OPINI  

Merambah Jalan Baru Papua

Moksen Sirfefa, intelektual Papua. Foto: Istimewa

Oleh Moksen Sirfefa

Intelektual Papua

PENGHUJUNG 2025, pemerintah kembali menunjukkan perhatiannya untuk Papua. Paling kurang ada yang dapat dicatat di sini. Pertama, Rapat Koordinasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia dan Komite Eksekutif Percepatan Otonomi Khusus Papua (baca: Komite Eksekutif Papua/KEP) bersama enam gubernur, dua walikota dan 40 bupati seluruh tanah Papua di Kantor Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (15/12).

Kedua, peluncuran Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP) tahun 2022-2041 di Kementerian PPN/Bappenas di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/12) pagi yang diikuti gubernur, bupati/walikota seluruh tanah Papua.

Ketiga, Rapat Kabinet Terbatas Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Komite Eksekutif Papua/KEP, gubernur, bupati/walikota se-tanah Papua di Istana Presiden di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (16/12) sore.

Fokus dari ketiga acara ini adalah memastikan pembangunan nasional dalam kerangka otonomi khusus (otsus) di Papua terus berjalan efektif, efisien guna mencapai tujuan kesejahteraan bagi Papua.

Papua Selalu di Hati

Sorga yang jatuh ke bumi itu bernama Papua. Tak terkira ulasan dan pujian atas panorama dan kekayaan alamnya dan eksotisme sosial budayanya. Papua selalu menjadi topik pembangunan yang spesifik di semua era kepresidenan, baik di era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Di era reformasi Presiden Habibie menghadiahkan otonomi khusus.

Sementara Gus Dur mengembalikan nama Papua menggantikan Irian Jaya, Megawati membentuk Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat), Irian Jaya Tengah (tidak terealisir), Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika dan Kota Sorong.

Selanjutnya Presiden SBY meletakkan tiang pancang jembatan Holtekamp, peningkatan Jalan Trans-Papua (Wamena-Habema-Yuguru-Batas Batu), menginisasi New Deal for Papua, antara lain dialog dengan para pemuka agama dan proyek perdamaian revitalisasi situs Mansinam.

Kemudian Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan pembangunan Jembatan Youtefa, Pekan Olahraga Nasional (PON) XX dan peningkatan infrastruktur jalan, jembatan dan bandar udara.

Seolah tak mau kalah dengan para pendahulunya, Presiden Prabowo Subianto kini melangkah menangani Papua dengan membentuk KEP, sebuah lembaga non-struktural yang bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Tentu publik di Papua berharap bahwa di balik ketegasannya di dalam memimpin pemerintahan, Presiden Prabowo lewat KEP akan mengarahkan kembali haluan Otsus Papua pada rel yang sebenarnya.

Penunjukan putra asli Papua Dr Velix Vernando Wanggai, SIP, MPA selaku Ketua KEP dengan 9 anggota KEP yang memiliki rekam jejak (track record) yang baik di level nasional maupun di Papua membawa harapan baru bahwa percepatan pembangunan otsus Papua memiliki prospek kemajuan di masa depan.

Komite ini diharapkan menjadi transmitter antara pusat dan daerah secara timbal-balik di dalam urusan pembangunan. Pembentukan komite ini juga merupakan suatu kepercayaan sekaligus harapan bahwa mereka yang duduk di KEP dapat membantu presiden mewujudkan Asta Cita Rasa Papua (Acara Papua) yang menjadi misi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Bukan Sekadar Uang

Dari isu administratif dan teknokratik, hal paling mengemuka di tiga momen di atas adalah soal distribusi alokasi dana otsus. Padahal membincang otsus Papua, tidak hanya soal uang tapi hal penting lain, di antaranya pembagian kewenangan sektoral yang lebih luas dan niat tulus.

Membangun Papua dengan hati akan menembus segala segmen dan sentimen, karena kasih Papua melampaui segala perbedaan. Orang Papua tulus mencintai Indonesia dan menyatakan bergabung dengan Indonesia tanpa harus meminta mahar saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pilihan untuk bergabung dengan Indonesia itu final.

Sejak masa kepemimpinan Gubernur Papua (mendiang) Lukas Enembe, soal kewenangan sektoral ini sudah disuarakan secara lantang, tetapi Jakarta diam seribu bahasa. Jakarta belum mendengar hal itu sebagai critical point untuk mewujudkan otsus Papua yang tidak samar-samar selama 25 tahun.

