OPINI  

Amanat untuk Menyembuhkan Kemanusiaan yang Terluka

Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Foto: Istimewa

Oleh Ignatius Kardinal Suharyo

Uskup Agung Jakarta

BERBEDA dibandingkan dengan para penulis Injil yang menyampaikan pesan kelahiran Yesus dalam bentuk kisah, Rasul Paulus menyampaikan pesan itu dalam bentuk himne yang sangat indah.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menuruti pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:5-7).

Yesus lahir dalam konteks zaman yang amat konkret, yaitu ketika kemanusiaan sedang dan semakin terluka. Kisah-kisah kelahiran Yesus dalam Injil Matius dan Lukas mengungkapkan luka-luka kemanusiaan itu. Bersama orangtuanya, ia terpaksa mengungsi karena hidupnya terancam.

Ia lahir ketika Herodes, penguasa pada waktu itu, membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yang berusia dua tahun ke bawah, hanya karena merasa kedudukan, kekuasaan, dan kepentingannya terancam (bdk Mat 2:13-16; Luk 19:11-27).

Orangtuanya mesti pergi ke Betlehem untuk mendaftarkan diri-artinya supaya terdaftar sebagai wajib pajak, yang mesti membayar berbagai macam pajak yang tidak adil (bdk Luk 2:1-7; 19:1-10). Ia lahir dalam masyarakat yang karena struktur keagamaan dan budayanya menyebabkan orang hidup dalam ketakutan (bdk Luk 2:8-10).

Rupanya luka-luka kemanusiaan itu tidak kunjung sembuh, bahkan semakin beragam dan parah di zaman sekarang ini. Luka-luka itu disebabkan oleh berbagai macam hal, antara lain ketidakadilan, pemujaan uang, dan korupsi.

Mengenai ketidakadilan, mendiang Paus Fransiskus menyatakan, “Di dalam dunia dewasa ini … betapa banyak luka yang ditanggung oleh orang-orang yang tidak mempunyai suara karena teriakan mereka diredam dan dibenamkan oleh sikap acuh tak acuh orang-orang yang berkuasa” (Misericordiae Vultus/MV No 15).

Mengenai bahaya uang ditegaskan, “Janganlah jatuh ke dalam pola pikir yang mengerikan, yang beranggapan bahwa kebahagiaan bergantung pada uang dan bahwa, dibandingkan dengan uang, semua yang lain tidak ada nilai atau martabatnya. Kekerasan yang ditimpakan kepada orang lain demi menumpuk kekayaan yang berlumuran darah tidak akan mampu membuat seorang pun tetap berkuasa dan tidak mati” (MV 19.1).

Mengenai korupsi, dengan hati pedih, mendiang Paus Fransiskus menulis, “Luka-luka bernanah (akibat korupsi) ini merupakan dosa berat yang berteriak keras ke surga untuk mendapatkan pembalasan karena luka itu merongrong dasar-dasar kehidupan pribadi dan masyarakat. Korupsi membuat kita tidak mampu melihat masa depan dengan penuh harapan karena keserakahan yang lalim itu menghancurkan harapan-harapan kaum lemah dan menginjak-injak orang yang paling miskin di antara kaum miskin. Korupsi adalah skandal publik yang berat” (MV 19.1). Ini semua bersumber pada dan mengakibatkan kemerosotan moral yang semakin parah, yang ujung-ujungnya merusak keadaban publik.

Keadaban Publik

Pada 2004, Konferensi Waligereja Indonesia mengeluarkan Nota Pastoral berjudul Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Rusaknya keadaban publik menurut dokumen itu disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan hidup. Ketiga faktor yang disebut lebih dari 20 tahun yang lalu itu tampaknya masih sama-sama kita rasakan dan alami sekarang ini, bahkan mungkin lebih lagi.

Keadaban publik ditopang oieh tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik, yaitu negara, masyarakat pasar, dan masyarakat warga. Melalui badan-badan publiknya, negara bergerak di ruang publik dengan menyelenggarakan dan memastikan terwujudnya kesejahteraan bersama.

Sektor pasar bergerak di ruang publik melalui urusan transaksi jual beli barang dan jasa yang seharusnya dijalankan secara fair demi keuntungan penjual, pembeli, dan masyarakat pada umumnya.

Sementara masyarakat warga berinteraksi di ruang publik atas dasar saling percaya dan tata perilaku sosial yang diandaikan diterima, dihormati, dan dilaksanakan oleh semua pihak.

Keseimbangan lewat fungsi kontrol silang di antara tiga poros kekuatan pengelola ruang publik itu merupakan prasyarat bagi kehadiran dan pertumbuhan keadaban publik. Sebaliknya, kalau yang terjadi adalah perselingkuhan di antara poros-poros itu, keadaban publik akan semakin hancur, kemanusiaan semakin terluka.

Tanggung Jawab Iman

Dengan demikian, bagi umat Kristiani, merayakan Natal berurti mengambil tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam usaha untuk menyembuhkan luka-luka kemanusiaan demi membangun keadaban publik.

lnilah yang antara lain dimaksudkan kalau Rasul Paulus menyatakan, “Yesus telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan demi untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat milik-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit 2:14).

Rajin berbuat baik itulah yang saya lihat beberapa waktu yang lalu di temput berlindung (shelter) St Theresia di Batam. Di tempat tersebut korban-korban kekerasan, korban-korban tindak pidana perdagangan orang diterima, ditemani dalam usaha menyembuhkan dari luka-luka fisik, mental, dan rohani.

Di tempat itu seorang imam, didukung oleh polisi dan sukarelawan muda -yang menyebut diri bukan gen Z, tetapi gen Sa, artinya generasi Samaritan yang mempunyai watak belarasa kuat- bekerja sama dengan tulus dengan risiko yang tidak kecil.

Selamat Natal 2025 dan selamat menyambut Tahun Baru 2026.

Sumber: Kompas, 24 Desember 2025