Oleh: Ir. Yan Ukaago, MT
(Mantan Birokrat dan Pemerhati Sosial Papua)
MASA depan suatu bangsa bergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang disiapkan hari ini. Papua, sebagai wilayah yang gigih memperjuangkan eksistensi dan martabatnya, sangat membutuhkan generasi yang mampu bersaing di kancah global. Persaingan ini bukan dimenangkan dengan unjuk rasa, melainkan dengan unjuk kemampuan melalui pendidikan berkualitas dan relevan yang disiapkan sejak dini.
Namun, program beasiswa ke luar negeri yang seharusnya menjadi investasi strategis jangka panjang bagi Papua, justru seringkali kehilangan arah. Banyak putra-putri Papua yang dikirim tanpa perencanaan matang, sehingga saat kembali ke tanah air, mereka tak memiliki kejelasan fungsi dan posisi. Jurusan yang diambil pun kerap kali tidak selaras dengan kebutuhan pembangunan Papua, menciptakan ketidaksesuaian (link and match) antara dunia pendidikan dan lapangan kerja.
Bukti Kegagalan Sistemik yang Mengakar
Realitanya, banyak lulusan beasiswa yang kini menjadi pengangguran terselubung. Mereka yang belajar di bidang perkapalan, fisika murni, biologi lingkungan, komputer, hingga penerbangan, justru berakhir menjadi tukang ojek, buruh lepas, atau terjun ke bidang yang sama sekali tidak relevan dengan keahlian mereka. Ini bukan semata kegagalan individu, melainkan cerminan kegagalan sistem yang lebih besar dan mengakar dalam tata kelola kita.
Lebih miris lagi, kursi-kursi beasiswa seringkali tidak jatuh ke tangan anak-anak bertalenta dari pelosok, melainkan kepada anak-anak pejabat atau keluarga dekat elit daerah. Mereka yang memiliki semangat juang dan daya tahan tinggi justru tersingkir di tahap awal seleksi. Akibatnya, banyak dari penerima beasiswa ini yang tidak mampu beradaptasi, mengalami tekanan akademik dan mental, hingga akhirnya gagal dan dipulangkan sebelum waktunya.
Dampak buruknya, citra anak Papua di mata dunia pun ikut tercoreng. Mereka dicap malas, lemah, dan tidak mampu bersaing. Padahal, anak-anak Papua yang sesungguhnya berpotensi justru tidak diberi kesempatan. Kegagalan ini bukan karena mereka bodoh, melainkan karena dikurbankan oleh sistem yang tidak adil dan tidak berpihak pada kualitas.
Pasca-Kelulusan: Tanpa Arah dan Tanpa Ruang Kontribusi
Setelah kembali ke Papua, para lulusan luar negeri ini juga tidak kunjung diberi ruang untuk berkontribusi. Pemerintah Daerah (Pemda) seolah tidak tahu harus berbuat apa dengan mereka. Tidak ada database terpadu, tidak ada forum pemanfaatan keahlian, bahkan sekadar sesi diskusi untuk berbagi pengalaman pun nyaris tak pernah diadakan.
Coba tanyakan, di mana mereka sekarang? Apakah mereka bekerja sesuai jurusannya? Apakah mereka membawa inovasi? Kontribusi apa yang sudah mereka berikan untuk masyarakat? Bahkan untuk sekadar menghimpun mereka, mendengarkan pengalaman hidup, dan belajar dari perjalanan mereka, belum pernah dilakukan secara serius oleh lembaga terkait.
Belajar dari Kisah Sukses yang Terabaikan
Padahal, banyak sekali contoh anak Papua yang berhasil di luar negeri dan layak dijadikan inspirasi serta bahan evaluasi. Sebut saja George Saa, lulusan fisika dari Inggris yang memenangkan First Step to Nobel Prize in Physics. Ada pula Billy Mambrasar, lulusan dari kampus top di Amerika Serikat yang kini menjadi wajah kebijakan pemuda nasional. Felicia Dahayu sukses menuntaskan studi di Korea Selatan, sementara Rainner Koibur menempuh pendidikan di bidang aviasi di AS. Simon Tabuni menimba ilmu di Inggris, sedangkan Yuli Hikoyabi dan Vonnya Belesia turut mewakili anak Papua yang membanggakan di berbagai forum dan institusi internasional.
Nama-nama ini seharusnya tidak hanya menjadi pajangan dalam seminar atau laporan evaluasi. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam merancang masa depan Papua. Mereka bisa menjadi mentor, fasilitator, bahkan lokomotif perubahan. Namun, apa yang terjadi? Sebagian dari mereka justru harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, karena tidak kunjung dirangkul oleh sistem yang seharusnya menopang mereka.
Risiko Pengiriman Anak Usia Dini dan Visi Politik Jangka Pendek
Lebih parah lagi, kini ada tren mengirim anak-anak usia dini ke luar negeri. Dari sisi kualitas pendidikan, mungkin ada nilai positif. Namun, dari sisi psikologis dan kebudayaan, ini berisiko besar. Anak-anak tumbuh jauh dari keluarga, bahasa ibu, dan akar budaya. Mereka berpotensi kembali sebagai sosok asing di tanah sendiri, kehilangan jati diri, dan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sosial Papua.
Ironisnya, Pemda bukannya fokus membangun sekolah unggulan di tanah Papua, tetapi justru sekadar “mencari sekolah unggulan” di luar, demi popularitas politik jangka pendek. Program-program besar semacam ini biasanya hanya bertahan lima tahun, lalu mati seiring pergantian kepala daerah. Ini menunjukkan kurangnya visi jangka panjang dalam perencanaan pembangunan SDM.
Mendesak Sebuah Grand Design SDM yang Berkelanjutan
Papua membutuhkan grand design pembangunan SDM yang terstruktur, berjenjang, dan lintas pemerintahan. Misalnya, 10 tahun pertama fokus pada pengiriman SDM unggul ke luar negeri berdasarkan proyeksi kebutuhan masa depan Papua. Lalu, 10 tahun berikutnya, diciptakan lapangan kerja, teknologi, dan institusi yang bisa menyerap mereka. Harus ada visi 20 tahun ke depan, bukan hanya target lima tahun masa jabatan.
Jika tidak, setiap kali terjadi pergantian gubernur atau atau bupati, arah kebijakan akan berubah, dan Papua akan terus jalan di tempat. Kita akan kehilangan generasi emas karena kegagalan tata kelola beasiswa dan ego sektoral para pemimpin lokal.
Papua hanya bisa dibangun oleh orang Papua sendiri. Kita harus berhenti menggantungkan diri pada belas kasihan. Kita harus bangkit sebagai bangsa yang berdaulat dalam berpikir dan bertindak. Kita butuh SDM Papua yang berpikir global dan bertindak lokal—mereka yang kuat dalam ilmu, tahan banting dalam mental, dan teguh dalam budaya.
Masa depan Papua bukan di jalanan, tapi di ruang kelas dan laboratorium. Bukan di lobi-lobi kekuasaan, tapi di karya nyata.