INDONESIA kerap dielu-elukan sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Identitas ini dijadikan kebanggaan, seolah menunjukkan bahwa bangsa ini hidup di atas fondasi spiritual yang kokoh. Dari mimbar masjid, gereja, pura, hingga vihara, lantang dikumandangkan seruan kejujuran, keadilan, dan moralitas. Indonesia menampilkan wajah sebagai negara agamis, tempat iman menjadi pelita bangsa.
Namun, di balik cahaya doa yang membumbung ke langit, ada kegelapan yang tak pernah padam: praktik politik uang. Negeri yang penuh lantunan ayat suci justru berubah menjadi pasar gelap demokrasi, di mana suara rakyat dilelang dengan harga murah. Bukan rahasia lagi, setiap musim pemilu datang, amplop-amplop bertebaran laksana daun kering di musim gugur. Politik uang bukan sekadar noda kecil, tetapi sudah menjadi sel kanker yang menggerogoti tubuh demokrasi Indonesia.
Ironi ini menyayat hati. Bagaimana mungkin bangsa yang rajin berdoa bisa begitu mudah menggadaikan suara? Bagaimana mungkin negeri yang beridentitas religius justru menjadi ladang subur praktik suap massal? Bukankah agama, apa pun itu, tegas melarang jual beli kehormatan? Bukankah setiap khotbah dan khotbah menekankan integritas? Tetapi di bilik suara, moral runtuh hanya karena selembar rupiah. Seolah iman hanya kuat di rumah ibadah, tapi rapuh di hadapan amplop.
Politik uang adalah cermin retak bangsa ini. Ia menunjukkan betapa agama sering hanya dipakai sebagai simbol, bukan sebagai laku hidup. Umat berbondong-bondong ke rumah ibadah, sementara sebagian menjual hak suaranya dengan harga sepiring nasi bungkus. Elite politik pun menghamburkan uang, seakan kursi kekuasaan adalah barang dagangan. Inilah paradoks Indonesia: beragama dengan gegap gempita, tapi melacurkan demokrasi dengan wajah tanpa malu.
Dampaknya begitu jelas. Politik uang melahirkan pemimpin yang bukan dipilih karena visi, kapasitas, atau integritas, tetapi karena tebalnya dompet. Dan ketika berkuasa, mereka sibuk mengembalikan “investasi politik” lewat korupsi, manipulasi anggaran, dan perampokan kekayaan negara. Rakyat pun akhirnya menjadi korban ganda: suaranya dibeli murah, lalu hidupnya diperas mahal.
Indonesia sedang berjalan di atas tali rapuh: di satu sisi membanggakan diri sebagai bangsa religius, di sisi lain membiarkan demokrasi dikendalikan uang. Selama uang lebih berharga daripada iman, jangan harap perubahan akan lahir. Selama amplop lebih dihormati daripada akhlak, pemimpin sejati tidak akan pernah muncul.
Bangsa ini harus berani bercermin. Identitas agamis tidak ada artinya jika agama hanya berhenti di bibir, tidak menembus perilaku. Demokrasi sejati tidak akan pernah hidup jika rakyat rela menjual suara. Dan kepemimpinan bersih tidak akan lahir dari sistem yang dibangun di atas transaksi haram.
Indonesia tidak kekurangan doa, lantunan ayat, atau ritual keagamaan. Yang hilang adalah keberanian moral untuk menolak amplop, untuk menegakkan integritas, dan untuk mengatakan: iman lebih mahal daripada uang. Tanpa itu, Indonesia akan terus hidup dalam paradoks: negara agamis dengan wajah politik paling kotor di dunia. (Editor)










