FENOMENA murtad, pindah agama dari Islam ke keyakinan lain atau bahkan meninggalkan agama sama sekali, selama ini dianggap tabu. Di banyak tempat, istilah ini diperlakukan bak kata kotor, seolah tak boleh keluar dari mulut. Namun, data global menyingkap sesuatu yang selama ini berusaha disembunyikan: ada arus keluar dari Islam. Arus itu memang kecil, tetapi nyata. Dan sekecil apa pun, ia adalah retakan yang tak bisa ditutup dengan stigma atau ancaman hukum.
Riset terbaru Pew Research pada 2025, mencakup 36 negara, memperlihatkan kenyataan menarik. Retensi umat Islam memang tinggi—di banyak negara mendekati 100 persen. Tetapi di Amerika Serikat, hanya sekitar tiga perempat yang bertahan sebagai Muslim. Sisanya keluar, sebagian besar menjadi tak beragama, sebagian lain berpindah ke Kristen. Ironisnya, di negeri yang sama, satu dari lima Muslim justru datang dari luar Islam—mualaf yang masuk lewat jalur pernikahan, pencarian pribadi, atau pergaulan. Artinya, ada dinamika keluar-masuk yang terus berputar. Kenyataan ini mengguncang klaim bahwa umat Islam selalu solid, selalu utuh, tak tergoyahkan.
Lalu mengapa di negeri-negeri Muslim angka murtad hampir nol? Jawabannya bukan karena iman sekuat baja. Jawabannya adalah ketakutan. Pada 2019, masih ada 22 negara yang menjadikan murtad sebagai tindak pidana. Di belasan negara lain, murtad bahkan dihukum mati. Di Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Asia Tenggara, seseorang bisa kehilangan pekerjaan, keluarga, bahkan hidupnya hanya karena keyakinannya berubah. Maka jangan heran bila survei resmi menampilkan angka yang nyaris bersih. Sunyi bukan berarti sepi. Sunyi adalah tanda represi.
Namun, fakta ini tetap menyembul di berbagai tempat. Di Kenya dan Ghana, aliran keluar dari Islam ke Kristen cukup terlihat. Di Iran, survei online anonim menunjukkan banyak orang muda tak lagi menyebut diri Muslim, meski hasil itu tak bisa diumbar di ruang publik. Semua ini menunjukkan bahwa iman yang dipaksa bertahan dengan ancaman hukum dan sosial sebenarnya rapuh. Ia bertahan bukan karena keyakinan, melainkan karena rasa takut.
Faktor penyebabnya jelas. Sekularisasi yang merasuk ke generasi muda, pernikahan lintas iman, diaspora, serta keterbukaan informasi global menciptakan ruang baru untuk bertanya, meragukan, bahkan meninggalkan. Pertanyaan-pertanyaan kritis itu sulit dihentikan di era internet. Semakin keras represi dijalankan, semakin diam-diam orang mencari jalan keluar. Murtad pun sering menjadi pilihan sunyi, jauh dari sorot mata negara dan masyarakat.
Dari sisi demografi, perpindahan ini tak akan mengubah wajah Islam global secara drastis. Pertumbuhan umat Islam tetap ditopang usia muda dan angka kelahiran tinggi. Namun, dari sisi kualitas iman, fenomena ini adalah peringatan keras. Represi hanya memperlebar jurang hipokrisi: di permukaan tampak solid, tetapi di bawahnya ada retakan yang menggerogoti. Retakan kecil inilah yang seharusnya menohok kesadaran kita semua.
Murtad bukan sekadar soal pindah agama. Ia adalah cermin yang memperlihatkan apakah iman benar-benar lahir dari kebebasan, atau sekadar bertahan karena tekanan. Selama keyakinan dipenjara oleh hukum dan stigma, retakan itu akan terus ada—dan ia tak akan pernah bisa ditutup. (Editor)










