OPINI  

Menanti “Indonesia Spring”: Disintegrasi Bangsa?

Yakobus Dumupa, Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papual. Foto: Dok. Odiyaiwuu

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang Asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

DALAM beberapa hari terakhir, Indonesia seolah berada di persimpangan jalan. Gejolak yang bermula dari kekecewaan publik terhadap rencana kenaikan tunjangan rumah anggota DPR RI telah berkembang menjadi gelombang protes yang jauh lebih besar. Kejadian ini, yang berawal pada Kamis, 28 Agustus 2025, bukan sekadar respons terhadap satu kebijakan, melainkan cerminan dari akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap ketidakadilan ekonomi dan ketidakpekaan elite politik. Insiden tragis yang menimpa seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, di tengah demonstrasi lantas menjadi simbol dari semua kekecewaan tersebut, mengubahnya menjadi api amarah yang menyala.

Momen-momen ini tak pelak memunculkan pertanyaan yang membandingkannya dengan peristiwa-peristiwa besar di belahan dunia lain. Di benak banyak orang, pergerakan ini mengingatkan pada “Arab Spring”, gelombang revolusi pro-demokrasi yang mengguncang Timur Tengah pada awal 2010-an. Gelombang protes yang berhasil menggulingkan rezim-rezim otoriter di Tunisia dan Mesir menjadi inspirasi bagi banyak pihak yang mendambakan perubahan. Namun, di sisi lain, ia juga meninggalkan trauma mendalam berupa perang saudara di Libya, Yaman, dan Suriah. Pertanyaan yang tak terhindarkan kini adalah: apakah Indonesia, dengan gejolak yang merebak di tanah air, tengah berada di ambang “musim semi” serupa?

Skenario Masa Depan: Pemicu Gejolak yang Berujung pada Disintegrasi

Jika melihat sekilas, fondasi demokrasi Indonesia mungkin membuat skenario revolusi total terasa mustahil. Namun, kita tidak bisa mengabaikan potensi gejolak di masa depan jika pemerintah tetap melanjutkan perilakunya. Perilaku yang dimaksud adalah ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat, praktik korupsi, dan kebijakan yang tidak adil. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang, jika tidak ditangani dengan serius, bisa menjadi bibit bagi kehancuran yang lebih besar.

Ada tiga faktor utama yang bisa menjadi pemicu kuat “Indonesia Spring” di masa depan:

Pertama, meningkatnya kesenjangan dan ketidakpekaan elite. Ketidakpuasan publik atas ketidakadilan ekonomi dan korupsi yang merajalela akan mencapai titik didih. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia terus melebar. Kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara mayoritas masyarakat berjuang dengan upah rendah, kenaikan harga bahan pokok, dan kesulitan mencari pekerjaan. Di beberapa daerah, terutama yang kaya akan sumber daya alam, ketidakpuasan ini diperparah oleh rasa ketidakadilan karena kekayaan mereka justru tidak dinikmati secara lokal. Jika pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, seperti kenaikan tunjangan pejabat atau proyek-proyek jumbo yang tidak transparan, ketidakpuasan publik akan terakumulasi. Ini akan menciptakan “bom waktu” sosial yang bisa meledak kapan saja.

Kedua, meningkatnya represi dan penyempitan ruang sipil. Meskipun Indonesia memiliki sistem demokrasi, ruang sipil semakin menyempit. Undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi, penangkapan aktivis, dan penyensoran di media sosial adalah indikasi nyata bahwa pemerintah semakin alergi terhadap kritik. Jika pemerintah terus membatasi kebebasan sipil, ruang untuk menyalurkan kritik secara damai akan menyempit. Ketika saluran demokratis tersumbat, frustrasi publik akan terakumulasi dan mencari jalan lain untuk meledak, seperti yang terjadi pada gelombang protes di Timur Tengah. Di beberapa daerah, frustrasi ini bisa mengambil bentuk tuntutan untuk melepaskan diri dari kontrol pusat yang dianggap represif.

Ketiga, peran Media sosial dan “momen katalis” yang tepat. Media sosial kini menjadi kekuatan yang tak terhindarkan. Informasi menyebar dengan sangat cepat, melampaui media arus utama. Jika terjadi sebuah momen katalis yang tepat—seperti tragedi yang menimpa Mohamed Bouazizi di Tunisia, atau kematian Affan Kurniawan dalam kasus yang Anda sebutkan—maka media sosial dapat menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang sebelumnya pasif. Insiden ini bisa menjadi simbol dari semua ketidakadilan dan kegagalan pemerintah, mendorong gelombang protes yang jauh lebih besar dan terorganisir.

Kesimpulan: Menuju Titik Krisis dan Potensi Disintegrasi

Jika ketiga faktor ini bertemu di satu titik, potensi untuk terjadinya “Indonesia Spring” sangatlah mungkin. Namun, berbeda dengan revolusi di Timur Tengah yang berpusat pada pergantian rezim, “musim semi” Indonesia bisa mengambil bentuk yang lebih mengerikan: disintegrasi.

Ketidakpuasan yang akut, ditambah dengan sentimen etnis atau regional, bisa memunculkan gerakan-gerakan separatis di berbagai wilayah. Wilayah yang merasa dieksploitasi oleh pemerintah pusat, seperti Papua, Kalimantan, atau Aceh, dapat memanfaatkan kekacauan ini untuk menggerakkan tuntutan kemerdekaan. Ketika Jakarta sibuk menghadapi protes besar, dan aparat keamanan terbagi, wilayah-wilayah yang memiliki masalah historis dengan pemerintah pusat bisa mendeklarasikan kemerdekaan. Dalam skenario ini, kekerasan akan sulit dihindari, dan negara terancam pecah.

Maka, gejolak yang terjadi saat ini bukan hanya sekadar urusan politik. Ia adalah peringatan keras bahwa jika pemerintah tetap buta dan tuli, ketidakpuasan masyarakat dapat berakumulasi dan mencapai titik didih. “Indonesia Spring” bukan hanya tentang pergantian pemimpin, melainkan tentang ujian fundamental terhadap persatuan dan keberadaan bangsa. Jika kita gagal meresponsnya, masa depan yang penuh kekerasan dan perpecahan bisa menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.