OPINI  

Mitos Kota Pelajar dan Identitas Agama

Greeslin Lay, Mahasiswi Pascasarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Progma Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Foto: Istimewa

Oleh Greeslin Lay

Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

MASIH hangat dalam ingatan, ketika penulis tiba di Yogyakarta di awal Februari 2025 untuk melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri. Sebagai pendatang baru di kota Yogyakarta, penulis harus mencari tempat tinggal untuk studi selama kurang lebih dua tahun.

Bersama seorang teman berkeliling kami mengitari beberapa tempat yang dekat dengan kampus. Pada malam hari kami datangi salah satu kos yang dirasa sangat cocok dengan keinginan. Tanpa memperhatikan tulisan “Khusus Putri Muslimah”, kami mengetuk salah satu pintu kos.

Setelah membukakan pintu, salah seorang wanita paruh baya keluar. Ia melihat kami tidak berjilbab, lalu kata “maaf” meluncur. Si Wanita paruh baya itu mengatakan bahwa kos-kosannya hanya menerima perempuan Muslimah. Kami sontak kaget mendengar jawaban dari ibu itu. Ini adalah Pengalaman ini adalah yang bagi kami yang berlatar keyakinan agama Kristen ditolak di kos-kosan Muslim di kota Yogyakarta.

Pengalaman penolakan berlabel keyakinan agama seperti yang kami alami, aneka pertanyaan dalam benak penulis berkelebat. Mengapa Yogyakarta yang dikenal dengan label Kota Pelajar menjadi daerah yang nampak tidak toleran terhadap identitas pelajar yang beragam keyakinan agama? Mengapa tindakan pelabelan agama pada ruang-ruang hunian, seperti kos-kosan masih diterapkan?

Ruang yang Ramah

Kota Yogyakarta sendiri dalam peringkat kota toleransi belum masuk dalam 10 besar Indeks Kota Toleransi (IKT) di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Yogyakarta yang adalah kota Istimewa dengan julukan Kota Pelajar belum menjadi ruang yang ramah untuk menerima keanekaragaman suku, agama, dan ras di Indonesia. Ini berbanding terbalik dengan Salatiga, kota kecil yang menduduki peringkat pertama dari peringkat tiga di tahun 2023.

Dijuluki sebagai Kota Pendidikan, Salatiga memiliki kehidupan yang multikultur. Banyak pelajar datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tak berlebihan sehingga Salatiga memperoleh label lanjutan sebagai Indonesia Mini. Penerimaan dan keramahan dari elemen masyarakat Kota Salatiga pada keberagaman menjadi salah satu indeks pengukuran yang membuat Salatiga mendapatkan ranking IKT tertinggi (Setara Institute, 2025).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, Yogyakarta berada pada urutan enam besar jumlah mahasiswa terbanyak yang mencapai 389.699 jiwa. Jumlah pelajar yang tinggi ini menunjukkan, Yogyakarta sebagai tempat yang plural. Pasalnya, para pelajar berasal dari latar belakang yang berbeda. Dengan kehadiran para mahasiswa dari berbagai daerah ini, membuat sektor indekos (kos) menjadi salah satu bagian penting dan berkontribusi besar terhadap ekonomi Yogyakarta.

Jika kehadiran mahasiswa membawa keuntungan bagi perekonomian Yogyakarta lalu mengapa tanpa disadari Yogyakarta memperlihatkan diri menjadi kota yang seolah-olah menolak untuk hidup dalam keberagaman? Realitas kos-kosan berlabel agama di Yogyakarta yang menjamur membuat terjadinya penolakan terhadap orang dengan identitas berbeda agama. Hal tersebut masih dipraktikan sehingga membuat para mahasiswa yang datang untuk studi seringkali kesulitan mencari kos (tempat tinggal).

Menjamurnya kos-kosan berlabel agama tentu tidak terlepas dari sejumlah alasan di baliknya. Neni Hendriani dalam penelitian di salah satu kos Muslimah daerah Janturan untuk skripsinya menjelaskan, pemilik kos memakai label Muslim. Sebelumnya, pernah pula ada pengalaman di mana penghuni kos dari wilayah timur Indonesia yang tinggal di kos itu tidak menghormati pemilik dan melanggar aturan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dalam artikel di laman websitenya menjelaskan, oleh karena terjadi beberapa peristiwa dan pengalaman buruk yang pernah dialami, pemilik kos berpendapat bahwa keamanan dan kenyamanan akan lebih terjamin jika penghuninya hanya Muslim. Tidak hanya itu, beberapa penelitian juga mengungkapkan, dengan memberi label kos dengan identitas agama bertujuan mencegah mahasiswa hidup dalam pergaulan bebas.

Dari alasan-alasan ini tanpa disadari memberi label dan stigma kepada orang non-Muslim sebagai orang yang tidak memiliki sikap dan pola kehidupan yang baik. Hal ini bisa dipandang juga sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang-orang non-Muslim.

Diskriminasi yang Tak Disadari

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Bab 1 Pasal 1 dinyatakan, “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, pengucilan yang langsung atau pun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan…”.

Berdasarkan definisi diskriminasi yang dicantumkan dalam Undang-Undang HAM tersebut, tindakan berlabel agama pada kos-kosan di Yogyakarta hakikatnya merupakan tindakan diskriminasi yang tak disadari dan dipraktikkan. Hal ini bisa dilihat dari setiap tulisan “Kos Khusus Putri Muslimah” di depan rumah kos-kosan.

