OPINI  

Dusun sebagai Nafas Masyarakat Adat Papua

Simon Tabuni, SS, MA, Kandidat Doktor di Department of Linguistics and Philology, Uppsala University, Swedia. Foto: Istimewa

Oleh Simon Tabuni, SS, MA

Kandidat Doktor di Department of Linguistics and Philology, Uppsala University, Swedia

HUTAN yang kau sebut tanah kosong adalah dusunku dan nafasku. Ketika engkau merenggut hutan, sama artinya dengan mencabut nafasku. Tindakan tersebut bukan sekadar perusakan lingkungan, melainkan pelanggaran terhadap hak konstitusional dan hak asasi kemanusiaanku.

Frasa di atas merupakan refleksi akademik bersumber pengalaman penelitian penulis selama empat tahun di wilayah Selatan Kepala Burung Papua (South Bird Head Area). Tulisan ini lahir sekaligus menjelaskan mengapa dusun —yang sering disederhanakan sebagai hutan— memiliki makna fundamental bagi masyarakat adat di tanah Papua.

Basis argumentasinya, hutan adalah dusun, dan dusun merupakan nafas kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, perusakan dusun tidak dapat dipahami sekadar menyasar persoalan lingkungan, namun sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dalam perspektif budaya dan teologis masyarakat adat Papua, dusun tidak dipahami sekadar ruang geografis atau sumber daya alam (SDA). Dusun juga pusat kehidupan yang mengandung makna spiritual mendalam. Dusun dipersepsikan sebagai “nafas kehidupan”. Ia menghubungkan manusia dengan sumber eksistensinya, baik secara sosial, kultural maupun rohani.

Secara teologis, kehidupan manusia dipahami sebagai kesatuan antara tubuh, jiwa, dan roh. Roh berfungsi sebagai penggerak kehidupan sekaligus medium relasi manusia dengan Tuhan dan dengan leluhur. Dalam kerangka pemahaman ini, dusun menjadi ruang tempat relasi tersebut diwujudkan dan dipelihara.

Kehilangan dusun berarti bukan hanya kehilangan tempat hidup, tetapi juga berpotensi memutus keterhubungan spiritual, identitas budaya, dan keseimbangan hidup masyarakat adat. Dengan demikian, menjaga dusun sama artinya dengan menjaga keberlangsungan kehidupan, iman, dan jati diri masyarakat adat Papua.

Sumber Ekologi dan Sosial

Dusun memiliki peran fundamental dalam menopang kehidupan. Sebagaimana napas memungkinkan tubuh manusia untuk hidup, dusun menyediakan ruang ekologis yang memungkinkan manusia, keanekaragaman hayati, serta sistem sosial-budaya untuk tumbuh dan berkembang. Keberlanjutan kehidupan ini sangat bergantung pada kelestarian dusun sebagai suatu sistem ekologis yang utuh.

Bagi masyarakat adat, dusun bukan sekadar wilayah fisik, melainkan rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar aktivitas keseharian —seperti meramu hasil hutan, mencari bahan pangan serta berburu— dilakukan di dalam dusun untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani.

Salah satu pernyataan masyarakat adat yang ditemui dalam penelitian menyatakan, “apabila dusun atau hutan mereka rusak, maka mereka akan kehilangan sumber pangan, mata pencaharian, serta kemampuan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka”. Pernyataan ini menegaskan, dusun menjadi sentra keberlangsungan hidup masyarakat adat di tanah Papua.

Selain itu, dusun juga merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Masyarakat adat menyebutkan, “dusun kami dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan dan satwa, seperti babi, rusa, kasuari, kuskus, ikan, udang, burung cenderawasih, nuri, dan kakatua”. Hal ini menunjukkan bahwa dusun berfungsi sebagai kawasan perlindungan alami bagi kekayaan biodiversitas Papua.

Keanekaragaman hayati tersebut diperkuat oleh temuan ilmiah yang menyatakan bahwa Pulau Papua merupakan wilayah dengan tingkat biodiversitas flora tertinggi di dunia. Menurut akademisi Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari Prof Dr Charlie Danny Heatubun, S.Hut, M.Si, FLS, sekitar 13.634 jenis tumbuhan, di mana kurang lebih 68 persen di antaranya merupakan spesies endemik.

