Oleh Silwanus Sumule
ASN Obginsos, tinggal di Jayapura
PENULIS ingin memulai dengan satu kalimat yang sering membuat orang tidak nyaman: human immunodeficiency virus (HIV) hari ini bukan lagi penyakit mematikan. Kalimat ini kerap dianggap berbahaya, seolah meremehkan HIV.
Padahal, ini adalah fakta medis yang sudah lama diketahui dunia, tetapi jarang disampaikan secara jujur kepada publik. Kita masih hidup dalam ketakutan lama, sementara ilmu kedokteran sudah melangkah jauh ke depan.
Tiga puluh tahun lalu, HIV memang menakutkan. Diagnosis HIV hampir selalu berarti vonis mati. Obat terbatas. Negara-negara panik. Lembaga khusus dibentuk. Pendekatan darurat dilakukan. Saat itu, ketakutan masuk akal. Hari ini, dunia sudah berubah. Cara berpikir kita belum sepenuhnya ikut berubah.
Dunia Sudah Menang Secara Medis
Terapi antiretroviral (ARV) generasi terbaru mampu menekan virus HIV hingga tidak terdeteksi. Orang dengan HIV dapat hidup panjang, sehat, bekerja, berkeluarga, dan —ini yang penting— tidak menularkan virus bila patuh minum obat. Dunia medis menyebutnya sederhana: undetectable=untransmittable.
Virus tidak terdeteksi, tidak menular. Di banyak negara, HIV kini diperlakukan seperti diabetes atau hipertensi. Penyakit kronis. Minum obat seumur hidup. Dikelola. Tidak lagi diposisikan sebagai ancaman mematikan. HIV tidak lagi menjadi isu gawat darurat medis. Ia telah berubah menjadi persoalan keberlanjutan layanan kesehatan.
Lalu mengapa kita masih takut? Pertanyaan ini penting, terutama di Indonesia dan sangat terasa di tanah Papua. Obat tersedia. Pedoman ada. Tenaga kesehatan ada. Namun ketakutan tetap hidup.
Banyak orang masih takut tes HIV. Takut diketahui. Takut dijauhi. Takut dicap. Akibatnya, tidak sedikit kasus ditemukan ketika kondisi sudah berat. Bukan karena masyarakat tidak peduli kesehatan, tetapi karena takut menghadapi stigma sosial.
Hari ini, yang sering membunuh bukan lagi virus HIV itu sendiri, melainkan keterlambatan diagnosis, putus obat, dan ketakutan yang dibiarkan tumbuh.
Ketika HIV Tinggal Menjadi Program
Indonesia telah mengubah pendekatan. HIV tidak lagi ditangani lewat lembaga khusus seperti dulu. Ia diintegrasikan ke sistem kesehatan rutin: puskesmas dan rumah sakit. Secara kebijakan, ini langkah yang benar. HIV memang bukan lagi penyakit luar biasa.
Namun di lapangan, terutama di tanah Papua, integrasi ini sering terasa seperti penghilangan kehadiran negara. HIV menjadi sekadar program. Ada indikator. Ada laporan. Ada target. Tetapi rasa aman masyarakat belum tentu ikut terbangun. Program berjalan. Ketakutan tetap tinggal.
Di tanah Papua, persoalan HIV tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan geografis. Wilayah luas. Akses layanan terbatas. Jarak jauh. Stigma masih kuat. Banyak orang tidak menolak pengobatan. Mereka hanya tidak tahu ke mana harus pergi dengan aman.
Ketika tes HIV masih dianggap aib. Ketika orang dengan HIV takut identitasnya bocor. Ketika layanan kesehatan belum sepenuhnya ramah dan empatik. Maka ARV yang sangat efektif itu kehilangan makna. HIV di tanah Papua bukan terutama soal virus. Ia soal kepercayaan terhadap sistem kesehatan dan kehadiran negara.
Ada hal yang sebenarnya kita takuti. Jujur saja, yang kita takuti dari HIV bukanlah virusnya. Namun, yang kita takuti adalah cerita di baliknya: tentang tubuh, seksualitas, dan penilaian moral. Virus tidak menghakimi. Kita yang melakukannya.
Padahal penyakit tidak pernah memilih korbannya. Ia datang. Titik. Ketika kebijakan terlalu hati-hati menyampaikan fakta ilmiah, yang tertinggal adalah manusia yang sakit dan sendirian.
Jadi …… Negara perlu lebih jujur kepada rakyatnya. Bahwa HIV tidak lagi mematikan jika diketahui dini dan minum obat teratur. Bahwa HIV bisa dikendalikan. Bahwa orang dengan HIV tidak berbahaya bila virusnya tidak terdeteksi.
HIV sudah kalah secara medis. Ia masih hidup karena ketakutan kita sendiri. Dan mungkin, yang paling perlu disembuhkan hari ini bukan virusnya, melainkan cara kita memandang sesama manusia.