Ini sebenarnya menjadi satu ‘narasi’ yang secara jelas memberikan pembatasan secara langsung terhadap akses hunian bagi orang non-Muslim. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi langsung yang belum disadari. Sejauh ini belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang jelas untuk melarang praktek diskriminasi tersebut.

Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemondokan justru hanya memberi fokus utama pada kewajiban pemilik kos untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan menaati norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.

Frasa “menaati norma agama” kerap dapat ditafsirkan oleh para pemilik kos sebagai legitimasi untuk hanya menerima penyewa satu agama yang sesuai dengan norma-nya yang seragam dan mudah dijaga. Ini dipakai sebagai pembenaran untuk mendiskriminasikan orang yang berbeda agama dengan dalih menjaga ketertiban norma agama di kos-kosan.

Dapat dikatakan bahwa Perda ini lebih menitikberatkan pada fungsi kontrol moral dan keamanan kemudian melupakan bahwa ada isu diskriminasi yang terlahir melalui regulasi ini. Pengalaman penolakan di kos-kosan yang berlabel agama, seperti yang kami alami, menjadi tolok ukur untuk dibuat Perda yang menjamin dan menghormati hak asasi setiap orang untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan.

Mentalitas Perbandingan Berlabel Agama

Dalam Teori Identitas Sosial (1979) karya Henri Tajfel, dijelaskan bagaimana individu mendefinisikan diri mereka berdasarkan keanggotaan kelompok dan berusaha mempertahankan identitas sosial yang positif melalui kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan perbandingan sosial, yang dapat memicu favoritisme kelompok dalam dan prasangka terhadap kelompok luar.

Dari teori Tajfel, publik dapat memiliki cara pandang bahwa pelabelan kos Muslim dan Muslimah sebenarnya adalah cara pemilik kos menyederhanakan dunia kehidupan sosialnya kedalam kotak-kotak kategori agar lebih mudah dipahami. Pemilik kos menggunakan label agama sebagai jalan pintas untuk menilai karakter seseorang, sehingga mereka tidak perlu lagi repot untuk mengecek kepribadian dan identitas penghuni satu per satu.

Dengan cara ini, mereka menciptakan perasaan ‘senasib-sepenanggungan’ diantara penghuni kos, yang membuat mereka merasa lebih aman dan nyaman karena dikelilingi oleh ‘orang-orang kita’ yang dianggap memiliki nilai dan aturan hidup yang sama.

Jika dilihat, pengelompokan ini sebenarnya memicu mentalitas perbandingan ‘we and they’ yang berujung pada perasaan lebih unggul. Penghuni dan pemilik kos tidak sadar membandingkan diri mereka dengan kelompok luar, dimana kelompok ‘kos Muslim dan Muslimah’ dianggap pasti lebih bermoral, bersih, dan tertib, sementara kelompok luar dianggap bebas dan memiliki potensi sikap lebih buruk.

Akibatnya adalah menolak mahasiswa non-muslin dianggap sebagai tindakan yang wajar demi menjaga kemurnian dan citra baik kelompok mereka, bukan dianggap sebagai diskriminasi.

Kemunduran Sosial

John W Berry dalam Acculturation: living successfully in two cultures (2005) menegaskan, diskriminasi dan pemberian label buruk merupakan fenomena global yang akan terus berlangsung. Diskriminasi dan pemberian label buruk terhadap orang-orang di luar kategori diri sebenarnya menjadi satu bentuk kemunduran sosial.

Dengan adanya pelabelan agama, menghancurkan ruang perjumpaan organik para mahasiswa. Mahasiswa yang beragam bisa berkumpul dalam satu atap, masak dan makan bersama, saling berbagi, dengan adanya pelabelan ini membuat batasan tembok tinggi untuk tidak saling berjumpa dan mengenal.

Kos-kosan di Yogyakarta tidak lagi berfungsi sebagai tempat melebur dan berbaurnya mahasiswa yang berbeda suku dan agama. Penghuni kos hidup dalam lingkungan yang bersih dari perbedaan. Tidak heran jika akibatnya para mahasiswa menjadi gagap budaya ketika lulus dan masuk ke dunia kerja yang majemuk.

Fenomena echo chamber pun terjadi di dunia nyata karena hanya tinggal dengan orang yang memiliki satu agama dan nilai yang sama. Mentalitas “we and they” akan menguat dan semakin berlebihan yang mengakibatkan kurangnya empati terhadap kelompok diluar kelompok mereka.

Menjamurnya pelabelan agama pada kos-kosan di Yogyakarta bukan sekadar persoalan masalah sewa-menyewa kamar, bukan pula sebatas persoalan menjaga norma dan sikap penyewa kos. Ini adalah proses menghilangkan keberagaman pada tingkat akar rumput. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan yang inklusif justru pada akhirnya dikurung dalam kotak-kotak homogen satu ruang atap yang sama.

Hal ini sendiri berdampak pada terciptanya generasi yang mungkin cerdas secara akademis, namun rapuh secara sosial dalam menghadapi perbedaan. Untuk mengatasi persoalan yang berlabelkan keyakinan agama tertentu diperlukan Peraturan Daerah yang menjamin kebebasan dan hak setiap orang untuk hidup tanpa diskriminasi sosial, ras, agama dan budaya.