JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (21/8) menguak tabir dugaan korupsi yang menyeret tiga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta.
Tiga BUMD milik DKI Jakarta adalah PT Jakarta Propertindo, PD Pasar Jaya, dan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Tiga korporasi itu diduga bekerja sama dengan jaringan perusahaan milik pengusaha Fredie Tan (FT) yang berujung negara dirugikan triliunan rupiah.
Ironisnya, alih-alih menindak para pelaku yang disebut-sebut menikmati keuntungan besar, aparat justru menyeret seorang peniup peluit (whistleblower) berinisial HL ke meja hijau. HL kini duduk sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akibat pernyataannya dalam podcast Kanal Anak Bangsa milik Rudi S Kamri.
Dalam perkara pidana Nomor 457/Pid.Sus/2025/PN.Jkt.Utr, HL bersaksi bahwa semua yang ia ungkapkan dalam podcast pada November 2022 dan Februari 2023 didasarkan pada data dan dokumen yang valid. Kuasa hukum HL, Henry Yosodiningrat dan tim memperkuat pembelaan dengan menghadirkan bukti serta keterangan ahli hukum telematika Universitas Airlangga Henry Subiakto, yang menegaskan bahwa pernyataan HL tidak bisa dipidana karena dilindungi hukum.
“HL berbicara bukan berdasarkan kabar burung, melainkan atas dasar dokumen resmi negara. Salah satunya adalah Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan, LAHP Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya,” ujar Henry Yosodiningrat melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (23/8).
Laporan bernomor 0173/LM/IV/2020/JKR itu dikeluarkan pada 20 Mei 2020, ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol. Dalam LAHP, Ombudsman menyatakan adanya maladministrasi dalam kerja sama PT PJA dengan PT WAIP, perusahaan milik Fredie Tan.
Temuan itu menyebutkan kewajiban pajak yang tidak dipenuhi serta pola kerja sama yang tidak sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang sehat. Tak berhenti di situ, Ombudsman juga pernah mengeluarkan rekomendasi pada 2014 terkait PD Pasar Jaya.
Lembaga itu menilai adanya maladministrasi dalam pengelolaan Pasar HWI/Lindeteves, Jakarta Pusat. Ratusan pedagang terbebani biaya sewa pasca renovasi, sementara perusahaan rekanan PD Pasar Jaya, PT GAKU —milik Fredie Tan— meraup untung besar dengan membayar murah kepada BUMD tetapi menyewakan kembali dengan harga tinggi.
Dugaan Rangkaian Skandal
Selain di Pasar Jaya dan Ancol, HL juga menyinggung praktik serupa di PT Jakarta Propertindo. Modusnya, perusahaan milik Fredie Tan memperoleh akses aset dengan harga murah, lalu menjual atau menyewakannya kembali dengan nilai jauh lebih tinggi. “Negara dirugikan hingga belasan triliun rupiah,” kata HL di dalam persidangan.
HL juga mengingatkan publik bahwa Fredie Tan pernah berstatus tersangka korupsi pada 2014, namun status itu mendadak dihentikan Kejaksaan Agung tanpa alasan jelas.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa whistleblower justru dikriminalisasi? HL sejatinya telah menempuh jalur hukum dengan melaporkan dugaan korupsi ini ke Ombudsman, KPK, Komisi Kejaksaan hingga Gubernur DKI dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurut UU Pers, kerahasiaan narasumber wajib dijaga. Seharusnya HL mendapat perlindungan, bukan sebaliknya. “Prinsip jurnalisme jelas melindungi narasumber yang ingin merahasiakan identitasnya,” ujar Henry tegas.
Majelis hakim dalam sidang terakhir dinilai cukup obyektif dengan memberikan ruang bagi HL untuk berbicara. Namun, banyak pihak mendesak agar aparat penegak hukum tidak berhenti di ruang sidang itu saja, melainkan membuka penyelidikan penuh terhadap dugaan skandal di tiga BUMD.
Munculnya kasus ini berbarengan dengan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) menjadi sinyal bahwa perang terhadap korupsi sedang digencarkan.
Menurut Henry, publik berharap komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi tidak hanya simbolis, melainkan juga menyentuh kasus-kasus besar yang melibatkan BUMD dan pengusaha kuat.
Jika benar kerugian negara mencapai triliunan rupiah, lanjut Henry, maka persoalan ini bukan sekadar penyalahgunaan wewenang, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Persidangan HL seharusnya menjadi pintu masuk bagi aparat untuk mengusut lebih dalam, bukan menjadikan whistleblower sebagai kambing hitam. (*)