Gen Z Papua dan Pilihan Jalan Kekerasan

FENOMENA keterlibatan generasi muda—Gen Z—dalam tubuh TPN OPM bukan lagi isu pinggiran. Ia telah menjadi kenyataan sosial–politik yang berlangsung nyata di Tanah Papua. Wajah-wajah perlawanan bersenjata semakin muda, menandai regenerasi yang terus bergerak seiring berlalunya waktu. Proses ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan terbentuk dari pengalaman hidup yang penuh kekerasan, trauma kolektif, dan ketidakadilan struktural yang dialami sejak masa kanak-kanak.

Gen Z Papua yang memilih jalan kekerasan lahir dan tumbuh dalam ruang yang keras. Mereka menyaksikan pengungsian berkepanjangan, kampung dibakar, tanah adat dirampas, serta orang tua dan kerabat yang terbunuh atau dipenjara tanpa kejelasan hukum. Negara hadir dalam ingatan mereka bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai kekuatan bersenjata yang datang dengan senjata dan operasi. Dalam lanskap pengalaman seperti itu, kekerasan tidak dipahami sebagai penyimpangan, melainkan sebagai kelanjutan dari realitas yang mereka hadapi sehari-hari.

Pendekatan keamanan yang dominan melalui TNI dan Polri memperkuat proses ini. Operasi demi operasi dilakukan atas nama stabilitas, tetapi keadilan substantif tak kunjung hadir. Setiap peluru yang dilepaskan tanpa pertanggungjawaban hukum, setiap pengungsian yang dibiarkan tanpa perlindungan memadai, dan setiap laporan pelanggaran HAM yang tidak dituntaskan, membentuk keyakinan di kalangan sebagian Gen Z bahwa jalur lain tidak tersedia. Kekerasan kemudian dipersepsikan sebagai satu-satunya bahasa yang tersisa.

Masuknya Gen Z ke jalur perlawanan bersenjata bukan sekadar akibat propaganda ideologis. Ia merupakan akumulasi pengalaman konkret: sekolah yang rusak atau ditutup, kesempatan kerja yang nyaris tidak ada, stigma rasial yang terus melekat, dan masa depan yang terasa tertutup rapat. Dalam situasi ketika ruang sipil menyempit dan dialog tidak memberi hasil nyata, senjata dipahami sebagai alat untuk memaksa pengakuan atas eksistensi dan martabat. Kekerasan bukan tujuan akhir, tetapi jalan yang dipilih karena dianggap paling mungkin.

Pilihan jalan kekerasan ini membawa dampak luas. Ia memperpanjang siklus konflik, memperbesar penderitaan warga sipil, dan mengeras­kan respons negara. Generasi muda yang mengangkat senjata tumbuh dalam lingkaran ketakutan, kehilangan akses pendidikan, dan mengalami trauma berlapis. Di saat yang sama, kehadiran mereka dalam konflik bersenjata menjadi bukti bahwa konflik Papua bukan sekadar persoalan masa lalu, melainkan persoalan generasi yang terus diperbarui oleh pengalaman hidup yang sama kerasnya.

Proses regenerasi Gen Z dalam perlawanan bersenjata bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari realitas sosial–politik yang terus dipertahankan. Selama kekerasan, ketidakadilan, dan pengabaian martabat manusia tetap menjadi pengalaman harian, Gen Z Papua yang memilih jalan kekerasan akan terus lahir. Proses ini sedang terjadi, dan dalam kondisi yang sama, ia akan terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya. (Editor)