OPINI  

Kebijakan Efisiensi dan TKD Mimpi Buruk Otsus Papua

Benediktus Bame, Intelektual Muda Papua Barat Daya. Foto: Istimewa

Oleh Benediktus Bame

Intelektual Muda Papua Barat Daya

PRESIDEN Prabowo Subianto mengeluatkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Inpres tersebut ditetapkan di Jakarta pada 22 Januari 2025 dan berlaku mulai tanggal tersebut.

Presiden dalam Inpres tersebut menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun. Tahun 2025, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah dalam rupa pemangkasan anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun serta pemangkasan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp 50,59 triliun.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025 tertanggal 24 Januari 2025, efisiensi anggaran menyentuh 16 pos belanja seperti pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, sewa kendaraan hingga kegiatan seremonial.

Tujuan kebijakan efisiensi dalam dilihat dalam sejumlah aspek. Pertama, mengoptimalkan penggunaan anggaran. Efisiensi memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan tepat waktu dan tepat guna untuk program yang lebih produktif.

Kedua, membiayai program prioritas. Efisiensi mengalihkan dana dari pos pengeluaran yang bisa dihemat ke program yang langsung menyentuh Masyarakat. Misalnya, pendidikan, kesehatan, irigasi, dan ketahanan pangan. Ketiga, menekan potensi pemborosan. Efisiensi mengurangi biaya-biaya yang dinilai tidak perlu sehingga anggaran tidak dikorupsi atau disalahgunakan.

Inpres tersebut di satu sisi dapat dilihat positif oleh sebagian pemerintah daerah. Namun di saat bersamaan sangat membebani pemerintah daerah dengan APBD terbatas dan daerah dengan status khusus seperti daerah-daerah di tanah Papua. Inpres tersebut serta merta ibarat memborgol kaki pesepak bola di lapangan hijau saat merumput di lapangan hijau dengan harapan bermain dengan skill mumpuni memasukkan gol ke gawan lawan.

Mimpi Buruk Papua

Bagi pemerintah dan Masyarakat di tanah Papua, kebijakan efisiensi melalui Inpres adalah mimpi buruk pemerintah daerah bekerja maksimal mewujudkan berbagai program yang tercantum dalam visi dan misi saat kampanye.

Ekspektasi masyarakat bumi Cenderawasih agar para pemimpinnya bekerja maksimal dengan topangan dana otsus akan dikubur dalam-dalam. Topografi alam Papua yang membelenggu di tengah kepungan gunung, bukit, lembah, sungai bahkan ngarai tak akan maksimal menjembatani gelontoran dana yang minim untuk membiayai pembangunan hingga pelosok kampung.

Sejumlah implementasi kebijakan efisiensi di tanah Papua bisa dimaklumi. Misalnya, frekuensi perjalanan dinas, rapat, dan lain-lain yang dianggap kurang urgen. Namun, bagaimana program masyarakat kecil, mulai dari kota ke distrik (kecamatan) dan distrik hingga kampung (desa) yang dipisahkan gunung, lembah hingga ngarai di pelosok-pelosok?

Pertanyaan ini mesti mendapat jawaban jujur Presiden beserta jajaran Kementerian dan lembaga di pusaran kekuasaan. Otsus Papua adalah jalan suci menjembatani gelombang protes atas politik kenegaraaan dan kebijakan pembangunan selama puluhan tahun abai atas Masyarakat tanah Papua. Di sisi lain, pundi-pundi negara yang sehat tak lain juga merupakan sumbangsi besar tanah Papua atas sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah selama ini.

Suara Pilu dari Honai

Kebijakan efisiensi yang menyasar dana otsus Papua adalahh kabar buruk yang Tengah mendera batin masyarakat. Suara pilu menyeruak dari kerongkongan para petani kecil, guru-guru, tenaga kesehatan, dan pelaku usaha mikro, menengah dan kecil (UMKM) di dalam honai (rumah khas Papua), di tengah peluang membentang di pelupuk mata tanpa uang akibat terganjal kebijakan efisiensi.

Tak hanya itu, pemangkasan dana TKD yang menurut rencana akan berlaku tahun 2026 dipastikan akan semakin membuat masyarakat dan daerah kian terpojok dalam menikmati kue pembangunan. Efisiensi yang menyerempet otsus Papua dipastikan menyeret warga dalam situasi utopia.

Jika dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dipangkas, mengapa otsus Papua juga ikut dipangkas adalah pertanyaan yang saban hari keluar dari mulut orang-orang kecil di pelosok tanah Papua. Padahal, Papua butuh perhatian serius pemerintah pusat. Banyak daerah di Papua masih mengalami persoalan serius terutama urusan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.

Tak sampai di situ. Kebijakan pemerintah melalui pemerintah daerah menggratiskan banyak aspek pembangunan terutama pendidikan dan kesehatan masih jadi wacana dari bibir para pemimpin di Papua. Ekonomi sebagian wilayah di pelosok mati suri. Kondisi ini bisa dilihat di mana angka kasus stunting di sejumlah daerah di tanah Papua cukup tinggi.

Di Provinsi Papua Pegunungan kasus stunting mencapai 37,5 persen tahun 2025 dan Papua Barat Daya mencapai 30,5 persen. Secara keseluruhan angka stunting di tanah Papua mencapai 34,6 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dana otsus Papua hadir untuk menghapus air mata rakyat bumi Cendrawasih terutama terkait peningkan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Papua.

Otsus Papua diberikan sebagai win win solution atas tuntutan rakyat Papua untuk merdeka, terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Langkah efisiensi dan rencana mengurangi alokasi transfer ke daerah menjadi peringatan penting bagi pemerintah pusat.

Bila hendak memberikan otsus Papua idealnya dilakukan sepenuh. Otsus Papua jangan diperlakukan ibarat ular yang dilepas ke habitat aslinya sembari memegang erat ekornya.  Perlu diingat, kebijakan otsus adalah berasal dari keringat dan darah rakyat Papua yang diperoleh negara melalui berbagai korporasi nasional dan global yang bercokol di atas tanah Melanesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menunjukkan, jumlah penduduk orang asli Papua 1,07 juta jiwa. Sedangkan, Papua Tengah sebanyak 526.410 jiwa (51,35 persen), Papua Barat 294.436 jiwa (50,1 persen), Papua 269.693 atau 50,01 persen, Papua Selatan 45.383 jiwa (50,01 persen), Papua Pegunungan 8.370 jiwa (50,0 persen), Papua Barat Daya 25.307 jiwa (50,01 persen).

Satu pesan penting sekaligus usulan, bila pemerintah pusat berniat sungguh membangun tanah Papua dan masyarakat sepenuh hati idealnya mempertimbangkan kembali melakukan kebijakan efisiensi dan rencana mengurangi anggaran transfer ke daerah.

Mengapa? Langkah tersebut berpotensi menyulitkan pemerintah di tanah Papua. Di saat bersamaan, rakyat akan mengalami nasib lebih mengenaskan dan tetap hidup dalam kepungan alam yang sangat ekstrim di atas tanah leluhurnya.