OPINI  

Membangun Mimika dari Kampung ke Kota

Darius Sabon Rain, SE, M.Ec.Dev, Pemerhati Ekonomi dan Sosial; Pelaksana Tugas Sekretaris Bapenda Mimika, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Oleh Darius Sabon Rain, SE, M.Ec.Dev

Pemerhati Ekonomi dan Sosial; Pelaksana Tugas Sekretaris Bapenda Mimika

SELAMA ini Mimika dikenal sebagai jantung ekonomi Papua. Kekayaan alamnya melimpah. Kabupaten di lereng Nemangkawi ini menorehkan babak baru dalam perjalanan pembangunan di era kepemimpinan Bupati Johannes Rettob dan Wakil Bupati Emanuel Kemong.

Duet pemimpin daerah ini mengusung program prioritas bertajuk Membangun dari Kampung ke Kota yang merupakan visi misi kepemimpinannya. Hal ini bukan sekadar perubahan fisik, melainkan sebuah pernyataan visi yang berani: pembangunan sejatinya harus inklusif, berkelanjutan, dan menghargai akar budaya.

Pembangunan dari kampung ke kota di Mimika idealnya dipahami sebagai proses “menyatukan, bukan menggantikan.” Artinya, kemajuan infrastruktur, pertumbuhan pusat-pusat pelayanan, dan modernisasi tata kota tidak boleh menihilkan karakter dan kearifan lokal masyarakat asli.

Kota yang dibangun harus menjadi ruang di mana masyarakat adat dan masyarakat nusantara bisa hidup berdampingan, saling memperkaya dan bersama-sama menikmati hasil pembangunan. Mengapa demikian?

Prinsip Dasar

Ada sejumlah prinsip dasar harus penopang transformasi. Pertama. infrastruktur yang memanusiakan. Pembangunan jalan, jembatan, listrik dan air bersih harus menjangkau bukan hanya kawasan perkotaan. Pembangunan menyasar kampung-kampung baik di wilayah pesisir maupun pedalaman. Aksesibilitas yang setara akan mengurangi kesenjangan dan memastikan bahwa semua warga merasakan manfaat pembangunan.

Kedua, ekonomi yang berkeadilan.  Mimika tidak boleh terjebak dalam paradigma “ekonomi enclave”, di mana kemakmuran hanya dinikmati segelintir atau sekelompok orang tertentu. Penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal, pemberdayaan masyarakat dalam rantai nilai ekonomi, serta pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar modern adalah kunci menciptakan kemandirian ekonomi di luar sektor ekstraktif.

Ketiga. pembangunan manusia sebagai prioritas. Kota yang maju dibangun oleh manusianya yang sehat, cerdas dan berdaya saing. Fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan ruang publik yang layak akan menciptakan generasi yang siap memimpin Mimika ke masa depan.

Keempat, pelestarian budaya dan lingkungan. Identitas budaya adalah jiwa dari sebuah tempat. Tata ruang kota harus memberikan ruang bagi ekspresi budaya. Sedang di sisi lain, pembangunan harus dilakukan dengan prinsip ramah lingkungan. Mimika yang hijau dan berkelanjutan adalah warisan terbaik untuk anak cucu.

Kelima, tata kelola yang transparan dan partisipatif. Proses pembangunan harus melibatkan suara masyarakat dari awal perencanaan hingga pemanfaatan hasilnya. Transparansi dalam pengelolaan sumber daya keuangan adalah pondasi kepercayaan publik.

Pembangunan yang benar bukan sekadar memoles pusat kota. Namun, lebih dari itu ialah memastikan perubahan nyata dirasakan dari kampung tempat sebagian besar identitas, ekonomi rakyat dan sumber daya Mimika bertumpu. Karena itu, gagasan “membangun dari kampung ke kota” bukan sekedar slogan, tetapi merupakan sebuah strategi.

Strategi ini menempatkan kampung sebagai titik awal pemerataan layanan dasar, penguatan ekonomi lokal dan peningkatan kualitas hidup, lalu mengalir menjadi daya dukung bagi pertumbuhan kota yang lebih tertib, produktif dan berkeadilan.

Membangun dari kampung ke kota bukan hanya sekadar memindahkan proyek dari kota ke kampung-kampung. Ia juga strategi menjahit rantai nilai (produksi, logistik, pasar, jasa publik) agar kampung menjadi kuat dan kota menjadi pengungkit, bukan magnet yang menyedot semuanya.

Dasar Pijakan

Ada beberapa indikator yang memperlihatkan paradoks sekaligus menjadi dasar pijakan dalam penyusunan strategi pembangunan dari kampung ke kota antara lain. Indikator dimaksud dapat diurai sebagai berikut.

