OPINI  

Gajah Dalam Operasi Bencana dan Paradoks Ekologi Kita

Yulandari, Mahasiswa Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah. Foto: Istimewa

Oleh Yulandari

Mahasiswa S2 Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah

BANJIR disertai longsor menerjang sejumlah wilayah di Provinsi Sumatra Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sumatera Barat, Sumatra, beberapa waktu lalu menyajikan sebuah sisi paradoks dan tidak biasa. Gajah-gajah jinak dari Conservation Response Unit (CRU) diturunkan untuk membantu membersihkan tumpukan kayu, sampah, dan puing yang menutup akses jalan.

Foto-foto gajah mencuat di media massa dan jejaring jagad maya. Gajah berdiri tenang di tengah lumpur, menarik batang pohon besar, sementara manusia mengarahkan dari kejauhan. Banyak yang menyebutnya sebagai simbol harmoni manusia dan satwa liar. Namun, bagi sebagian orang, pemandangan itu memunculkan ironi yang jauh lebih dalam. Gajah membantu membersihkan kerusakan, yang justru lahir dari hilangnya habitat gajah sendiri.

Di sini, paradoks ekologi berakar. Habitat gajah terus menyusut akibat laju deforestasi, ekspansi perkebunan, dan pembangunan yang menggerogoti hasil hutan, kini menghadapi tekanan semakin besar. Ironisnya, hewan yang terdampak ini justru diminta membantu mengatasi kerusakan lingkungan yang sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia.

Kita merayakan kehadiran gajah, satwa dilindungi sebagai “pahlawan”. Pada saat yang sama, kita mengabaikan fakta miris, pohon-pohon yang diangkut gajah mungkin berasal dari kawasan habitat asli, hutan yang dahulu menjadi rumahnya. Kita menyambut bantuan gajah ikut membantu memulihkan rumah manusia, tetapi manusia tanggal menjaga habitat  satwa dilindungi tersebut.

Kerusakan Ekologis yang Berulang

Banjir Sumatera bukan peristiwa tunggal yang datang tanpa sebab. Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi kondisi ekologis yang rapuh membawa efek berkelindan. Hutan yang hilang membuat tanah tidak mampu lagi menahan air, sungai mudah meluap, dan longsor lebih mudah menerjang.

Pohon-pohon besar yang tercabut dan terbawa arus menunjukkan, ada tekanan ekologis yang berlangsung jauh sebelum hujan datang. Ketika gajah digunakan untuk mengangkut puing banjir, manusia seakan menyaksikan suatu lingkaran absurd: hutan dibuka, habitat gajah terfragmentasi, dan bencana pun muncul.

Pada akhirnya, gajah-gajah justru harus bekerja mengurus dampak dari kerusakan yang juga menimpanya. Siklus ini menunjukkan bahwa cara manusia memperlakukan alam masih berpusat pada manfaat jangka pendek, bukan pada keberlanjutan jangka panjang.

Ekologi dasar mengajarkan bahwa gajah adalah spesies kunci (keystone species). Hilangnya ruang hidup gajah berpotensi mengganggu keseimbangan seluruh ekosistem hutan. Ketika ekosistem rapuh, risiko bencana meningkat. Maka penglibatan gajah dalam operasi pasca-banjir seharusnya tidak hanya dilihat sebagai “inisiatif kreatif,” tetapi sinyal bahwa relasi manusia dengan alam sedang berada pada titik paling rentan.

Etika Pemanfaatan Satwa

Ada sejumlah pihak yang berpendapat, penggunaan gajah terlatih merupakan bentuk pemanfaatan yang positif. Namun, etika lingkungan mengingatkan publik bahwa tidak semua yang bermanfaat bagi manusia berarti baik bagi satwa. Gajah adalah makhluk dengan kecerdasan tinggi, struktur sosial kompleks, dan kebutuhan ruang yang luas.

Menurunkan gajah ke area bencana berarti membawa satwa langka itu masuk dalam lingkungan yang bising, tidak stabil serta penuh kendaraan dan kerumunan manusia. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan tingkat stres satwa langka itu.

