Delegasi Indonesia ke Gaza: Suara Lantang, Langkah Ciut

Delegasi Indonesia ke Gaza: Suara Lantang, Langkah Ciut. Gambar ilustrasi: Istimewa

DELEGASI Indonesia yang selama ini lantang bersuara membela Palestina, khususnya Gaza, akhirnya memutuskan mundur dari misi Global Sumud Flotilla (GSF). Mereka yang sebelumnya berkoar-koar di media tentang keberanian, kesiapan, dan komitmen membela rakyat Gaza, justru ciut ketika saatnya membuktikan. Keputusan mundur ini tidak hanya memalukan, tetapi juga memperlihatkan wajah asli: banyak bicara, tetapi kosong dalam tindakan.

Alasan yang dikemukakan terdengar manis: faktor teknis, cuaca ekstrem, dan pertimbangan keamanan. Namun rakyat bisa membaca dengan jernih: alasan itu hanyalah bungkus dari ketakutan. Bagaimana mungkin mereka yang mengaku siap lahir batin justru tidak jadi berangkat hanya karena jumlah kapal berkurang dan risiko meningkat? Bukankah sejak awal semua orang sudah tahu bahwa berlayar ke Gaza adalah perjalanan penuh risiko, bahkan bisa menghadapi serangan Israel? Kalau mundur hanya karena risiko, berarti sejak awal mereka tidak pernah siap.

Sungguh ironis, di tanah air mereka tampil gagah berani di depan kamera, mengangkat isu Palestina, menyebut diri sebagai pejuang kemanusiaan. Namun ketika langkah nyata diperlukan, keberanian itu menguap. Mereka pulang dengan alasan teknis, padahal hakikatnya mereka gentar menghadapi bahaya. Inilah kelemahan yang mencoreng citra bangsa: menjadi jago kandang dalam wacana, tetapi rapuh di medan nyata.

Kritik ini penting disuarakan, sebab delegasi Indonesia seolah ingin membangun citra sebagai pembela Palestina, tetapi gagal menunjukkan integritas. Rakyat Gaza setiap hari menghadapi bom, peluru, dan blokade tanpa pilihan mundur. Mereka tetap bertahan di tanah mereka meski nyawa dipertaruhkan. Bandingkan dengan delegasi Indonesia: hanya menghadapi risiko laut dan ancaman, sudah menyerah sebelum berlayar. Apa artinya klaim solidaritas kalau tidak ada keberanian menanggung risiko kecil dibanding penderitaan rakyat Gaza?

Keputusan mundur ini juga memperlihatkan inkonsistensi moral. Membela Palestina tidak bisa setengah hati, tidak bisa hanya berupa slogan di media sosial, mimbar-mimbar kampanye, atau seremoni pelepasan delegasi. Membela Palestina berarti siap menanggung konsekuensi, termasuk risiko keselamatan. Kalau hanya bicara tetapi tidak berani melangkah, lebih baik diam. Jangan menipu rakyat Indonesia dengan drama keberangkatan, jika ujungnya hanyalah pulang dengan tangan kosong.

Delegasi Indonesia mestinya belajar dari peserta internasional lain yang tetap berlayar. Mereka datang dari berbagai negara, jauh dari Gaza, namun berani maju meski risikonya besar. Itulah solidaritas sejati. Sementara Indonesia, negeri dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, justru memberi contoh buruk: mundur karena takut.

Rakyat Indonesia pantas kecewa. Solidaritas tidak boleh berhenti di bibir. Klaim keberanian harus dibuktikan dengan tindakan. Jika delegasi Indonesia ingin tetap dihormati, mereka harus berani mengakui kesalahan ini sebagai bentuk kelemahan, bukan sekadar berlindung di balik alasan teknis. Sebab, sejarah tidak menulis orang-orang yang mundur, tetapi mereka yang melangkah maju meski tahu risiko di depan mata. (Editor)