Pertama, konsentrasi penduduk sangat tinggi di pusat perkotaan. Jumlah penduduk Mimika tahun 2024 tercatat 492.896 jiwa. Distribusinya menunjukkan Distrik Mimika Baru menampung sekitar 64,65 persen penduduk, sementara banyak distrik lain berpenduduk kecil dan tersebar (BPS Web API).

Kedua, pertumbuhan ekonomi sangat besar tetapi tidak otomatis menurunkan kerentanan. Data PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Mimika tahun 2024 menunjukkan, sekitar Rp 146,30 triliun, dengan net ekspor sekitar Rp 91,19 triliun, yang menggambarkan kuatnya keterkaitan ke pasar luar.

Jika dibagi dengan jumlah penduduk tahun 2024, PDRB per kapita “kasar” kira-kira Rp 297 juta, sebuah angka yang besar namun perlu dibaca hati-hati karena struktur ekonomi Mimika sangat dipengaruhi sektor ekstraktif dan aktivitas berorientasi ekspor.

Ketiga, angka kemiskinan turun, tapi masih dua digit. Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di Mimika sebesar 14,18 persen atau setara dengan 32,09 ribu penduduk miskin (BPS Web API). Kondisi terakhir yang dirilis BPS Kabupaten Mimika menunjukkan, pada Maret 2025 persentase penduduk miskin turun menjadi 13,70 persen.

Keempat, pasar kerja masih menanggung tekanan. BPS Mimika mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2025 sebesar 6,75 persen dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 68,29 persen.

Kelima, tantangan kualitas SDM masih nyata. Angka stunting masih di atas nasional. Data Pemda Mimika menunjukkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menempatkan prevalensi stunting di 21,7 persen (mimikakab.go.id).

Sebagai pembanding, data Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan prevalensi stunting nasional SSGI tahun 2024 sebesar 19,8 persen (badankebijakan.kemkes.go.id).

Data di atas menyimpulkan satu hal bahwa Mimika punya mesin ekonomi, tetapi transmisi ke kesejahteraan belum cukup kuat, terutama bagi kampung-kampung yang jauh dari pusat layanan.

Dalam teori pembangunan wilayah, pertumbuhan sering muncul dari pusat (growth pole), lalu menyebar ke hinterland melalui investasi, pasar kerja, dan jaringan layanan. Masalahnya bila konektivitas buruk, kapasitas SDM rendah dan rantai pasok terputus, maka yang terjadi adalah backwash effect dimana pusat bertambah kuat sedangkan kampung semakin tertinggal.

Kabupaten Mimika menunjukkan gejala itu di mana penduduk terkonsentrasi di Mimika Baru dan sekitarnya. Sementara wilayah lain menghadapi biaya logistik, akses layanan dan ketersediaan tenaga profesional tidak memadai.

Karena itu, “membangun dari kampung ke kota” harus dimaknai sebagai membangun simpul kampung dan koridor penghubung menuju pusat pertumbuhan, bukan hanya memperindah kota.

Peta Jalan

Oleh karena itu, ada beberapa kebijakan yang perlu dilakukan sebagai peta jalan (roadmap) menuju perubahan dan relevan untuk diadopsi menjadi Rancana Strategis (Renstra) Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.

Pertama, menjadikan kampung sebagai basis produksi. Langkah ini ditempuh melalui penguatan ekonomi rumah tangga, bukan hanya output daerah. Perlu disadari bahwa net exports Mimika sangat besar tetapi nilai tambah lokal sering “loncat” keluar daerah apabila kampung tidak diupayakan masuk dalam rantai pasok.

Untuk itu, beberapa kebijakan operasional yang harus dilakukan adalah membentuk klaster komoditas kampung (perikanan pesisir, hortikultura tertentu, peternakan skala rumah tangga, hasil hutan bukan kayu dan lain-lain) dan pastikan ada off-taker yang jelas.

Dorong unit pengolahan sederhana (cold chain, pengeringan, pengemasan, penggilingan) di simpul distrik agar masyarakat kampung tidak menjual bahan mentah dengan harga yang murah karena sudah mengalami proses nilai tambah. Kebijakan lanjutan adalah jadikan pengadaan pemerintah (makan-minum rapat, katering kegiatan, program pangan) sebagai market pull bagi produk kampung.

Perlu digaris bawahi bahwa ukuran keberhasilan bukan sekadar “PDRB naik”, melainkan pendapatan rumah tangga kampung naik, biaya logistik turun dan penciptaan lapangan kerja lokal bertambah dan hal ini terkait langsung dengan indikator kemiskinan yang masih 13-14 persen (BPS Mimika).

