Keadilan Mati di Tangan Penegak Hukum

Keadilan Mati di Tangan Penegak Hukum. Gambar Ilustrasi: Ilustrasi

DI TENGAH riuhnya harapan akan Indonesia yang bersih dan adil, sebuah luka menganga tetap terlihat jelas. Harapan rakyat yang mendambakan keadilan sering kali kandas di tangan mereka yang seharusnya menjadi pilar utama penegakan hukum: polisi, jaksa, dan hakim. Istilah “oknum nakal” kini bukan lagi bisikan, melainkan keluhan yang menggema di setiap sudut negeri. Mengapa harapan besar ini terus-menerus pupus, seolah keadilan hanyalah ilusi yang tak pernah terwujud?

Kasus-kasus yang viral di media sosial hanyalah puncak dari gunung es ketidakadilan yang terjadi sehari-hari. Penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas menjadi pemandangan yang rutin. Kita menyaksikan bagaimana seorang nenek dipenjara karena mencuri kayu bakar, sementara koruptor kelas kakap dengan leluasa menikmati harta hasil kejahatan. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung bagi semua, kini terlihat seperti alat yang bisa dibeli dan dimanipulasi. Kesenjangan ini bukan hanya menciptakan ketidakpercayaan, tetapi juga meruntuhkan keyakinan dasar masyarakat terhadap negara.

Fenomena “kenakalan” ini bukan sekadar masalah individu, melainkan cerminan dari sistem yang rapuh. Godaan suap yang besar, gaji yang tidak sebanding, serta budaya nepotisme dan kolusi telah menjadi racun yang menggerogoti integritas. Ketika integritas tidak lagi dihargai, penegakan hukum berubah menjadi transaksi bisnis. Jaksa yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat, terkadang justru “bernegosiasi” dengan terdakwa demi keuntungan pribadi. Hakim yang seharusnya mengadili dengan hati nurani, bisa saja mengambil keputusan yang cacat demi imbalan atau tekanan politik. Proses hukum yang seharusnya menjadi jalan menuju kebenaran, kini menjadi labirin yang dipenuhi jebakan dan rekayasa.

Dampak dari fenomena ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada lembaga hukum, mereka cenderung mencari keadilan di luar jalur resmi, yang dapat memicu anarki dan kekerasan. Rasa frustasi ini mengikis fondasi demokrasi dan tata kelola negara yang baik. Kita tidak bisa membangun negara yang kuat jika pondasi hukumnya lapuk. Keadilan bukan hanya soal vonis di pengadilan, tetapi juga tentang rasa aman dan keyakinan masyarakat bahwa mereka dilindungi, bukan dipermainkan. Masa depan Indonesia yang damai dan sejahtera tidak akan pernah tercapai jika keadilan terus-menerus diperdagangkan.

Untuk mengakhiri krisis ini, diperlukan reformasi yang fundamental dan komprehensif. Pertama, kesejahteraan dan sistem pengawasan yang ketat bagi penegak hukum harus segera ditingkatkan. Kedua, sistem rekrutmen dan promosi harus didasarkan pada meritokrasi, bukan koneksi atau kekerabatan. Ketiga, transparansi dalam setiap tahapan proses hukum adalah kunci. Masyarakat harus diberi ruang untuk mengawasi dan melaporkan jika ada indikasi penyimpangan. Terakhir, hukuman yang tegas dan tanpa pandang bulu bagi oknum yang terbukti bersalah harus ditegakkan sebagai efek jera, sekaligus mengembalikan marwah lembaga peradilan.

Masyarakat berhak mendapatkan keadilan. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk mengembalikan kepercayaan itu. Sudah saatnya kita tidak lagi menoleransi “kenakalan” yang merusak sendi-sendi keadilan. Masa depan bangsa ini bergantung pada seberapa tegak dan adilnya hukum ditegakkan. Keadilan yang mati harus segera bangkit kembali. (Editor)