Keanekaragaman flora ini sejalan dengan kekayaan fauna yang membentuk ekosistem yang saling bergantung dan berimbang. Kekayaan ini tidak hanya penting bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat adat, tetapi juga memiliki nilai strategis bagi ilmu pengetahuan dan keberlanjutan kehidupan global.

Dusun, Tradisi, dan Identitas Budaya

Tradisi dan budaya masyarakat adat lahir dan berkembang melalui interaksi serta hubungan saling ketergantungan antara manusia dan kehidupan hayati di dalam dusun. Praktik-praktik budaya dan pengetahuan tradisional, seperti tokok sagu, barapen, serta sasi laut dan darat, dapat terus dijalankan karena dukungan lingkungan alam yang lestari.

Apabila pohon sagu ditebang secara masif, vegetasi alam dibabat habis atau ekosistem laut tercemar, keberlangsungan tradisi dan budaya tersebut akan terancam. Kerusakan lingkungan tidak hanya menghilangkan sumber material praktik budaya, tetapi juga memutus relasi historis dan ekologis antara manusia dan alam yang menjadi fondasi kebudayaan masyarakat adat.

Oleh karena itu, tradisi dan budaya masyarakat adat merupakan kekayaan sekaligus identitas kolektif yang harus dilindungi dan dijaga. Menjaga dusun berarti memastikan bahwa tradisi dan budaya tersebut tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Masyarakat adat memiliki ritual khusus bagi individu yang pertama kali memasuki dusun atau hutan adat. Ritual ini disampaikan dalam bahasa daerah sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Seperti ini bunyinya “bapa, mama, tete, nene dan moyang! Ini kam pu anak. Dia baru datang ke sini jadi jang kalian bikin susah dia”.

Makna ritual tersebut merupakan permohonan kepada roh leluhur agar melindungi orang yang baru datang dan tidak mengganggunya. Ritual ini mencerminkan relasi spiritual yang erat antara masyarakat adat, leluhur, dan ruang hidup mereka.

Kepercayaan masyarakat adat meyakini bahwa setelah meninggal dunia, roh leluhur akan kembali dan bersemayam di dusun atau hutan adat. Oleh karena itu, dusun dipandang sebagai ruang sakral, tempat berdiamnya roh-roh leluhur yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual. Dalam konteks ini, dusun menjadi medium penghubung antara generasi yang hidup dengan para leluhur, sekaligus ruang pembentuk memori kolektif dan identitas kultural.

Kerusakan dusun atau hutan, dengan demikian, tidak hanya berdampak pada hilangnya sumber daya alam, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap ruang spiritual dan memori kolektif masyarakat adat. Pelestarian dusun menjadi bagian integral dari upaya menjaga keberlanjutan budaya, sistem kepercayaan, dan hubungan spiritual antara manusia, alam, dan leluhur.

Pelanggaran Hak Masyarakat Adat

Kerusakan lingkungan merupakan persoalan global yang semakin mengkhawatirkan, terutama ketika dampaknya secara langsung dirasakan oleh masyarakat adat. Eksploitasi SDA yang tidak berkelanjutan —seperti deforestasi, pertambangan, dan perkebunan skala besar— tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga melanggar hak asasi masyarakat adat yang bergantung pada alam sebagai sumber kehidupan.

Tanah, hutan, sungai, dan laut bagi masyarakat adat bukan sekadar ruang ekonomi. Ia bagian dari identitas budaya, sistem pengetahuan serta kehidupan sosial dan spiritual. Ketika lingkungan rusak, masyarakat adat kehilangan akses terhadap pangan, air bersih, obat-obatan tradisional, dan mata pencaharian. Kondisi ini merupakan pelanggaran terhadap hak atas kehidupan yang layak, hak atas kesehatan, dan hak atas kebudayaan.

Dalam perspektif HAM, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat, termasuk pengakuan wilayah adat dan perlindungan terhadap dusun sebagai ruang hidup. Tanpa keadilan ekologis dan keadilan sosial, pembangunan tidak hanya gagal mencapai keberlanjutan, tetapi juga memperdalam ketimpangan dan ketidakadilan struktural.

Dusun bukanlah tanah kosong. Ia nafas kehidupan masyarakat adat Papua serta ruang ekologis, kultural, dan spiritual yang menopang keberlangsungan hidup manusia dan alam. Oleh karena itu, menjaga dusun berarti menjaga kehidupan, martabat, dan hak asasi masyarakat adat, hari ini dan untuk generasi yang akan datang.