Kedua, kota sebagai mesin layanan. Kota Timika harus menjadi service hub yang “mengirim manfaat ke distrik. Pusat kota wajar menjadi lokasi rumah sakit rujukan, perguruan tinggi, pusat pelatihan dan layanan bisnis. Tetapi kota harus didesain untuk mendistribusikan layanan ke distrik, bukan hanya menumpuk fasilitas.

Contoh indikator layanan kesehatan yang bisa dibaca sebagai basis pemerataan seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), dan Apotek yang harus diperbanyak di distrik atau kampung-kampung. Tantangannya bukan hanya jumlah, tetapi ketersediaan tenaga, kualitas layanan, dan kesinambungan pasokan obat di wilayah yang sulit dijangkau.

Arah kebijakan yang perlu dilakukan antara lain memperluas model layanan bergerak (mobile clinic/flying doctor/river clinic sesuai kondisi geografis) berbasis jadwal tetap dan target sasaran (ibu hamil, 1.000 HPK, imunisasi). Paketkan layanan seperti kesehatan dasar, administrasi kependudukan, literasi gizi, layanan sosial dalam satu kali kunjungan distrik atau kampung. Ini krusial untuk menurunkan angka stunting (21,7 persen) yang masih di atas nasional.

Ketiga, infrastruktur penghubung. Diukur dari “waktu tempuh layanan”, bukan “panjang jalan”. Di Mimika yang memiliki wilayah yang sangat luas, ukuran infrastruktur yang paling relevan bukan sekadar kilometer jalan, tetapi waktu tempuh kampung ke layanan kunci (Puskesmas, sekolah, pasar, pelabuhan/bandara perintis).

Konsentrasi penduduk di Mimika Baru menunjukkan, arus orang akan terus menuju kota bila akses layanan di kampung mahal dan tidak pasti. Arah kebijakan yang dapat dilakukan seperti: menetapkan beberapa kampung/distrik sebagai koridor prioritas untuk dijadikan pusat atau simpul layanan lengkap dengan ketersediaan jalan/dermaga/transport air/transport perintis, dengan target service level agreement (SLA).

Misalnya, “maksimal 5 jam ke puskesmas” atau “maksimal 1 hari ke pasar hub”. Sinkronkan belanja infrastruktur dengan belanja ekonomi (gudang dingin, pasar ikan, logistik UMKM dan lain-lain) agar jalan atau dermaga tidak menjadi aset pasif.

Keempat, pasar kerja. Sambungkan pertumbuhan dengan kesempatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka 6,75 persen pada Agustus 2025 (BPS Mimika) menegaskan bahwa penciptaan lapangan kerja berkualitas menjadi pekerjaan rumah terutama bagi anak muda Mimika.

Arah kebijakan yang perlu dilakukan adalah memperkuat training-to-job: pelatihan yang langsung ditautkan ke kebutuhan riil (logistik, konstruksi, operator alat, layanan kesehatan dasar, hospitality, pengolahan pangan dan lain-lain) dan terapkan local content yang lebih terukur pada belanja barang/jasa dan proyek strategis.

Kabupaten memiliki APBD yang besar dan dibutuhkan saat ini adalah mekanisme pengelolaannya agar anggaran yang besar itu berubah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di kampung-kampung. Jika “membangun dari kampung ke kota” dijalankan sebagai strategi agar kampung kuat sebagai basis produksi, kota tangguh sebagai simpul layanan, tentu Mimika dapat keluar dari paradoks: “kaya secara ekonomi, tetapi belum sepenuhnya sejahtera secara merata”.

Transformasi Mimika dari kampung ke kota adalah sebuah laboratorium pembangunan Indonesia di tanah Papua. Keberhasilannya tidak diukur dari gedung-gedung tinggi atau mall megah. Ia diukur dari sejauhmana kesejahteraan itu merata, budaya tetap hidup, dan setiap warga merasa memiliki dan bangga akan kotanya.

Ini adalah momentum bersejarah dalam kepemimpinan duet pemimpin: Bupati John Rettob dan Wakil Bupati Emanuel Kemong. Pemerintah daerah, masyarakat adat, pihak swasta dan seluruh elemen stakeholders harus bergandengan tangan.

Dengan semangat Eme Neme Yauware, Mimika dapat menjadi contoh nyata sebuah wilayah bisa menjadi kota modern tanpa kehilangan jiwanya sebagai kampung halaman. Mimika bukan sekadar membangun kota. Ia lebih dari itu: membangun peradaban baru yang manusiawi dan bermartabat.