Prinsip lex spesialis derogate legi generali yang menjadi ruh otsus Papua tidak benar-benar terlihat di dalam praktik pemerintahan di Papua. Tali kekang Jakarta masih terlalu kuat di sektor-sektor strategis, seperti perhubungan, pertambangan, kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan, pertanahan, kepabeanan dan keuangan. Semua sektor di atas masih dikendalikan kuat oleh Jakarta.

Ujungnya, kebijakan otsus Papua terkesan banci atau (kata orang Papua) lepas kepala pegang ekor. Kepala kembali mematok yang memegang ekornya, seperti yang dilakukan oleh mendiang Enembe. Ini tentu berbeda dengan Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa sewaktu di Bappenas yang melihat uangnya saja.

Akibat paradigma pejabat di pusat dan di Papua tentang otsus Papua adalah uang, lagi-lagi uang, menyebabkan otsus Papua menjadi identik dengan duit bukan do it bagi kemaslahatan orang asli Papua.

Alih-alih di masa depan topik tentang dana otsus yang merajai setiap sesi forum otsus Papua tetapi inisiasi gagasan inovatif dan pembaruan strategi pembangunan yang menjadi fokus wacana teknokratik dan implementasi otsus Papua.

Problem Fiskal?

Papua telah banyak memperoleh perhatian pemerintah, dimana setiap tahun pembiayaan pembangunan untuk Papua terus mengalami peningkatan. Tetapi melihat dinamika tiga pertemuan di atas, nuansa ingin meminta tambahan anggaran mengemuka di dalam forum.

Raut wajah kepala daerah terlihat muram karena kebijakan efisiensi di semua sektor pembangunan berdampak ke Papua. Ketua Asosiasi Gubernur Seluruh Tanah Papua Meki Nawipa secara lantang mempertanyakan kebiakan efisiensi itu. Alasannya, tantangan pembangunan di Papua sangat berbeda.

Pada tahun 2025, dana otsus Papua naik sebesar Rp 12,6 triliun. Dana tersebut menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia Purbaya telah dikucurkan. Tapi dengan adanya kebijakan efisiensi, dana otsus 12-an triliun rupiah itu akan dipangkas menjadi 10 triliun di tahun 2026.

Hal ini mendatangkan reaksi para kepala daerah di atas. Konon dengan melihat reaksi para kepala daerah di Papua itu, Presiden Prabowo “melarang” Menteri Purbaya memangkas dana otsus. Presiden memerintahkan dana otsus Papua tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan dan meminta Purbaya melakukan efisiensi di tempat lain saja. Diskresi prerogatif itu menunjukkan Presiden Prabowo sangat memahami Papua.

Meskipun dana otsus memberikan sumbangan signifikan (di atas 50 persen) dari postur APBD di tiap provinsi di Papua, tetapi masih ada sektor-sektor lain yang memberi sumbangan signifikan bagi APBD di setiap provinsi. Sektor-sektor strategis lain itu yang harus dibicarakan lebih serius dan intensif agar common sense pejabat dan publik di Jakarta dan di Papua tidak melulu soal uang.

Pemantapan penguatan kewenangan yang lebih luas kepada Papua di dalam mengelola sektor-sektor strategis secara realistis akan mendatangkan limpahan pendapatan bagi daerah dibanding menggantungkan diri pada dana otsus.

Jika hanya bergantung pada belas kasih negara berupa 2,25 persen dari plafon dana alokasi umum (DAU) nasional yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan otsus Papua, problem fiskal ini tak akan selesai.

Dari waktu ke waktu, Papua hanya berkutat di sini dan tak mampu beranjak dari keluhan dana otsus yang tak pernah memuaskan hasrat itu. Justru itu, perlu reorientasi paradigma.

Jakarta harus ikhlas menyerahkan kewenangan yang sewajarnya sesuai Undang-Undang (UU) kepada Papua dan Papua harus sungguh-sungguh melaksanakan kewenangan itu sepanjang dibolehkan UU. Sebab dengan kewenangan kekhususan yang luas itu, peningkatan fiskal daerah akan naik berkali lipat dibanding sekedar bergantung pada dana otsus.

Tugas dan Peran KEP

Harus diakui bahwa kenaikan dana otsus Papua setiap tahunnya belum memberikan hasil yang signifikan perlu dilakukan evaluasi yang komprehensif. Pertanyaannya, mengapa kenaikan demi kenaikan pagu dana otsus itu tidak mampu memberikan keseimbangan fiskal yang memadai?

