Oleh Simon Tabuni, SS, MA
Kandidat Doktor di Department of Linguistics and Philology, Uppsala University, Swedia
PAPUA tidak sekadar menyimpan keanekaragaman hayati dan sumber daya mineral melimpah, namun memiliki pula kekayaan bahasa daerah. Ini kurang lebih sesuai dengan jumlah suku-suku yang berada di pulau Cenderawasih. Namun tidak sedikit bahasa daerah yang sedang mengalami degradasi jumlah penutur bahkan beberapa sudah punah dan sebagian kecil masuk dalam klasifikasi hampir punah.
Tentu langkah konkrit harus diambil untuk menyikapinya demi pelestarian untuk melindungi pengetahuan tradisional, identitas, yang terkandung di dalamnya. Tulisan ini bersifat informatif, fokus pada situasi bahasa, penyebab, dan upaya-upaya guna membangun kesadaran kolektif tentang pelestarian bahasa daerah di tanah Papua. Juga mendorong setiap elemen pemerhati bahasa daerah, mengajak komunitas, sesama suku agar dapat mengekspresikan bahasa daerah di mana saja tanpa perasaan minder.
Ada sejumlah hal yang perlu untuk diketahui tentang rupa bahasa. Bahasa yang dituturkan melalui mulut melewati sebuah proses yang cukup kompleks: dimana udara dari paru-paru ditolak keluar melalui sistem pernafasan. Dari paru-paru udara melewati pipa angin menuju larynx/pita suara, di sini udara diproses menjadi bergetar atau tidak.
Seusai melewati pita suara, udara bergerak naik dan sebagian dapat dikeluarkan melalui hidung (nasal articulation) dan lainnya melalui mulut (oral articulation), yang mana selanjutnya diolah oleh kelenturan lidah dan bibir (speech articulators) sehingga menciptakan bunyi suara berupa huruf yang kemudian dirangkai menjadi kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Bahasa ini dinamakan bahasa verbal (verbal language).
Selain bahasa verbal, terdapat juga bahasa non-verbal. Bahasa non-verbal terbagi menjadi gesture dan sign language. Dilihat dari kata, non-verbal mengindikasikan bahwa bahasa yang dikomunikasikan tanpa mengeluarkan suara atau dengan kata lain komunikasi dilakukan melalui indra lain seperti tangan, jari, kepala, raut wajah, dan lain-lain.
Sign language lasimnya digunakan dalam komunitas tuna rungu. Sedangkan gesture dipakai pada komunikasi setingkat pidato dan komunikasi sehari-hari. Contoh gesture adalah berbicara sambil menunjuk sesuatu mengunakan jari telunjuk. Kesatuan sistem komunikasi antara verbal, sign serta gesture disebut multi-modal communication.
Diversitas Bahasa
Menurut situs Ethnologue (2018) terdapat kurang lebih 7.097 bahasa yang dituturkan oleh penduduk bumi. Di Indonesia, terdapat 718 kurang lebih bahasa daerah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018). Dari jumlah tersebut, Papua menempati posisi pertama dengan jumlah bahasa terbanyak, berjumlah 275 (SIL) dan 428 (Balai Bahasa & Kemendikbud, 2021-2025).
Dilihat dari klasifikasi kekeluargaan maka bahasa di Papua terbagi menjadi dua yaitu bahasa-bahasa Austronesia, yang menempati wilayah pesisir dan pulau serta juga bahasa-bahasa Papuan/non-Austronesian, yang menempati pegunungan dan dataran tinggi papua, (Foley, 1986 dan 2000).
Diilustrasikan dalam Kitab Kejadian (dalam Perjanjian Lama) tentang (Runtuhnya) ‘Menara Babel’ dikarenakan Allah membuat bahasa mereka menjadi beda satu sama lain… sehingga mereka tidak saling mengerti ketika berkomunikasi. Ilustrasi ini tidak hanya mengambarkan keanekaragaman bahasa menjadi penyebab tidak terselesaikannya Menara Babel, tetapi juga menceritakan awal mula terciptanya keberagaman bahasa.
