KASUS dugaan ijazah palsu yang menimpa Arsul Sani, Hakim Mahkamah Konstitusi, menjadi cermin penting bagi kualitas moral pejabat negara. Ketika integritasnya digugat, Arsul tidak menunggu keadaan mereda, tidak bersembunyi di balik kuasa lembaga, dan tidak menyuruh barisan pembela untuk menutupi isu. Pada 17 November 2025, di Gedung 1 MK Jakarta, ia menggelar jumpa pers terbuka. Ia menunjukkan ijazah, bukti legalisasi, dan foto wisuda. Ia menjawab setiap pertanyaan tanpa takut. Tindakannya sederhana, tetapi bermartabat: ia menghormati publik, dan ia mempertanggungjawabkan dirinya secara langsung.
Kontras yang muncul ketika membandingkannya dengan sikap Joko Widodo begitu tajam, begitu mencolok, dan begitu memalukan bagi standar kepemimpinan nasional. Polemik ijazah Jokowi telah berlangsung bertahun-tahun, memicu keresahan publik, memperpanjang ketidakpercayaan, dan melahirkan perdebatan nasional. Namun satu hal yang paling ditunggu tidak pernah dilakukan: tampil langsung dan menunjukkan dokumen yang dipersoalkan. Bukan lewat tim hukum, bukan lewat juru bicara, bukan lewat narasi pengalihan isu—tetapi lewat dirinya sendiri. Sesuatu yang dilakukan Arsul dalam hitungan hari, tetapi tidak pernah dilakukan Jokowi selama bertahun-tahun.
Sikap ini lebih dari sekadar keengganan; ini adalah kegagalan moral dalam menjalankan tanggung jawab kepemimpinan. Presiden seharusnya menjadi figur paling transparan di negeri ini. Jika seorang hakim MK saja paham kewajiban menghormati publik, bagaimana mungkin presiden—yang memegang kekuasaan jauh lebih besar—justru memilih diam? Diam bukanlah kebijaksanaan dalam situasi seperti ini. Diam adalah bentuk penghindaran, dan penghindaran adalah bentuk ketakutan. Di manakah keberanian yang selalu dibanggakan? Di manakah prinsip “pemimpin harus melayani rakyat” yang dulu sering diucapkan?
Ketika seorang presiden tidak mau menunjukkan dokumen akademiknya sendiri, wajar jika rakyat merasa curiga. Kecurigaan tidak muncul dari ruang kosong; ia muncul karena sikap pemimpinnya yang menolak memberikan jawaban paling mendasar. Jika tidak ada yang ditutupi, mengapa tidak ditunjukkan? Jika benar dan sahih, mengapa takut membuka? Jika seorang presiden merasa dirinya di atas kewajiban moral untuk transparan, maka yang rusak bukan rakyatnya—tetapi standar kenegarawanannya.
Inilah sebabnya tindakan Arsul Sani terasa seperti pukulan moral bagi Jokowi. Arsul tidak menggunakan jabatan untuk berlindung. Ia tidak takut pada pertanyaan publik. Ia menunjukkan bahwa keberanian adalah fondasi integritas. Sementara Jokowi justru memperlihatkan sikap berlawanan: tertutup, defensif, dan tidak mau diuji. Bagaimana mungkin seorang presiden mengajarkan integritas kepada bangsa jika ia sendiri tidak mampu memperlihatkannya dalam hal paling sederhana?
Rakyat berhak tahu kebenaran. Negara butuh pemimpin yang jujur, bukan pemimpin yang melarikan diri dari pertanyaan fundamental. Dan Jokowi perlu belajar dari Arsul Sani—bahwa tidak ada jabatan setinggi apa pun yang dapat membenarkan sikap anti-transparansi. Keberanian menghadapi kebenaran adalah syarat minimum menjadi pemimpin. Jika itu saja tidak mampu dilakukan, maka tidak ada legitimasi moral yang layak dipertahankan. (Editor)










