PADA Rabu malam, 3 Desember 2025, di pelataran PTC Entrop, Jayapura, ribuan warga Papua berkumpul dalam sebuah peristiwa budaya yang jarang terjadi: kedatangan Lucky Dube Band dari Afrika Selatan. Di bawah langit Jayapura yang samar dan angin lembut yang turun dari pegunungan Cycloop, masyarakat Papua berdiri bersama untuk menyambut musik yang lahir dari perjuangan, luka sejarah, dan kerinduan akan kebebasan. Malam itu, Papua tidak hanya menyaksikan konser; Papua sedang merasakan gema jiwanya sendiri.
Sejak sore hari, lautan manusia memenuhi area konser. Penyelenggara acara, yang telah berjuang melewati hambatan teknis dan administratif—termasuk penundaan karena masalah visa transit—akhirnya berhasil membawa band internasional itu ke tanah Papua. Dedikasi mereka membuahkan sebuah perjumpaan yang sangat berarti. Musik reggae yang menggema malam itu bukan hanya hiburan, melainkan jembatan halus yang menghubungkan Afrika dan Pasifik, dua wilayah yang sama-sama pernah terluka oleh sejarah panjang penindasan.
Ketika lagu-lagu seperti Remember Me, Prisoner, It’s Not Easy, dan Together as One mengalun, banyak hati Papua tergetar. Di tengah kerumunan, tampak jelas bahwa musik ini menyentuh sesuatu yang sangat dalam: ingatan kolektif tentang luka, perjuangan, dan kerinduan akan martabat yang utuh. Orang Papua berdiri, bernyanyi, melambaikan tangan, dan membiarkan irama reggae menyapu ruang batin yang selama ini mungkin sulit terucapkan. Musik itu menjadi bahasa kedua—bahasa yang tidak membutuhkan terjemahan untuk dipahami.
Namun momen yang paling menyentuh terjadi ketika sebuah bendera Bintang Kejora berkibar di tengah penonton. Pengibar bendera itu, yang merupakan bagian dari masyarakat Papua sendiri, tidak hadir untuk membuat keributan. Mereka hadir untuk mengatakan sesuatu yang selama ini sulit disampaikan: bahwa ada luka yang belum sembuh, ada identitas yang terus hidup, dan ada cinta mendalam yang tidak bisa dipadamkan oleh waktu. Dalam embusan angin malam Entrop, bendera itu berkibar seperti hati Papua yang sedang berbicara kepada dunia.
Panitia dan aparat keamanan, yang sejak awal menjaga ketertiban, bergerak cepat untuk merespons situasi. Mereka berusaha memastikan konser tetap berlangsung aman dan sesuai regulasi. Namun demi mempertimbangkan kondisi lapangan, acara akhirnya dihentikan sedikit lebih awal dari jadwal. Meskipun demikian, esensi malam itu tidak hilang. Justru penghentian itu mempertegas bahwa konser ini telah menyentuh dimensi sosial dan emosional yang jauh lebih dalam daripada dugaan siapa pun.
Apresiasi patut diberikan kepada semua pihak: penyelenggara yang bekerja keras, aparat keamanan yang menjaga situasi tetap terkendali, pemerintah yang memberi izin, dan terutama masyarakat Papua yang hadir dengan damai dan penuh cinta. Lewat malam itu, kita melihat bahwa musik mampu menghubungkan orang-orang yang berbeda, menyatukan hati yang terluka, dan menghidupkan kembali harapan yang sempat meredup.
Konser Lucky Dube Band di Jayapura bukan sekadar malam musik. Ia adalah malam ketika Papua menyanyikan lukanya, mengungkap harapannya, dan menyalakan kembali cahaya kecil dalam perjalanan panjang menuju tanah yang damai dan rakyat yang benar-benar bahagia. (Editor)










