Indonesia Negara Tidak Berperikemanusiaan

Indonesia Negara Tidak Berperikemanusiaan. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

INDONESIA senang tampil sebagai bangsa yang paling peduli pada kemanusiaan. Setiap kali Palestina dibombardir, rakyat memenuhi jalanan, pejabat berlomba-lomba memberi pernyataan keras, dan media menempatkan tragedi Gaza seolah-olah sebagai luka bangsa ini sendiri. Ketika Rohingya dianiaya, Indonesia kembali memosisikan diri sebagai negara pembela sesama manusia. Namun jika kita menyingkap lapisan retorika itu, ada kenyataan yang jauh lebih pahit: Indonesia tidak sedang membela kemanusiaan—Indonesia sedang membela identitas agama dan sentimen budaya. Solidaritas bangsa ini bukanlah solidaritas moral, tetapi solidaritas sektarian.

Indonesia membela Palestina bukan karena korban adalah manusia, tetapi karena korban adalah Muslim. Indonesia menangis untuk Rohingya bukan karena mereka tertindas, tetapi karena mereka Muslim. Ketika agama dan romantisme terhadap Arab dijadikan filter utama untuk menentukan siapa yang layak dibela, maka nilai “kemanusiaan” berubah menjadi topeng. Kemanusiaan yang selektif bukanlah kemanusiaan; itu fanatisme yang dipoles agar tampak luhur.

Fenomena ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat bagaimana Indonesia memandang tragedi di luar lingkar identitasnya. Ketika minoritas Kristen dibantai di Nigeria, Indonesia tidak bereaksi. Ketika suku Tigray mengalami pembantaian massal, bangsa ini tak bersuara. Ketika Armenia terusir dari ladangnya sendiri, masyarakat Indonesia tidak tergugah. Ketika masyarakat adat Amazon kehilangan hutan dan hidup mereka, tidak ada orasi, tidak ada aksi massa, tidak ada pernyataan pejabat. Bahkan ketika Uyghur kehilangan identitas dan kebebasan, banyak pihak memilih diam. Mengapa? Karena mereka bukan Muslim, bukan Arab, dan tidak menimbulkan gelombang emosional bagi mayoritas penduduk negeri ini.

Namun kemunafikan moral Indonesia mencapai puncaknya justru dalam negeri sendiri. Indonesia dengan mudah menuduh negara lain tidak berperikemanusiaan, tetapi bungkam ketika kekejaman terjadi di rumahnya sendiri. Ketika gereja dibakar atau diblokir, negara berusaha “menenangkan situasi” tanpa keberanian menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Ketika Ahmadiyah atau Syiah diusir, masyarakat membiarkan, pemerintah melunak. Ketika etnis Tionghoa dipersekusi, suara publik tidak pernah semasif ketika isu Timur Tengah memanas. Bahkan ketika minoritas kecil sekadar meminta hak beribadah, negara lebih takut pada amarah mayoritas daripada pada prinsip kemanusiaan.

Dan Papua adalah cermin paling kejam dari semua ini. Puluhan tahun kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, dan penghinaan martabat manusia terjadi di tanah Papua—tetapi tidak ada gelombang massa membela mereka. Tidak ada pejabat yang menggelegar di podium internasional menyebut Papua sebagai tragedi kemanusiaan. Mengapa? Karena mereka tidak masuk dalam kategori “umat tertindas” versi imajinasi mayoritas. Karena mereka tidak menawarkan keuntungan moral bagi kelompok dominan.

Indonesia perlu melihat dirinya sendiri dengan kejujuran brutal. Bila kepedulian hanya muncul ketika korban berasal dari agama mayoritas, itu bukan kemanusiaan. Bila moralitas hanya hidup ketika Arab disebut-sebut, itu bukan solidaritas. Bila penderitaan manusia dinilai berdasarkan identitasnya, maka bangsa ini tidak layak menyebut dirinya berperikemanusiaan. Selama pola selektif ini terus dipelihara, Indonesia akan tetap menjadi negara yang secara faktual tidak berperikemanusiaan, betapapun lantang ia berteriak sebaliknya. (Editor)