Kemanusiaan di Palestina Diteriakkan, Kemanusiaan di Papua Diabaikan

Kemanusiaan di Palestina Diteriakkan, Kemanusiaan di Papua Diabaikan. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

PEMERINTAH Indonesia kembali mengibarkan bendera “kemanusiaan” tinggi-tinggi saat konflik Palestina–Israel memanas. Di podium internasional, pejabat negara berapi-api mengecam penjajahan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM. Di media sosial, slogan-slogan heroik tentang pembelaan terhadap rakyat Palestina dikumandangkan dengan bangga. Seolah-olah Indonesia adalah negara pembela kemanusiaan nomor satu di dunia.

Tetapi di saat yang sama, di dalam negeri Indonesia — di Papua — kemanusiaan justru terinjak-injak. Rakyat Papua mengalami kekerasan, pengungsian, ketidakadilan struktural, diskriminasi rasial, dan kemiskinan ekstrem selama bertahun-tahun. Ribuan orang hidup tanpa jaminan keamanan, ratusan kampung kosong karena konflik bersenjata, dan banyak korban sipil terpinggirkan tanpa suara. Sementara negara berteriak lantang untuk Palestina, telinganya tuli terhadap jeritan rakyat Papua.

Inilah wajah kemunafikan negara Indonesia yang paling telanjang. Isu kemanusiaan dijadikan panggung diplomatik dan politik luar negeri, tetapi tidak menjadi kompas moral di dalam negeri sendiri. Pemerintah begitu cepat mengutuk Israel atas kekerasan di Gaza, tetapi begitu lambat — bahkan bungkam — ketika aparat keamanan sendiri menimbulkan korban sipil di Papua. Pemerintah bersuara keras membela Palestina yang jauh, namun membisu ketika masyarakat adat Papua terusir dari tanahnya sendiri.

Retorika “kemanusiaan” kehilangan makna ketika hanya digunakan untuk kepentingan politik luar negeri. Apa arti membela kemerdekaan Palestina jika di Papua, hak-hak dasar masyarakat adat terus dilanggar? Apa artinya mengutuk pelanggaran kemanusiaan di luar negeri jika di dalam negeri pelanggaran itu berlangsung setiap hari — dari penembakan warga sipil, pengungsian massal, pembatasan kebebasan berpendapat, hingga marjinalisasi sistematis?

Kemanusiaan tidak bisa dipilih-pilih. Ia bukan komoditas politik yang dipakai ketika menguntungkan dan dibuang ketika menyulitkan. Jika Indonesia sungguh pembela kemanusiaan, maka Papua seharusnya menjadi cermin utama komitmen itu. Sayangnya, Papua justru menjadi ruang sunyi, tempat pelanggaran terus terjadi di bawah bayang-bayang slogan nasionalisme.

Ironisnya, suara rakyat Papua nyaris tak pernah mendapat panggung sebesar Palestina. Tak ada demo besar-besaran di jalanan untuk anak-anak Papua yang mati di hutan karena konflik. Tak ada doa massal di stadion untuk para pengungsi Papua. Tak ada orasi pejabat tinggi negara yang meneteskan air mata untuk penderitaan mereka.

Tidak ada makna moral dalam membela kemanusiaan di luar negeri jika kemanusiaan di dalam negeri sendiri diinjak-injak. Jika negara ini benar-benar ingin dikenal sebagai pembela kemanusiaan, maka Papua harus menjadi prioritas moral — bukan sekadar catatan kaki. Selama itu belum terjadi, semua teriakan kemanusiaan Indonesia untuk Palestina tidak lebih dari sandiwara politik dan kemunafikan negara. (Editorial)