Pertanyaan reftoris muncul. Mengapa gajah kembali menanggung beban akibat kerusakan lingkungan yang tidak diciptakan satwa dilindungi itu? Jika teknologi mampu menggantikan tenaga gajah, mengapa manusia tidak bergerak ke arah itu?

Jika pengelolaan hutan dilakukan dengan lebih baik, mengapa manusia harus menghadapi kerusakan berskala besar yang kemudian “diselesaikan” dengan tenaga gajah?

Penggunaan gajah dalam operasi bencana mungkin terlihat efisien, tetapi efisiensi tidak selalu sejalan dengan prinsip etis. Karena itu, manusia tidak boleh menutup mata terhadap aspek tersebut.

Paradoks Ekologi

Istilah ‘paradoks ekologi kita’ merangkum sikap kontradiktif, dimana manusia mengeksploitasi alam tetapi tetap berharap alam menyediakan manfaat tanpa henti. Manusia membuka hutan, tetapi menuntut udara tetap bersih. Manusia pula menebang pohon, tetapi berharap sungai tidak meluap.

Manusia mempersempit habitat gajah, tetapi memanggil satwa dilindungi itu ketika membutuhkan tenaganya. Paradoks ini terlihat sangat jelas dalam kasus Aceh. Kita menganggap gajah sebagai bagian dari solusi, padahal satwa itu sebenarnya adalah korban pertama dari krisis ekologi.

Banjir tidak hanya menguji kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam menangani bencana, tetapi juga bagaimana manusia memahami relasi harmonis dengan alam. Selama manusia melihat alam sebagai sesuatu yang dapat “digunakan,” bukan sesuatu yang harus “dijaga”, maka bencana akan setia mengintai dan berulang. Ironi seperti ini akan terus terjadi.

Indonesia memiliki tradisi panjang pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Di banyak wilayah, hutan adat dijaga dengan aturan ketat yang mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Namun selama beberapa dekade, nilai-nilai lokal kerap tersingkir kepentingan ekonomi skala besar.

Di Aceh, misalnya, peran kearifan lingkungan ini masih ada, tetapi membutuhkan penguatan agar mampu kembali menjadi fondasi pengelolaan hutan. Publik sering lupa, masyarakat adat adalah penjaga ekosistem yang paling memahami dinamika lingkungan.

Mengabaikan peran masyarakat adat membuat publik kehilangan fondasi penting dalam mitigasi bencana berbasis alam. Pelibatan masyarakat lokal, pengawasan pembukaan lahan, dan perlindungan habitat satwa adalah strategi mitigasi jangka panjang yang penting.

Upaya ini jauh lebih efektif daripada sekadar merespons bencana setelah terjadi. Hal ini menuntut konsistensi, kebijakan yang tegas, dan kesadaran kolektif. Melindungi hutan bukan hanya berarti melindungi gajah, tetapi menjaga seluruh ekosistem yang menopang kehidupan manusia.

Sebuah Refleksi Untuk Arah Baru

Gajah yang membantu membersihkan sisa-sisa banjir mungkin tampak heroik, tetapi di balik itu ada kenyataan yang tidak boleh diabaikan. Gajah bekerja di atas kerusakan yang juga merenggut ruang hidup dan habitat aslinya. Gajah bukan sekadar tenaga tambahan dalam operasi bencana, tetapi penanda kondisi ekosistem.

Ketika habitatnya hilang dan gajah harus bekerja di tengah puing banjir, jelas ada yang tidak beres dalam cara manusia mengelola alam. Jika masa depan yang bebas bencana adalah tujuan manusia, maka langkah paling mendasar adalah memperbaiki relasi manusia dengan alam.

Melindungi hutan, menjaga habitat satwa, memperkuat tata ruang, dan menghormati kearifan lokal bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Gajah hari ini mengingatkan publik bahwa menjaga habitat aslinya berarti menjaga rumah manusia sendiri.

Gajah mungkin membantu hari ini. Menjaga habitatnya adalah cara terbaik. Dengan begitu, di masa depan manusia tidak perlu kembali meminta gajah membersihkan kerusakan yang dibuat manusia sendiri.