MERAUKE, ODIYAIWUU.com — Penangkapan paksa terhadap Stenliy Dambujai di depan Gereja Kerahiman Ilahi Merauke, Papua Selatan, Minggu (7/12) sekitar pukul 10.40 WIT mendapat sorotan pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke.
Aparat Kepolisian Resor (Polres) Merauke dinilai LBH Papua Merauke bertindak sewenang-wenang dan bertentangan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Penangkapan diduga bagian dari upaya pembungkaman ruang Demokrasi bagi suara kaum awam Katolik di Keuskupan Agung Merauke.
Tindakan penangkapan paksa terhadap Dambujai diduga terkait berbagai aksi protes kaum awam Katolik terhadap penyataan Uskup Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi, MSC, yang mendukung Program Strategis Nasional (PSN) di Merauke.
“Saudara Stenly Dambujai ditangkap paksa dan dibawa ke Polres Merauke untuk dimintai keterangan terkait aksi yang dilakukan. Setelah itu dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagu melakukan aksi protes di depan Gereja,” ujar Philipus Kraramuya Chambu dari LBH Papua Merauke dari Merauke, kota Provinsi Papua Selatan, Kamis (18/12).
Padahal, kata Kraramuya, aksi yang sama sudah dilakukan Dambujai sebanyak 57 kali di beberapa gereja dan tidak dipersoalkan. Selain itu saat di kepolisian Dambujai telah menyampaikan bahwa tidak akan memberikan keterangan sampai kuasa hukumnya datang. Namun, permintaan Dambujai tidak digubris lalu dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan.
“Tindakan penangkapan paksa tersebut diduga kuat berdasarkan laporan Ketua Dewan Paroki Gereja Kerahiman Ilahi Mangga Dua Yohanes P Weng dan seorang advokat bernama Hendrikus Timotius Talubun,” kata Kraramuya lebih lanjut.
Kraramuya menegaskan, penangkapan secara paksa melanggar HAM jika dilakukan sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang jelas dan tidak sesuai prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP.
Penangkapan tanpa surat perintah, tanpa bukti permulaan cukup atau melebihi batas waktu 1×24 jam dan dilakukan dengan kekerasan atau paksaan agar pelaku mengakui perbuatannya. Hal itu melanggar prinsip praduga tak bersalah.
“Penangkapan paksa bisa dibenarkan secara hukum jika sesuai prosedur. Misalnya menjemput paksa saksi atau tersangka yang tidak patuh panggilan kedua kali demi kepentingan penyidikan dengan tetap menghormati HAM,” ujar Kraramuya.
Menurut Kraramuya, aksi yang dilakukan dilakukan Dambujai sudah sesuai hukum. Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Jika melihat aksi yang dilakukan Stenly Dambujay jelas tidak bertentangan dengan aturan mana pun. Dia tidak mengganggu aktivitas warga jemat yang beribadah dan aksi damai dilakukan di luar halaman gereja dengan aman dan tertib,” ujar Kraramuya. (*)










