Natal Sesat: Perayaan Natal Sebelum Natal

Natal Sesat: Perayaan Natal Sebelum Natal. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

SETIAP Desember, satu praktik agama Protestan yang sepenuhnya keliru kembali dipertontonkan secara terang-terangan. Gereja-gereja Protestan, sekolah-sekolah Kristen, komunitas perkantoran, paguyuban etnis, kelompok pelayanan, dan berbagai organisasi sosial langsung menggelar “Natal” sejak tanggal 1 hingga 23. Ada Natal Anak Sekolah, Natal Kaum Muda, Natal Pegawai, Natal Paguyuban, Natal Instansi, dan Natal lain-lainnya yang jumlahnya berlebihan. Bulan suci ini berubah menjadi festival pesta yang memakai nama Natal tanpa menghormati waktunya. Ini bukan kekeliruan ringan. Ini adalah distorsi rohani yang kasar dan tanpa kendali.

Empat minggu sebelum Natal adalah masa Advent: masa penantian, pertobatan, persiapan, dan keheningan. Masa ketika umat seharusnya menundukkan hati, memperbaiki diri, dan membuka ruang bagi kelahiran Sang Penyelamat. Namun praktik Protestan yang sesat ini justru merayakan Natal di tengah masa yang seharusnya disucikan melalui penantian. Advent dicabut dari tempatnya. Penantian dipatahkan. Pertobatan dipotong. Persiapan rohani dirampas. Umat kehilangan kesempatan menyambut Natal secara benar karena waktu kudus mereka ditenggelamkan oleh pesta yang dipaksakan. Ini bukan sekadar kesalahan. Ini adalah penghancuran ritme keselamatan secara terang-terangan.

Tradisi ini bukan buah kesetiaan iman, tetapi lahir dari mentalitas praktis yang mengabaikan kesakralan. Gereja-gereja Protestan berlindung di balik alasan jadwal, libur kantor, dan kepadatan agenda. Misteri inkarnasi diperlakukan seperti kegiatan administratif yang bisa dipindah sesuka hati. Kesucian waktu digadaikan demi kenyamanan. Disiplin rohani digantikan kompromi. Tidak ada alasan teologis yang dapat membenarkan tindakan seperti ini. Praktik ini berdiri sebagai bukti nyata dari pengingkaran terhadap makna Natal itu sendiri.

Ketika 24 dan 25 Desember tiba, kerusakannya terlihat jelas. Umat Protestan tiba di hari suci dalam keadaan letih, jenuh, dan kehilangan kepekaan. Mereka telah menghabiskan sukacita rohani pada pesta-pesta yang dilakukan sebelum waktunya. Malam Kudus tidak lagi menjadi puncak iman, tetapi hanya episode terakhir dari rangkaian acara yang dikebut. Misteri inkarnasi kehilangan daya karena tenggelam dalam euforia yang salah waktu. Ini bukan hanya kekacauan liturgis. Ini adalah pelucutan makna Natal secara sistematis dan menyedihkan.

Lebih memalukan lagi, banyak gereja Protestan bahkan merayakan Natal tambahan setelah Tahun Baru. Ini bukan sekadar kekeliruan. Ini adalah penghinaan terhadap tatanan rohani. Bagaimana mungkin kelahiran Kristus dirayakan setelah waktunya lewat? Bagaimana mungkin misteri keselamatan dijadikan acara susulan? Jika ada bukti paling telanjang dari kekacauan praktik ini, maka inilah puncaknya: Natal sebelum Natal dan Natal setelah Natal. Suatu anomali liturgis yang tidak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun.

Karena itu, praktik ini harus dikecam sekeras-kerasnya. Ia tidak menuntun umat kepada kedalaman iman, tetapi menjauhkan mereka dari makna Natal. Ia tidak memuliakan misteri inkarnasi, tetapi mereduksinya menjadi rangkaian acara kosong. Tradisi sesat ini harus dihentikan. Advent harus dipulihkan. Natal harus dikembalikan pada martabatnya. Jika tidak, umat akan terus hidup dalam pesta yang meriah di luar tetapi mati di dalam, dan yang hancur bukan hanya tradisi, melainkan inti iman itu sendiri. (Editor)