas terhadap warga sipil. Operasi keamanan dijalankan di wilayah permukiman, bukan semata di medan konflik. Dampaknya nyata: rumah rusak, warga mengungsi, kehidupan sosial lumpuh, dan trauma berkepanjangan—termasuk pada anak-anak. Hingga akhir tahun, penderitaan pengungsi belum ditangani secara bermartabat. Negara mengetahui konsekuensi ini, namun koreksi kebijakan tak kunjung dilakukan secara serius.

KEDUA, negara patut didakwa atas pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan sipil. Sepanjang 2025, aksi damai dibubarkan, mahasiswa dan aktivis ditangkap, dan ekspresi politik tertentu diproses secara hukum. Di Papua, hukum kerap dirasakan bukan sebagai pelindung hak warga, melainkan sebagai alat pengendalian. Ketika kritik diperlakukan sebagai ancaman, demokrasi kehilangan maknanya.

KETIGA, negara patut didakwa atas kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak masyarakat adat. Proyek Strategis Nasional dan proyek ekstraktif dijalankan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara memadai kepada pemilik tanah adat. Tanah ulayat terancam, ruang hidup menyempit, dan rakyat Papua kembali menanggung biaya sosial dari pembangunan yang tidak mereka rancang dan tidak mereka kendalikan.

KEEMPAT, negara patut didakwa atas kerusakan ekologis yang sistematis. Hutan Papua, salah satu benteng ekologi terakhir Indonesia, terus tertekan oleh ekspansi sawit, tebu, tambang, dan proyek energi. Pernyataan presiden yang mendorong penanaman kelapa sawit di Papua memperlihatkan orientasi kebijakan yang menempatkan alam terutama sebagai sumber produksi, bukan sebagai ruang kehidupan. Dampak ekologis jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan belum dijadikan pertimbangan utama.

KELIMA, negara patut didakwa atas pembiaran krisis sosial dan kemanusiaan. Pengungsi hidup tanpa jaminan pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Anak-anak kehilangan hak dasar, sementara penderitaan dianggap sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan. Negara hadir kuat dalam penegakan kekuasaan, tetapi lemah dalam pemulihan kemanusiaan.

KEENAM, negara patut didakwa atas ketidakmampuan menghapus rasisme struktural. Orang Papua masih kerap diperlakukan dengan kecurigaan, dan nyawa mereka sering tidak memicu keprihatinan nasional yang setara. Ketimpangan empati ini mencederai prinsip kesetaraan warga negara.

Melalui surat dakwaan ini, negara Indonesia dituntut untuk mengakui kesalahan, memperbaiki arah kebijakan, dan memulihkan kepercayaan rakyat Papua. Tidak ada pembangunan yang sah jika berdiri di atas penderitaan. Tidak ada keamanan yang abadi tanpa keadilan.

Akhir tahun adalah saat yang tepat untuk bertobat secara politik dan moral: menghentikan pendekatan kekerasan, menarik aparat dari ruang sipil, meninjau ulang proyek yang merampas hak adat, membebaskan tahanan politik, dan membuka dialog sejati dengan rakyat Papua. Jika seruan ini terus diabaikan, maka sejarah akan mencatat kegagalan negara. Dan ketika sejarah berbicara, tidak ada bangsa yang luput dari konsekuensi moral atas ketidakadilan yang dibiarkannya berlangsung. (Editor)