Cerita identik juga didentumkan seorang informan (berusia 80-an) kepada penulis ketika terlibat dalam penelitian budaya di wilayah Teluk Cenderawasih. Ia percaya bahwa keanekaragaman bahasa di Teluk ini ada kaitannya dengan peristiwa kekacauan pembangunan Menara di sekitar Teluk Umari.
Kedua cerita di atas mengisahkan asal muasal keanekaragaman bahasa di bumi dari perspektif teologi dan mitologi. (Ketereratan keduanya perlu untuk diinvestigasi lebih lanjut). Setiap suku bangsa pasti memiliki cerita dan sudut pandang masing-masing. Namun, dari perspektif ilmu kebahasaan, isu keanekaragaman bahasa masih menjadi pertanyaan dan perdebatan besar. Beberapa ahli mengemukakan bahwa keanekaragaman diakibatkan oleh faktor sosial tetapi juga faktor geografi.
Keanekaragaman tidak dilihat hanya dari kuantitas bahasa, tetapi secara perfasif dilihat pula pada sistem tata bahasa. Dalam bidang keilmuan bahasa kata kerja terbagi menjadi kata kerja biasa dan kata kerja kompleks (secara morfologi). Apabila dicermati, kata kerja dalam bahasa Indonesia tidak sebegitu kompleks dibandingkan bahasa-bahasa non-Austronesian seperti bahasa Lani Barat, Malind, dan lain-lain.
Kata kerja dalam kedua bahasa ini selalu agree pada subjek (aktor) dan objek (pasien). Artinya berapa banyak orang (number) yang melakukan suatu aktifitas selalu ditandai (marked) dalam kata kerja; sedangkan, bahasa Indonesia tidak.
Kemudian berbeda dengan bahasa Malind dan Indonesia, bahasa Lani Barat mempunyai lima konsep penanda waktu (tense) yang mana masing-masing mempunyai bentuk tersendiri (form).
Dalam bukunya, ‘Grammar of Western Dani’ (2008) Peter Barclay mengemukakan, kelimanya adalah far past, immediate past, intermediate past, present, (immediate and intermediate intentive mood) dan future tense. Bahasa Malind dan Indonesia hanya mempunyai bentuk waktu masa lampau (past), sekarang (present), dan akan datang (future).
Ini berarti dalam berkomunikasi mengenai kejadian lampau spesifikasi waktu sangat penting bagi penutur Lani; apakah kejadian itu baru terjadi atau beberapa menit lalu; sudah beberapa hari, minggu, dan bulan atau apakah itu sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Situasi Bahasa
Sayangnya, diversity tersebut sedang berada dalam bahaya kepunahan. Dilihat dari segi diversitas bahasa, terdapat kurang lebih 7.097 bahasa yang dituturkan oleh 8 miliar orang di muka bumi (Ethnologue, 2018). Dari jumlah ini, ironisnya, 97 persen manusia di muka bumi hanya menuturkan 4 persen bahasa sedangkan 96 persen bahasa dituturkan hanya oleh 3 persen populasi penduduk bumi (Unesco, 2003).
Empat persen bahasa tersebut adalah China-Mandarin, Inggris, Spanish, Hindi, Arabic, Melayu/Indonesia, Prancis, Portugis, Benggali, Rusia, Jerman, Jepan, Punjabi, Jawa, dan Telugu. Sedangkan 96 persen adalah bahasa-bahasa masyarakat indigenous, termasuk bahasa-bahasa yang berada di Pulau New Guinea. Artinya, 5 miliar manusia, dari jumlah total penduduk bumi 8 miliar, menuturkan 15 bahasa, sedangkan ironisnya sekitar 7.000 bahasa hanya memiliki 3 miliar penutur.
