UNIVERSITAS Gadjah Mada (UGM), kampus yang selama puluhan tahun dikagumi sebagai benteng intelektual bangsa, belakangan justru semakin sering terseret dalam pusaran kontroversi. Insiden terbaru—yang pecah pada akhir November hingga awal Desember 2025—menjadi pukulan keras bagi reputasi akademik tersebut. Asisten kecerdasan buatan milik kampus, LISA (Lean Intelligent Service Assistant), dengan lantang menyebut bahwa Joko Widodo “bukan alumnus UGM”. Pernyataan yang terekam dalam sebuah video itu langsung viral, bukan hanya karena keliru, tetapi karena keluar dari mulut mesin resmi yang dibangun dan dipamerkan oleh universitas yang berjuluk “universitas kerakyatan” tersebut.
Jawaban LISA tidak berhenti pada “bukan alumni”. AI itu bahkan menambahkan bahwa Jokowi “pernah berkuliah tetapi tidak lulus”. Klaim ini bukan saja salah, tetapi membuka kembali luka lama yang seharusnya sudah selesai. Isu ijazah palsu Jokowi yang muncul sejak 2019, memuncak pada 2022–2024, dan bahkan sempat digugat di pengadilan, hidup lagi hanya karena satu kesalahan fatal dari mesin yang semestinya menjadi simbol kecanggihan UGM. Padahal Bareskrim Polri, pada 22 Mei 2025, telah menyatakan bahwa ijazah Jokowi autentik. Namun kesalahan dari AI UGM ini justru memberi amunisi baru bagi kelompok yang selama bertahun-tahun meragukan keabsahan dokumen tersebut.
Pernyataan resmi UGM yang muncul pada 4 Desember 2025 menyebut LISA masih dalam tahap soft-launch, dengan basis data belum lengkap. Penjelasan ini terdengar defensif dan tidak memadai. Bagaimana mungkin universitas sebesar UGM meluncurkan AI publik tanpa memastikan bahwa informasi fundamental—terutama mengenai alumnus paling terkenal—telah terverifikasi dengan benar? Ketika sebuah institusi yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran akademik justru memproduksi informasi yang menyesatkan, maka persoalan yang timbul bukan sekadar teknis, melainkan struktural.
Situasi makin keruh ketika pada 5 Desember 2025, layanan LISA di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM di Sleman tiba-tiba dinonaktifkan. Tampilan layar hanya menampilkan avatar LISA yang berkedip dengan pesan “sedang diperbaiki”. Langkah tergesa-gesa ini menimbulkan kesan kuat bahwa UGM berusaha memadamkan kebakaran sebelum api membesar. Alih-alih bersikap transparan, kampus terlihat seperti menyembunyikan kelemahan internal di balik jargon inovasi digital.
Fakta bahwa ini bukan kali pertama UGM tersangkut kontroversi terkait ijazah Jokowi memperburuk keadaan. Setiap kali isu ini mencuat, UGM selalu berada di garis depan pembelaan. Namun ketika AI resmi milik kampus justru melontarkan pernyataan yang bertentangan dengan sikap institusi, yang tampak adalah ketidakseriusan dalam menata sistem informasi internal. Publik pun pantas mempertanyakan: jika data dasar tentang alumnus saja tidak akurat, apa yang bisa dijamin dari institusi sebesar UGM?
Insiden LISA harus dibaca sebagai alarm keras. UGM tidak sedang menghadapi sekadar kerusakan sistem, tetapi kerusakan kredibilitas. Transformasi digital tanpa disiplin data adalah bencana yang menunggu terjadi—dan kini telah pecah di depan publik. Jika UGM tidak segera menata ulang tata kelola informasinya, memperketat verifikasi, dan membuka proses secara transparan, maka kampus yang dulu menjadi kebanggaan nasional ini berisiko terus tenggelam dalam kontroversi yang diciptakannya sendiri.
Kecanggihan teknologi tidak akan berarti apa-apa ketika kebenaran tergelincir. Dan dalam kasus ini, UGM harus bertanggung jawab penuh. (Editor)










