PEMERINTAH Indonesia kembali memperlihatkan watak kerdilnya di panggung dunia. Keputusan melarang atlet Israel tampil dalam World Artistic Gymnastics Championships 2025 yang dijadwalkan berlangsung pada 25 Oktober–2 November 2025 di Jakarta bukan hanya kebijakan yang keliru, tetapi juga tindakan politik picik yang mempermalukan bangsa ini secara terbuka di hadapan dunia internasional. Indonesia sekali lagi menjadikan arena olahraga sebagai tempat bermain politik murahan, tanpa menghitung konsekuensi jangka panjang terhadap reputasi negara.
Olahraga bukan arena untuk melampiaskan kebencian politik, bukan ruang untuk unjuk gigi keberpihakan semu. Dunia olahraga berdiri di atas prinsip netralitas dan sportivitas universal. Negara tuan rumah wajib menjamin semua atlet—tanpa kecuali—dapat bertanding dengan aman dan bermartabat. Ketika pemerintah melarang atlet Israel masuk, maka yang dilanggar bukan hanya etika internasional, melainkan kehormatan Indonesia sendiri sebagai negara yang mengaku menjunjung tinggi perdamaian.
Yang lebih menyakitkan, larangan ini bukan sekadar bisik-bisik politik, tapi pernyataan resmi pejabat negara. Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memberikan visa kepada atlet Israel untuk mengikuti kejuaraan dunia senam tersebut. Pernyataan itu disampaikan awal Oktober 2025 sebagai bagian dari sikap resmi pemerintah. Ini bukan sikap heroik, tapi kepengecutan politik. Pemerintah melawan atlet tak bersenjata untuk terlihat gagah, padahal tak ada satu pun rakyat Palestina yang lebih merdeka karena keputusan konyol ini. Solidaritas semacam ini hanya topeng politik murahan.
Kita belum lupa aib nasional pada 2023, ketika Indonesia kehilangan kehormatan sebagai tuan rumah FIFA U-20 World Cup karena pemerintah gagal menjamin partisipasi tim Israel. Kini sejarah memalukan itu kembali terulang di ajang senam dunia. Pemerintah membuktikan diri sebagai rezim yang tidak belajar dari kesalahan, tidak berbenah, dan tidak punya nyali untuk bersikap cerdas di panggung internasional. Dunia tidak akan mencatat alasan politik Indonesia; dunia hanya akan mencatat Indonesia sebagai tuan rumah yang tidak kredibel dan tidak profesional.
Kebijakan ini membawa risiko serius. Federasi senam dunia dapat menjatuhkan sanksi, mencabut status tuan rumah, atau mengucilkan Indonesia dari agenda olahraga internasional. Bila itu terjadi, yang menanggung malu bukan para pejabat yang bicara lantang, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Dunia internasional tidak akan tunduk pada alasan politik domestik dangkal. Negara lain akan melangkah maju, sementara Indonesia tenggelam dalam retorika kosong.
Jika pemerintah benar-benar peduli pada Palestina, perjuangkan itu di forum diplomatik, bukan dengan menyeret olahraga ke kubangan politik. Melarang atlet tampil adalah tindakan pengecut—menghukum orang yang bukan pelaku perang dan melukai nilai kemanusiaan yang justru menjadi semangat olahraga. Pemerintah yang berani adalah pemerintah yang berjuang di meja diplomasi, bukan pemerintah yang menutup pintu bagi atlet.
Sudah cukup bangsa ini dipermalukan. Jika pemerintah terus mencampuradukkan politik dengan olahraga, maka kehormatan bangsa akan habis dipotong sedikit demi sedikit. Dunia akan mengenang Indonesia bukan sebagai pejuang perdamaian, tapi sebagai negara kecil yang suka berteriak tanpa keberanian sejati. Dan ketika kehormatan itu runtuh, tidak ada yang harus disalahkan selain pemerintah sendiri. (Editor)