Beberapa penelitian baru-baru ini, dikutup dari Sarah G Thomason (2015) penulis buku Endangered Languages, mengeluarkan figure dimana kurang lebih setengah dari 7097 bahasa di bumi diprediksi akan hilang di penghujung abad ini. Lebih detail, Dr Gary Simons dalam SIL’s Chief Research Officer and Executive Editor of Ethnologue memaparkan posternya pada pertemuan tahunan ke 93 masyarakat linguistic Amerika (LSA), ia mengemukakan bahwa rata-rata setiap tahun terdapat 9 bahasa yang punah dalam kurun waktu 25 tahun. Ini berarti dalam kurun waktu 14 hari terdapat 1 bahasa yang punah (Global language lost: a clearer picture’ SIL 2019).
Saat ini, terdapat 66 bahasa di tanah Papua. Dari total 250-275 bahasa, menurut Unesco Atlas of the World’s Languages in Danger (2009) dalam keadaan bahaya. Dari jumlah itu, 30 bahasa dalam keadaan rentan (vulnerable), 7 sudah terancam (definitely endangered), 15 sangat terancam (severely endangered), 13 dalam keadaan kritis (critically endangered) dan 1 bahasa hampir punah (nearly extinct).
Namun, menurut Direktur Centre for Endangered Language Documentation (CELD) Dr Yusuf Sawaki dalam wawancaranya dengan Cahaya Papua, terdapat 5 bahasa yang terancam punah yaitu Dusner, Tandia, Doreri, Mansim, dan Wowiai. (Di Indonesia terdapat 31 bahasa berada dalam keadaan hampir punah/nearly extinct).
Penyebab Endangered Bahasa
Ketika melakukan penelitian pada beberapa suku di Teluk Cenderawasih, informan menceritakan peristiwa penyebab punahnya bahasa mereka. Di kampung Goni, dahulu nenek moyang mereka berbahasa Goni namun generasi sekarang tidak lagi menggunakannya dalam berkomunikasi.
Penyebab hilangnya bahasa tersebut juga masih misterius. Melihat realitas bahasa yang dituturkan di kampung tersebut, yakni bahasa Wandamen dan Biak, penulis berasumsi mungkin telah terjadi akulturasi budaya karena alasan ekonomi dan federasi.
Apabila penyebab hilangnya bahasa Goni akibat ekonomi dan federasi perang, terdapat juga kasus lain dimana matinya bahasa diakibatkan oleh penaklukan perang. Sebagai contoh, dahulu kala terdapat sebuah suku bangsa yang menempati daerah sekitar Yaur namun telah tiada (punah) akibat perang tradisional, menurut informan.
Spesial kasus terjadi pada bahasa Dusner dan Kais. Saat ini hanya terdapat tiga penutur aktif bahasa Dusner (Deda et al 2011a; Mary Dalrymple dan Suriel Mofu, 2012) dan dikategorikan hampir punah (nearly extinct). Sedangkan, Bahasa Kais, secara regular, saat ini dituturkan oleh tidak lebih dari 20 orang.
Berkurangnya penutur pada kedua bahasa ini adalah akibat pelarangan mengunakan dalam berkomunikasi oleh tenaga guru, dan lain-lain. Alasan dari pelarangannya adalah karena angapan bahwa bahasa tersebut diasosiasikan dengan kegelapan/bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh, kasus Dusner.
Selanjutnya, pada tahun 50an dan 60an pelajar di Sekolah Rakyat (Volks-School) dilarang mengunakan bahasa Kais di lingkungan sekolah (dan pelajaran disampaikan dalam bahasa Melayu) dengan dalil mempercepat profesiensi dalam bahasa Melayu. Apabila mereka melanggar, maka akan dikenakan sanksi berupa mulut diganjal dengan lidi berukuran 50cm selama seharian.
Hal ini menyebabkan banyak anak-anak dan pemuda lebih memilih mengunakan bahasa Melayu dibandingkan Bahasa Kais dalam 20 tahun, yang menyebabkan menurunnya jumlah penutur hingga terasa saat ini. (Bagian pertama)










