NAMA adalah doa, identitas, dan sejarah. Di Tanah Papua, identitas itu perlahan terkikis, tergerus oleh penamaan yang dipaksakan. Banyak nama kota, kampung, dan tempat yang diplesetkan dari bahasa asli Papua menjadi nama resmi saat ini. Maro-ke menjadi Merauke, Numbay menjadi Jayapura, dan Wakeitei menjadi Waghete. Perubahan ini bukan sekadar persoalan ejaan, melainkan penghapusan jejak budaya dan sejarah yang telah ada ribuan tahun. Saatnya kita dengan tegas mengembalikan nama-nama asli ini, bukan hanya sebagai bentuk pengakuan, tetapi juga sebagai upaya meluruskan sejarah yang bengkok.
Penamaan yang diplesetkan ini adalah bagian dari praktik de-Papuanisasi. Melalui proses ini, kebudayaan dan identitas asli Papua secara halus dimarginalkan. Generasi muda Papua tumbuh tanpa mengetahui arti dan sejarah di balik nama tempat tinggal mereka. Mereka kehilangan jembatan ke masa lalu, ke akar budaya yang seharusnya menjadi kebanggaan. Mengembalikan nama asli seperti Maro-ke, Numbay, dan Wakeitei bukan berarti kita menolak modernitas, melainkan membangunnya di atas fondasi yang kokoh, yaitu kearifan lokal. Ini adalah pengakuan bahwa peradaban Papua tidak dimulai dari kedatangan pihak luar, melainkan telah ada dan berkembang sejak lama.
Tidak hanya nama tempat, penamaan fasilitas publik dan obyek vital juga perlu ditinjau ulang. Penamaan Bandara Sentani, misalnya, bisa diganti dengan nama tokoh asli Papua yang berjasa besar, seperti Bandara Theys Hiyo Eluay. Theys Hiyo Eluay adalah figur karismatik yang mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan damai dan martabat orang Papua. Mengabadikan namanya di bandara adalah cara kita menghormati pengorbanan dan jasanya. Demikian pula dengan penamaan jalan-jalan utama. Jalan Sudirman, yang merupakan nama pahlawan dari Jawa, bisa diganti dengan nama tokoh asli Papua yang relevan dengan daerah tersebut. Langkah ini akan memperkuat rasa kepemilikan dan kebanggaan masyarakat terhadap ruang publik mereka.
Perubahan ini mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang. Namun, bagi masyarakat Papua, ini adalah isu fundamental yang menyangkut harga diri dan martabat. Penamaan yang tidak mengakomodasi bahasa dan budaya setempat adalah bentuk ketidakadilan simbolis. Mengembalikan nama-nama asli adalah langkah konkret untuk mewujudkan rekonsiliasi dan keadilan sejati. Ini adalah pengakuan bahwa Indonesia bukan hanya tentang Jawa atau Sumatra, tetapi juga tentang Papua dengan segala kekayaan budayanya.
Momentum ini harus diambil oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memulai dialog konstruktif dengan masyarakat adat dan tokoh-tokoh Papua. Pemerintah harus proaktif dalam mengidentifikasi nama-nama asli yang telah diplesetkan dan mengembalikan fungsinya. Proses ini harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan semua elemen masyarakat Papua agar tidak menimbulkan polemik baru.
Pada akhirnya, mengembalikan identitas adalah meluruskan sejarah. Ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun Papua yang lebih damai, adil, dan bermartabat. Mengembalikan Maro-ke, Numbay, dan Wakeitei adalah langkah awal untuk mengembalikan martabat Papua seutuhnya. (Editor)