Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
SETIAP TANGGAL 4 Desember masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan teristimewa di tanah Papua memperingati Hari Noken Sedunia atau World Noken Day. Peringatan dan perayaan itu dilakukan setelah noken ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco) atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2012 yang membutuhkan perlindungan mendesak. Noken merupakan tas rajut atau anyaman khas dari Papua, pulau jumbo paling timur Indonesia.
Di panggung politik nasional, Papua raya kerap sekadar menjadi slogan geografis, sekumpulan data potensi atau narasi keamanan. Namun, di balik wacana itu ada pertanyaan lebih mendasar: pembangunan seperti apa yang sesungguhnya diidamkan oleh hati masyarakat Papua? Jawabannya mungkin tidak sepenuhnya terletak pada cetak biru teknokratis, tetapi tergantung pada seberapa dalam semua pemangku kepentingan memahami kearifan yang sudah teranyam ribuan tahun dalam budaya mereka. Di sini, noken muncul bukan sebagai sekadar souvenir melainkan cetak biru, blueprint filosofis untuk membangun Papua raya yang bermartabat.
Penetapan noken oleh Badan Dunia PBB Unesco pada 2012 bukan sekadar pengakuan tetapi seruan. Seruan yang terus bergema bahwa dalam anyaman serat kayu itu terdapat sistem nilai —tentang pengasuhan, kejujuran, ketangguhan, dan harmoni— yang justru kian langka di dunia modern. Jika pembangunan daerah hanya dilihat sebagai deretan proyek infrastruktur tanpa jiwa, kita akan mengulangi kesalahan yang sama: memisahkan kemajuan material dari kemajuan manusia. Noken mengajarkan sebaliknya. Semajuan sejati adalah yang tetap menggendong identitas, memikul beban dengan kepala dingin, dan transparan dalam niatnya.
Paradigma Pembangunan yang Mengasuh
Konsep noken sebagai rahim kedua adalah pondasi paling vital. Seorang mama yang menggendong anak dalam noken sambil bekerja di kebun, tidak memisahkan peran sebagai ibu dari peran sebagai produsen. Ini adalah metafora sempurna untuk pembangunan partisipatif. Kebijakan di Papua raya seharusnya tidak menjadikan masyarakat sebagai objek yang pasif, tetapi sebagai subjek yang “digendong” dan dilibatkan dalam setiap ritme Pembangunan —dari perencanaan hingga pengawasan.
Pertanyaan penting ialah apakah kebijakan pendidikan kita menyediakan “noken” yang cukup luas untuk menggendong anak-anak Papua dari lereng gunung ke laboratorium komputer tanpa harus malu dengan bahasa ibunya? Apakah kebijakan ekonomi kita memastikan mama-mama Papua dengan nokennya tetap menjadi penjaga ketahanan pangan, bukan tersingkir oleh masuknya produk pangan instan? Itu sederet pertanyaan reflektif retoris.
Pembangunan yang mengabaikan filosofi pengasuhan ini akan melahirkan generasi yang terasing di tanahnya sendiri. Papua raya harus dibangun dari rahim budaya yang menghangatkan, bukan dari cetakan yang menyamaratakan. Pilar pentingnya yaitu etos kerja di atas dahi dan transparansi anyaman. Dua pilar berikutnya adalah ketangguhan dan kejujuran.
Noken dibawa di dahi, bukan di bahu. Ini menyimbolkan bahwa beban hidup —dan beban pembangunan— harus dipikul dengan kesadaran penuh, dengan pertimbangan akal yang jernih. Pembangunan fisik di tanah Papua yang berat secara geografis membutuhkan ketangguhan ini. Namun, ketangguhan itu harus dilandasi oleh kejujuran.
Anyaman noken yang renggang dan transparan adalah cermin bagi tata kelola pembangunan daerah. Anggaran untuk Papua raya yang besar harus setransparan anyaman noken: bisa dilihat, dirasakan, dan dipertanggungjawabkan oleh masyarakat. Sayangnya, yang sering terjadi adalah “noken-noken proyek” yang anyamannya rapat, gelap, penuh dengan muatan yang tidak jelas. Korupsi, mark-up, dan proyek fiktif adalah pengkhianatan terhadap filosofi kejujuran noken. Masyarakat adat Papua yang mempraktikkan “visible trust” dalam nokennya justru sering dikhianati oleh sistem yang tidak transparan.
Pelestarian versus Tekanan Globalisasi
Di sinilah letak paradoks yang menyakitkan. Di saat nilai-nilai noken sangat dibutuhkan untuk membingkai pembangunan, justru keberadaan fisik dan maknanya terancam. Ancaman nyata itu dapat dilihat dalam sejumlah aspek. Pertama, ancaman ekologis. Bahan baku alami noken (kulit kayu Genemo, serat Anggrek) semakin sulit akibat laju deforestasi yang kian menggila dan alih fungsi hutan secara serampangan. Pembangunan yang tidak menghormati kelestarian hutan pada dasarnya sedang membunuh salah satu simbol kebanggaan Papua. Upaya pelestarian berjalan seiring tekanan global.
