Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
TANAH Papua (selanjutnya, Papua) adalah tanah yang indah sekaligus keras. Ia adalah ibu yang memeluk, tetapi juga menguji. Setiap orang yang benar-benar mencintai Papua mengetahui bahwa cinta di tanah ini bukan sekadar cinta yang lembut. Ia cinta yang menuntut pengorbanan, kesetiaan, solidaritas, dan kesediaan untuk terluka, baik secara fisik maupun psikis.
Di pegunungan yang terjal, di lembah yang terbalut kabut tebal, di kampung-kampung yang tersembunyi di balik gunung dan bukit, cinta pada Papua selalu datang bersama luka. Namun, di saat yang sama atau di lain ruang dan waktu luka lalu menguras dasar jiwa dan semangat untuk berjuang sehingga semakin bermakna.
Frasa ‘mencintai Papua sampai terluka’ sebagaimana judul di atas bukan sekadar retorika diksi puitis. Ia adalah realitas yang menyertai kenyataan hidup masyarakat Papua, para pelayan publik, tenaga kesehatan bahkan guru-guru yang mendedikasikan waktu dan tenaga di tengah senyum dan tawa murid-muridnya di dalam ruang kelas di pelosok.
Mencintai Papua hingga terluka adalah realitas yang dihadapi aparat keamanan yang bertugas hingga para pemimpin yang berpeluh keringat dan rdarah untuk membangun daerah tertinggal puluhan tahun dari arus modernitas nasional. Papua adalah tanah yang menuntut kesetiaan tanpa kompromi.
Siapapun yang datang dengan niat tulus untuk melayani akan segera sadar bahwa tanah ini memberikan kasih sayang sekaligus ujian ganda: cinta dan luka yang berjalan beriringan.
Tantangan Geografis
Di Papua, luka fisik bukan hal asing. Topografi alam yang ekstrem membuat masyarakat harus berjuang sekadar untuk menjalani rutinitas kehidupan saban hari. Anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam menembus lembah dan pegunungan, menyusuri lereng terjal hingga ngarai sekadar untuk menyentuh bibir halaman sekolah.
Ibu-ibu hamil pun harus terpaksan menyeberangi sungai dengan risiko terseret arus akibat jembatan kayu nihil. Banyak jalur logistik hanya dapat diakses dengan helicopter. Tatkala cuaca buruk dan susah diajak menghambat penerbangan, masyarakat harus rela menahan lapar selama berhari-hari. Maut seakan terus mengintai
Luka fisik ini diperparah oleh minimnya infrastruktur kesehatan. Luka kecil dapat berubah menjadi bencana besar karena Puskesmas belum ada. Obat-obatan pun tidak tersedia bahkan tenaga medis yang minim untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis di wilayah yang terbentang luas.
Evakuasi pasien bergantung pada cuaca. Ketika awan menutup langit, helikopter tidak dapat mendarat lalu nyawa melayang hanya karena infeksi sederhana atau persalinan yang terlambat ditangani.
Beberapa wilayah juga menghadapi risiko kekerasan akibat konflik bersenjata. Guru, tenaga kesehatan, dan aparat sipil sering jadi sasaran. Mereka terluka secara fisik karena bekerja di wilayah rawan sambil tetap memegang teguh misi pembangunan. Setiap langkah mereka kerap diiringi risiko, tetapi mereka memilih bertahan karena kecintaan terhadap tanah ini.
Hati Tergores
Namun luka yang paling dalam justru bukan luka fisik melainkan luka perasaan. Luka yang tidak terlihat tetapi dirasakan bahkan tergores di hati hampir seluruh masyarakat Papua. Luka karena merasa tertinggal jauh dari provinsi lain. Seolah tidak diikutsertakan dalam arus besar pembangunan nasional.
Luka karena kebijakan sering dibuat tanpa mendengar suara masyarakat adat yang hidup turun-temurun di tanah ini. Luka Papua karena masih ada stigma dan diskriminasi terhadap masyarakat setempat (Papua) yang dianggap terbelakang atau tidak mampu. Padahal. banyak anak Papua memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa tetapi tidak mendapat ruang untuk berkembang.
