SUDAH terlalu lama Papua terperangkap dalam lingkaran kekerasan, saling curiga, dan kebuntuan politik. Ketika masalah Papua terus menjadi luka yang menganga dalam tubuh Republik Indonesia, sudah waktunya pemerintah pusat mengambil langkah berani dan bermartabat: memberikan amnesti bagi tahanan politik Papua, lalu membuka ruang dialog resmi dengan perwakilan politik Papua, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Saat ini, masih banyak warga Papua yang mendekam di penjara dengan tuduhan makar. Mereka bukan kriminal biasa, melainkan para aktivis politik yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan melalui simbol, orasi, pengibaran bendera, hingga perjuangan bersenjata. Menghukum mereka dengan pasal makar bukan hanya bentuk pendekatan represif, tetapi juga menutup ruang dialog yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi. Dalam situasi seperti ini, amnesti adalah pilihan politik yang manusiawi dan strategis.
Presiden Republik Indonesia memiliki wewenang konstitusional untuk memberikan amnesti kepada siapa pun yang dijatuhi hukuman pidana karena alasan politik. Pemberian amnesti bukan berarti tunduk kepada tekanan, melainkan bentuk kebijaksanaan negara dalam menyikapi konflik berkepanjangan. Ini adalah sinyal bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan damai daripada kekerasan. Pengalaman internasional, seperti di Aceh atau Irlandia Utara, menunjukkan bahwa penyelesaian politik dimulai dari keberanian memberi pengampunan, bukan pembalasan.
Namun amnesti bukan tujuan akhir. Ia harus menjadi jembatan menuju sesuatu yang lebih besar: dialog Jakarta-Papua. Dialog ini harus dilakukan secara resmi, terbuka, dan bermartabat, dengan agenda yang jelas dan waktu yang terukur. Pemerintah pusat tidak bisa terus menutup mata terhadap kenyataan bahwa Papua memiliki aspirasi politik yang berbeda dan telah lama merasa diabaikan serta diperlakukan tidak adil.
Dialog tersebut hanya akan memiliki legitimasi jika menghadirkan representasi sejati dari rakyat Papua. Dalam hal ini, Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang selama ini menjadi simbol perlawanan dan aspirasi politik Papua, tidak bisa dikesampingkan. Mengajak OPM ke meja perundingan bukan berarti mengakui kemerdekaan Papua, melainkan menunjukkan bahwa negara cukup dewasa untuk mendengar langsung dari pihak yang selama ini berseberangan. Ini soal keberanian untuk bicara, bukan menyerah.
Tentu, dialog yang dimaksud bukan percakapan simbolik atau seremonial, tetapi negosiasi yang menyentuh akar persoalan Papua: sejarah integrasi, pelanggaran HAM, eksploitasi sumber daya alam, marginalisasi orang asli Papua, dan masa depan politik yang bermartabat. Tanpa pembicaraan serius soal isu-isu ini, perdamaian di Papua hanya akan jadi ilusi.
Sudah waktunya negara mengubah pendekatan dari kekuatan militer menjadi kekuatan moral dan politik. Amnesti bagi para tahanan politik dan dialog dengan OPM adalah dua langkah awal menuju perdamaian yang sesungguhnya. Papua butuh keadilan, dan Indonesia butuh keberanian untuk memperbaiki sejarah. Jika tidak sekarang, kapan lagi? (Editor)