Publik memahami bahwa tantangan pembangunan dan karakteristik wilayah menjadi salah satu sebab. Tetapi sebab lainnya adalah manajemen pemanfaatan dana otsus yang lemah dan tidak optimal.

Sebagai langkah pertama mengawal amanah besar ini, KEP dapat menjadikan pemanfaatan dana itsus tahun 2025 sebagai bahan evaluasi. Apakah pemerintah daerah telah benar-benar mengalokasikan dana otsus yang besarnya 2,25 persen dari plafon DAU nasional itu sesuai peruntukannya?

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 mengamanahkan bahwa 1 persen dana otsus terutama diperuntukan pada sektor pembangunan, pemeliharaan dan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan orang asli Papua dan penguatan lembaga adat serta kebutuhan prioritas daerah.

Sementara 1,25 persen lainnya dibagi lagi untuk pendidikan sebesar 30 persen, untuk kesehatan sebesar 20 persen, dan untuk pemberdayaan ekonomi orang asli Papua. Sekali lagi pertanyaannya, apakah daerah telah disiplin melaksanakan semua amanat undang-undang otsus di atas?

Selain dana otsus tersebut, terdapat dana tambahan otsus yang diusulkan daerah kepada pemerintah dan DPR untuk pembiayaan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi dan sanitasi lingkungan.

Dana tambahan otsus infrastruktur ini juga jika dirancang lebih persuasi, akan sangat membantu pemerintah daerah melaksanakan percepatan pembangunan. Sejauh ini usulan tambahan dana otsus ini tidak mencerminkan kebutuhan mendesak melainkan sekadar daftar usulan keinginan.

Rincian peruntukan dana otsus di dalam UU sangat jelas. Namun jika pemerintah daerah merasa tidak mencukupi, bagaimana cara menambahkannya?

Pertama, pemerintah daerah menyampaikan laporan pemanfaatan dana otsus yang rinci dan transparan. Kedua, Kemampuan setiap kepala daerah meyakinkan pemerintah dan DPR tentang aspek-aspek krusial yang urgen ditangani segera.

Sangat penting juga para gubernur menghadirkan catatan rinci tentang pemanfaatan dana otsus, digunakan untuk kegiatan apa dan bagaimana dampak (impact) dan manfaatnya (outcome) bagi orang asli Papua. Bila tidak mencukupi atau tidak mencapai target akan terlihat penyebabnya.

Hal itu akan menghadirkan keyakinan (trust) bagi Jakarta. Jika para gubernur mengatakan dana otsus tidak cukup disertai dengan performa indikator keberhasilan dan atau penyebab ketidakcukupannya pasti mendatangkan kepercayaan bagi Jakarta. Ssbaliknya bila tidak disertai catatan seperti itu justru mendatangkan distrust, bagi Jakarta.

Dengan sejumlah catatan itu, peran KEP di dalam mengevaluasi, supervisi dan pengendalian pemanfaatan dana otsus dan dana tambahan otsus sangat diperlukan. KEP juga dapat berperan membantu daerah untuk lebih kreatif mencari sumber-sumber penerimaan baru dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya.

Tetapi sekali lagi KEP diminta untuk terus melakukan komunikasi yang intensif dengan pemegang portofolio kewenangan di Jakarta agar pendelegasian kewenangan untuk daerah dalam kerangka otsus berjalan efektif dan oprimal.

Akhirnya satu harapan baru yang bisa membanggakan Papua adalah pernyataan Presiden Prabowo di hadapan para menteri Kabinet Merah Putih, KEP, para gubernur dan para bupati/walikota menyinggung soal divestasi 10 persen penghasilan PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk kemaslahatan orang asli Papua.

Selama ini divestasi 10 persen itu diberikan pada BUMD provinsi Papua dan masyarakat pemilik hak ulayat di kabupaten Mimika. Namun dengan adanya enam provinsi saat ini, divestasi 10 persen PTFI itu dikhendaki oleh Presiden didistribusikan secara merata dengan kebijakan provinsi penghasil memiliki prosentasi lebih.

Kebijakan fiskal ala Prabowo (prabowonomic) ini menjadi lesson learn untuk diberlakukan pula bagi LNG Tangguh, Genting Oil dan investasi besar lainnya yang beroperasi di tanah Papua. Spiritnya adalah provinsi boleh banyak, tetapi Papua tetap satu untuk maju bersama.