Ada pula luka kehilangan. Banyak keluarga kehilangan anak, saudara atau orang tua akibat konflik berkepanjangan, kecelakaan di medan sulit, penyakit yang tidak ditangani tepat waktu atau bencana alam. Para pelayan publik —guru, tenaga medis, ASN, dan aparat keamanan— sering kehilangan rekan kerja atau sahabat saat menjalankan tugas di pedalaman.
Luka-luka emosional ini membekas, membentuk lapisan sejarah yang tidak mudah dihapus. Namun, itulah yang menguatkan semangat solidaritas orang Papua. Luka perasaan ini juga dialami para pemimpin daerah. Mereka berjuang menyusun kebijakan, memperjuangkan anggaran, mengubah pola pikir, menegosiasikan logistik, menjaga stabilitas, dan memberikan harapan.
Namun sering kali perjuangan itu tidak terlihat, tidak dihargai bahkan disalahpahami. Tetapi mereka tetap bertahan karena mencintai Papua adalah panggilan suci, bukan sekadar jabatan.
Mengapa Sampai Terluka
Mengapa mencintai Papua sampai terluka? Jawabannya, Papua adalah tanah yang memanggil manusia pada cinta paling murni, cinta yang berani menghadapi luka. Papua indah tetapi keras. Ia kaya tetapi tertinggal. Ramah tetapi penuh tantangan, subur tetapi sulit diakses.
Setiap orang yang mengabdikan diri untuk tanah ini harus bersiap untuk tetap setia walau disalahpahami. Tetap hadir walau terancam, tetap membangun walau jalan berbatu, dan tetap berdiri walau jatuh berkali-kali bahkan tetap melayani walau belum dihargai. Itulah cinta yang paling tulus. Itulah loyalitas tanpa syarat. Itulah makna mencintai Papua hingga terluka.
Luka dalam perjuangan membangun Papua bukan tanda kelemahan. Ia sinyal bahwa seseorang memilih bertahan ketika yang lain memilih mundur. Seperti Yesus yang berjalan dalam lembah bayang-bayang maut tetapi tidak gentar karena mengetahui tujuan-Nya, demikian pula perjuangan membangun Papua.
Ada luka, tetapi luka itu membawa pemulihan. Ada air mata, tetapi air mata itu menyuburkan asa. Ada risiko, tetapi risiko inilah yang mengangkat martabat perjuangan.
Luka ini berubah menjadi kehormatan bahwa pembangunan Papua tidak pernah mudah tetapi selalu mulia. Bahwa siapa pun yang melayani di tanah ini, dari pejabat daerah hingga relawan, dari guru hingga pastor, dari nakes hingga pemuda sesungguhnya sedang berjalan di jalan pengorbanan yang suci: jalan salib pembangunan.
Untuk yang Terluka Demi Papua
Orang-orang yang benar-benar mencintai Papua mungkin tubuhnya terluka, hatinya menangis, jiwanya letih atau semangatnya sempat rapuh. Tetapi mereka tidak menyerah. Mereka tahu bahwa Papua layak diperjuangkan. Mereka percaya bahwa masa depan Papua tidak akan dibangun oleh orang-orang yang berteriak paling keras. Namun, mereka yang bertahan paling lama, yang tetap bekerja walau semua terasa berat, yang tetap berharap walau berada dalam gelap.
Karena itu, mencintai Papua sampai terluka bukan sekadar slogan, melainkan kesaksian hidup. Maju terus dan pantang mundur meski berjalan dalam lembah yang menyimpan bayang-bayang maut. Pada akhirnya luka ini bukanlah akhir.
Namun, ia awal dari kemuliaan, awal dari Papua yang lebih adil, lebih sehat, lebih maju, dan lebih bermartabat. Papua yang dibangun oleh cinta meski terluka sekalipun. Mencintai Papua hingga terluka mengandaikan siapapun diajak mengabdi dengan totalitas jiwa.