Kedua, ancaman sosio-ekonomi. Generasi muda lebih tertarik pada tas ransel bermerk yang murah daripada mempelajari proses menganyam noken yang lama dan sulit. Tekanan ekonomi mendorong penjualan noken “palsu” dari benang nilon pabrikan, yang meski secara ekonomi menguntungkan dalam jangka pendek, mengikis makna filosofis dan keberlanjutan ekologisnya.
Ketiga, ancaman identitas. Risikonya, noken hanya menjadi simbol komoditi pariwisata atau aksesori foto bagi pejabat, tanpa diikuti dengan internalisasi nilainya dalam tata kelola pemerintahan dan hubungan sosial. Jika ini dibiarkan berlarut upaya pembangunan Papua raya akan kehilangan kompas kulturalnya. Kita akan membangun wilayah dengan gedung-gedung baru, tetapi jiwa masyarakatnya semakin kosong.
Lalu, bagaimana mengonversi filosofi noken menjadi kerangka kerja pembangunan yang konkret? Paling kurang ada sejumlah usulan konkrit. Pertama, pendidikan berbasis nilai noken. Kurikulum muatan lokal (mulok) di tanah Papua harus memasukkan penganyaman noken bukan hanya sekadar keterampilan tetapi sebagai kelas filsafat hidup. Anak-anak diajarkan tentang ketangguhan, kejujuran, dan ekologi melalui proses menenun. Ini akan membangun generasi yang bangga akan identitasnya dan kritis terhadap pembangunan yang merusak.
Kedua, ekonomi kreatif yang autentik dan berkelanjutan. Pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan dalam melindungi keaslian noken serat alam. Bukan dengan melarang noken benang, tetapi dengan menciptakan insentif dan pasar premium untuk noken otentik. Serifikasi, pelabelan geografis, dan dukungan pemasaran digital untuk pengrajin asli akan mengangkat nilai ekonominya sekaligus melestarikan hutan sebagai sumber bahan baku.
Ketiga, transparansi anggaran berbasis “prinsip noken”. Pemerintah daerah di Papua raya dapat mempelopori inovasi dengan membuat portal anggaran yang benar-benar transparan dan mudah diakses hingga ke tingkat kampung, seperti anyaman noken yang terbuka. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) harus dijiwai oleh semangat mufakat adat seperti dalam sistem noken meski dengan adaptasi yang memenuhi prinsip akuntabilitas modern.
Keempat, infrastruktur yang memikul, bukan menindas. Pembangunan jalan, jembatan, dan bandara harus dilakukan dengan pendekatan “menggendong”, bukan “menggusur”. Artinya, melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat, menghormati situs-situs adat, dan memastikan mereka adalah penikmat utama, bukan korban dari pembangunan tersebut.
Dianyam Anak Bangsa Sendiri
Narasi noken dan pembangunan Papua raya bermuara pada satu pertanyaan sentral. Pertanyaan dimaksud ialah apakah kita membangun Papua untuk orang Papua, dengan cara Papua? Noken memberikan jawabannya: ya, asal kita berani belajar. Pembangunan bukan tentang menumpukkan beton di atas tanah. Pembangunan adalah tentang menenun masa depan dengan benang-benang yang kuat: identitas, kejujuran, ketangguhan, dan benang harmoni selaras alam. Proses menenun itu tidak instan. Ia butuh kesabaran dan ketelatenan, persis seperti mama Papua menganyam noken selama berminggu-minggu.
Papua raya yang sejati akan lahir ketika anak-anak mudanya tidak lagi memandang noken sebagai benda usang, tetapi sebagai kode genetik kebudayaan mereka. Para pemimpin memikul tanggung jawab di atas dahi dengan jernih, bukan di atas pundak dengan beban korupsi. Juga saat berbagai kebijakan yang dibuat setransparan anyaman, sehingga kepercayaan dapat tumbuh subur.
Selama noken masih dianyam, selama filosofinya masih hidup dalam tindakan, maka harapan untuk Papua raya yang mandiri, bermartabat, dan berdaulat atas jalannya sendiri akan tetap menyala. Kita hanya perlu berani membaca petunjuknya yang sudah terpintal rapi dalam setiap simpul serat kayu itu. Selamat Hari Noken Sedunia. Selamat kepada ibu-ibu pengrajin noken di honai di pelosok tanah Papua. Wa wa wa……..









