JANJI politik paling berisik dalam Pilpres lalu adalah klaim 19 juta lapangan pekerjaan yang dilontarkan oleh Gibran Rakabuming Raka. Angka ini dipajang seperti trofi kampanye: besar, memukau, dan menjanjikan masa depan cerah bagi jutaan rakyat. Namun semakin sering janji itu ditagih oleh media, semakin telanjang satu fakta pahit: yang besar hanya janjinya, bukan pemahamannya. Ketika diminta menjelaskan, Gibran justru tersesat dalam jawabannya sendiri. Ditanya soal pekerjaan, ia bicara bonus demografi. Ditanya strategi, ia menjawab hal lain. Inilah potret pemimpin yang berani menjual angka, tetapi gagap saat diminta menjelaskan maknanya.
Janji 19 juta lapangan kerja bukan angka main-main dan bukan sekadar retorika. Ia menyentuh nasib jutaan penganggur, termasuk lulusan S1, S2, bahkan S3 yang hari ini hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Mereka bukan malas dan bukan bodoh. Yang gagal adalah negara dalam membangun ekosistem kerja yang menyerap kompetensi mereka. Dalam situasi seperti ini, janji besar seharusnya disertai peta jalan kebijakan yang rinci, terukur, dan masuk akal. Namun yang publik saksikan justru improvisasi lisan, jargon kosong, dan senyum canggung di depan kamera, seolah angka raksasa itu lahir tanpa perhitungan apa pun.
Kebingungan Gibran bukan semata persoalan komunikasi publik. Ini adalah krisis kapasitas kepemimpinan. Seorang pemimpin boleh belajar di awal, tetapi tidak boleh kosong saat memegang jabatan. Ia boleh salah hitung, tetapi tidak boleh tak memahami janjinya sendiri. Ketika seorang Wakil Presiden tidak mampu menjelaskan klaim kampanye secara lurus dan konsisten, publik tidak melihat kerendahan hati. Yang terlihat adalah ketidaksiapan. Politik semacam ini berbahaya karena menormalisasi ketidakjelasan, mengubah kebohongan menjadi kebiasaan, dan menjadikan penghindaran sebagai strategi bertahan hidup di ruang publik.
Lebih parah lagi, pola menjawab yang berputar-putar mencerminkan politik pengalihan tanggung jawab. Alih-alih mengakui keterbatasan atau merevisi klaim yang keliru, yang dilakukan adalah menggeser topik dan membuang substansi. Ini bukan kecerdikan politik, melainkan kemiskinan isi. Negara tidak dikelola dengan gaya konten media sosial. Lapangan kerja tidak lahir dari slogan dan presentasi. Ia lahir dari kebijakan fiskal yang serius, industrialisasi nyata, reformasi pendidikan yang relevan, serta keberanian memimpin sektor riil—semuanya tak pernah dijelaskan Gibran ketika angka 19 juta itu dipersoalkan.
Yang dituntut publik sebenarnya sederhana: pertanggungjawaban akal sehat. Jika angka 19 juta itu hasil perhitungan tim, paparkan metodenya. Jika itu target kolektif pemerintahan, jelaskan skema dan pembagian perannya. Jika ternyata angka tersebut hanyalah bumbu kampanye, katakan dengan jujur. Indonesia tidak kekurangan anak muda cerdas dan tenaga terdidik. Yang mengkhawatirkan adalah bila negeri ini dipimpin oleh figur yang piawai menjual janji, tetapi kosong isi kepala. Janji besar tanpa pemahaman bukan optimisme, melainkan penipuan politik yang layak dikecam. (Editor)










