DAERAH  

Direktur LP3BH Yan Warinussy: Situasi HAM di Tanah Papua Masuk Raport Merah Sepanjang 2025

Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warinussy. Foto: Istimewa

MANOKWARI, ODIYAIWUU.com — Situasi hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua sepanjang tahun 2025 secara khusus untuk orang asli Papua (OAP) mendapatkan penilaian buruk (raport merah).

Berdasarkan catatan akhir tahun Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Rabu (31/12), raport merah itu diakibatkan pula oleh keberadaan lembaga negara seperti Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI-Polri).

“TNI-Polri belum mampu menempatkan diri sebagai lembaga pengayom rakyat Papua asli. Ini terbukti gelombang pengungsian terjadi cukup signifikan di seluruh tanah Papua,” ujar Direktur LP3BH Yan Christian Warinussy di Manokwari, Papua Barat, Rabu (31/12)

Gelombang pengungsian tertinggi terjadi di Kabupaten Nduga dan Yahukimo di Provinsi Papua Pegunungan serta Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya di Provinsi Papua Tengah.

“Gelombang pengungsian juga terjadi di beberapa kabupaten lain seperti Kabupaten Intan Jaya, Dogiyai, Paniai dan Deiyai, Papua Tengah,” kata Warinussy, peraih The John Humphrey Freedom Award, penghargaan internasional bidang HAM di Montreal, Canada, tahun 2005.

Selain itu, pengungsian juga terjadi di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya dan Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat. “Tidak terlihat sama sekali peran aparat negara dalam memberi rasa aman dan damai pada masyarakat Papua Asli di kawasan yang menjadi area konflik bersenjata,” katanya.

Akibat dari pengungsian tersebut, rakyat sipil tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan dasar dari pemerintah. “Di sisi lain rakyat sipil Papua asli juga mendapat tekanan politik dari saudara mereka yang bergerilya sebagai anggota TPNPB,” ujar Warinussy.

Peristiwa-peristiwa saling serang di antara TPNPB dengan alat negara TNI-Polri seringkali mengakibatkan korban di kalangan warga sipil Papua.

Warga Papua dengan mudah dituduh sebagai anggota atau simpatisan TPNPB, sehingga rentan menjadi sasaran penganiayaan, pembunuhan bahkan hilang secara paksa.

“Sayang sekali karena tidak pernah para terduga pelakunya yang diduga merupakan anggota TNI dan Polri dihadapkan ke pengadilan yang netral dan adik serta imparsial,” kata Warinussy.

Berdasarkan catatan lembaganya, ada banyak peristiwa yang membuktikan pernyataannya, seperti kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani pada 2 September 2020.

Kasus ini sudah lima tahun berlalu namum belum terselesaikan secara hukum oleh negara. Demikian juga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Wasior tahun 2001 dan di Wamena tahun 2003.

Pihak LP3BH Manokwari menilai belum ada kemauan politik (political will) dari negara Republik Indonesia untuk memfokuskan diri menyelesaikan berbagai kasus atau peristiwa hukum yang diduga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Padahal, ujar Warinussy, sesungguhnya negara telah memiliki instrumen hukum seperti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Juga Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Bahkan ada sejumlah kovenan dan konvensi internasional yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah diratifikasi oleh Indonesia.

“Hal inilah sesungguhnya menjadi faktor penting yang turut mempengaruhi eksistensi dan posisi Indonesia sebagai anggota PBB dalam pergaulan internasional,” katanya.

Hingga menjelang akhir tahun ini, peristiwa dugaan pelanggaran HAM mengalami intensitas yang terus meningkat dan konsisten berlangsung di tanah Papua. (*)