OPINI  

Bahasa Waktu, Budaya Mayoritas, dan Toleransi

Anisha Rizki Utami, Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Foto: Istimewa

Oleh Anisha Rizki Utami

Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

DALAM keseharian hidup di Indonesia, penanda waktu kerap tidak selalu merujuk pada jam dan menit secara spesifik. Ungkapan seperti “habis maghrib”, “sebelum ashar”, atau “nanti abis isya” sering digunakan sebagai pengganti janji temu.

Praktik ini terdengar biasa, bahkan efisien. Namun, jika dicermati lebih dalam, penggunaan waktu sholat sebagai bahasa temporal menyimpan dinamika sosial-budaya yang menarik. Khususnya dalam konteks masyarakat multikultural.

Catatan ini berupaya membaca praktik tersebut bukan sekadar sebagai kebiasaan netral, melainkan fenomena sosial yang memperlihatkan bagaimana budaya mayoritas bekerja dalam keseharian. Berikut bagaimana toleransi dijalankan secara diam-diam serta potensi eksklusi kultural dapat muncul tanpa disadari.

Penanda Sosial

Dalam antropologi, waktu tidak semata-mata bersifat teknis, tetapi juga kultural. Setiap masyarakat memiliki cara sendiri untuk menandai, membagi, dan memberi makna pada waktu.

Di Indonesia, waktu sholat, yang berasal dari praktik keagamaan Islam, berfungsi tidak hanya sebagai ritme ibadah, tetapi juga sebagai penanda sosial yang dipahami secara luas.

Menariknya, pemahaman ini tidak terbatas pada kelompok Muslim. Banyak individu non-Muslim memahami, meski secara kira-kira, bahwa maghrib merujuk pada waktu sekitar matahari terbenam, isya pada malam hari, dan subuh pada dini hari.

Dengan demikian, waktu sholat bertransformasi dari simbol religius menjadi bahasa sosial yang bersifat kolektif.

Penggunaan waktu sholat sebagai kata ganti janji temu menunjukkan bagaimana budaya mayoritas dapat menjadi standar implisit dalam ruang sosial. Tanpa ada paksaan formal.

Istilah-istilah ini dinormalisasi melalui penggunaan berulang dalam interaksi sehari-hari. Misalnya di kampus, kantor, grup pertemanan, hingga ruang digital.

Dalam konteks multikultural, normalisasi ini penting dicermati. Bukan karena ia salah, tetapi karena ia menunjukkan relasi kuasa simbolik. Budaya mayoritas tidak perlu menjelaskan dirinya. Namun secara asumsi dapat dipahami.

Sebaliknya, kelompok lain berada pada posisi yang diharuskan untuk menyesuaikan diri. Melalui belajar, menerjemahkan, dan/atau sekadar mengira-ngira.

Adaptasi sebagai Bentuk Toleransi

Respons individu non-Muslim terhadap penggunaan waktu sholat sering kali bersifat adaptif. Alih-alih mempersoalkan, mereka menyesuaikan diri dengan cara menghitung perkiraan jam, menerima istilah tersebut sebagai bagian dari kebiasaan sosial, dan melanjutkan interaksi tanpa konflik.

Adaptasi ini dapat dibaca sebagai praktik toleransi mikro (micro-tolerance). Yakni, bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang tidak diekspresikan dalam wacana besar tentang pluralisme, tetapi dijalankan melalui tindakan kecil, diam, dan pragmatis. Dalam hal ini, multikulturalisme tidak hadir sebagai slogan, melainkan sebagai keterampilan sosial.

Meski sering berjalan mulus, praktik ini tidak sepenuhnya bebas masalah. Penggunaan waktu sholat sebagai penanda universal berpotensi menciptakan eksklusi halus, terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan istilah tersebut atau berasal dari latar budaya yang sangat berbeda.

Eksklusi ini bukan berupa penolakan terbuka, melainkan ketidaknyamanan, kebingungan, atau perasaan “harus menyesuaikan” agar tetap bisa masuk dalam percakapan. Di sinilah isu multikultural bekerja secara halus dan bukan melalui konflik, tetapi melalui kebiasaan yang dianggap wajar.

Bahasa dan Kekuasaan

Dalam kajian antropologi linguistik, bahasa tidak pernah netral. Ia membawa nilai, struktur kuasa, dan asumsi sosial. Penggunaan waktu sholat sebagai bahasa temporal menunjukkan bagaimana bahasa keagamaan dapat meluas ke ranah sekuler tanpa kehilangan muatan simboliknya.

Namun, penting dicatat bahwa praktik ini juga menunjukkan fleksibilitas budaya Indonesia. Alih-alih kaku, bahasa sosial berkembang melalui kesepakatan tak tertulis, kedekatan relasi, dan konteks situasional.

Dalam lingkar pertemanan yang cair, istilah waktu sholat bisa terasa inklusif dan akrab. Sementara dalam konteks formal atau lintas budaya, ia bisa terasa asing.

Sering kali, multikulturalisme dipahami melalui peristiwa besar. Seperti konflik antaragama, kebijakan negara, atau wacana identitas. Padahal, ia justru bekerja paling intens dalam hal-hal kecil dan sehari-hari. Salah satunya, adalah dengan cara yang kita gunakan untuk membuat janji.

Penggunaan waktu sholat sebagai pengganti jam menunjukkan bahwa hidup dalam masyarakat majemuk tidak selalu tentang memahami semua budaya secara mendalam, tetapi tentang kemampuan membaca konteks, menyesuaikan diri, dan menahan diri. Di sinilah toleransi dijalankan sebagai praktik, bukan sekadar nilai.

Penggantian jam dengan waktu sholat dalam janji temu merupakan fenomena sosial yang kaya makna. Ia mencerminkan normalisasi budaya mayoritas, adaptasi lintas identitas, serta dinamika inklusi dan eksklusi yang halus.

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, praktik ini menunjukkan bahwa perbedaan tidak selalu dinegosiasikan melalui debat besar, melainkan melalui kebiasaan kecil yang diulang setiap hari.

Dengan membaca ulang hal-hal yang dianggap sepele, kita dapat memahami bahwa multikulturalisme bukan sesuatu yang jauh atau abstrak. Ia hidup, bergerak, dan bernegosiasi dalam bahasa yang kita gunakan. Menariknya, bahkan ia hadir saat kita sekadar menentukan waktu untuk bertemu.