PEMBANGUNAN Kereta Cepat Jakarta–Bandung sejak awal bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah simbol ambisi politik Joko Widodo — sebuah “warisan” yang dipaksakan untuk jadi kebanggaan nasional. Namun, di balik kecepatan kereta yang meluncur, terselip lambannya perhitungan nalar, kalkulasi keuangan, dan tanggung jawab negara. Kini, beban utang raksasa kepada China Development Bank menjadi bom waktu fiskal, sementara Presiden yang memulai proyek ini melangkah pergi seolah tak pernah meninggalkan jejak masalah.
Keputusan Jokowi untuk beralih dari tawaran Jepang ke Tiongkok pada 2015 adalah titik awal masalah. Jepang menawarkan bunga 0,1 persen dan proses transparan, sementara Tiongkok datang dengan bunga 2 hingga 3,4 persen dan skema pinjaman komersial. Jokowi memilih yang kedua — bukan karena perhitungan matang, tetapi karena ambisi politis: mengejar proyek cepat jadi untuk mendulang citra kepemimpinan. Kala itu, kritik para ekonom, akademisi, dan pengamat dikesampingkan. Kini, kritik itu menjelma kenyataan pahit.
Biaya pembangunan proyek ini melonjak dari sekitar USD 6 miliar menjadi lebih dari USD 7,3 miliar. Mahfud MD bahkan menyebut biaya per kilometer mencapai tiga kali lipat dibandingkan proyek serupa di Tiongkok sendiri. Dugaan mark up mencuat, tapi tak pernah dijawab serius oleh pemerintah. Jokowi bungkam, para pembantunya sibuk membela, sementara lembaga penegak hukum hanya menunggu “data konkret” sebelum bertindak. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan sembrono ini?
Ironisnya, kini Menteri Keuangan menolak menggunakan APBN untuk membayar utang proyek ini. Negara tak mau menanggung beban yang ditimbulkan oleh keputusan politik presiden sendiri. Utang dialihkan ke BUMN dan holding investasi, seolah beban fiskal bisa begitu saja dihapus dengan permainan akuntansi. Padahal pada akhirnya, bila perusahaan negara megap-megap, rakyat juga yang akan menanggung akibatnya.
Inilah paradoks besar warisan Jokowi: proyek mercusuar yang dikerjakan tergesa-gesa, dengan biaya membengkak, pendapatan tak sesuai proyeksi, dan utang menumpuk. Jokowi mungkin ingin diingat sebagai presiden yang membangun infrastruktur, tapi sejarah akan mencatatnya juga sebagai presiden yang sembrono mengambil keputusan strategis tanpa kalkulasi matang.
Kita berhak menggugat. Presiden tidak boleh lepas tangan atas kebijakan yang ia buat. Jokowi mungkin sudah tidak berkuasa, tetapi jejak kebijakannya akan membayangi negeri ini selama puluhan tahun. Jika proyek ini gagal menutup utang, maka generasi setelahnya yang akan memikul beban dari kebijakan yang lahir dari ego politik, bukan nalar ekonomi.
Warisan sejati pemimpin bukanlah proyek yang megah, melainkan keputusan yang bijak dan bertanggung jawab. Dalam kasus kereta cepat, Jokowi meninggalkan keduanya: proyek yang membengkak dan tanggung jawab yang menggantung. (Editor)