OPINI  

Hutan Papua yang Misterius

Alex Runggeary, anggota Satupena. Foto: Istimewa

Oleh Alex Runggeary

Anggota Satupena

KETIKA itu 1975 pertama kali penulis masuk kerja sebagai pegawai pada Irian Jaya Joint Development Foundation (IJJDF), satu lembaga prestisius pada masanya. Baru tamat ujian skripsi Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura melamar dan langsung diterima.

Di sana penulis ditempatkan bersama sesama beberapa teman dari Uncen pada bagian kredit atau dalam bahasa kerennya loan division. Istilah ini digunakan karena memang itu lembaga internasional.

IJJDF dibentuk Pemerintah Indonesia bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Development Programme (UNDP). IJJDF ini khusus beroperasi di Irian Barat, yang di kemudian hari menjadi Irian Jaya dan Papua Barat.

Lembaga ini dibentuk atas rekomemdasi proyek PBB sebelumnya yang beroperasi di sini pada masa Badan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Temporary Authority (Untea). Proyek itu disebut Funds from the United Nations for the Development of West Irian (Fundwi) tahun 1967-1969.

Ada dua aspek pokok rekomendasi Fundwi. Pertama, pengembangan ekonomi rakyat Irian Barat. Kedua, membangun proyek kehutanan untuk rakyat, termasuk pengawasan hutan (Laporan Akhir Proyek Fundwi).

Rekomendasi pertama yang wujudnya adalah IJJDF. Ini pula alasannya setoran dana untuk pembentukannya dari sisa dana Fundwi sebanyak US$ 4,000,000 (kurs Rp 370 per 1 US$) (baca: detik.finance). Pemerintah menyetor jumlah yang sama sehingga menjadi US$ 8,000,000.

Sedangkan rekomendasi kedua tentang kehutanan tidak sekalipun didiskusikan secara terbuka oleh pihak terkait. Apalagi dibentuk satu badan independen untuk menangani aspek penting ini. Penting bagi kehidupan hutan dan rakyat yang mendiaminya

Di Balik Isu Hutan Papua

Ada fakta yang mengggelitik untuk ditelusuri lebih jauh kebenaran kisah misterius di balik isu hutan Papua ini. Pada dinding kantor JDF yang unik karena dibangun dengan bahan kayu dan papan yang nampak aneh pada masa itu apalagi sekarang, bangunan dari kayu.

Hampir seluruh dinding pada bagian loan division lantai dua itu berdiri satu rak ukuran besar. Semua berkas Kredit satu per satu nasabah berjajar di sana dengan rapi. Sebagian besar berkas itu dalam map merah dengan kode LA atau Loan Agreement (Perjanjian Kredit).

Hanya ada beberapa berkas itu dalam folder besar berwarna abu-abu hitam karena folder besar seperti itu belum ada yang diproduksi berwarna merah pada masa itu. Salah satu folder hitam besar itu tergelatak tak bertuan  pojok kiri bawah pada rak itu.

Saya membaca tulisan pada folder itu yang berbunyi: LA …..Hamadi Sawmill. Penulis hanya bisa membayangkan ini perjanjian kredit dengan proyek penggergajian kayu Hamadi terbayang juga batangan kayu yang ditumpuk di Holtekamp dan dibawa lewat laut ke Hamadi untuk digergaji

Suatu ketika entah mengapa folder misterius itu tidak ada lagi di tempatnya. Dan yang mengherankan adalah tidak pernah sedikitpun dibicarakan secara terbuka proyek ini. Kebetulam saja penulis bertugas sebagai assistant loan officer yang menangani sektor industri yang di dalamnya termasuk penggergajian kayu.

Pada waktu itu dan lama sesudahnya saya tak terlalu mengubris folder yang menghilang secara misterius itu. Akhir-akhir ini barulah penulis mencoba untuk menyambungkan titik-titik garis yang hilang itu.

Theys Hiyo Eluway pejuang kemerdekaan Papua secara damai itu dibunuh secara sadis setelah menghadiri undangan memperingati Hari Pahlawan 10 November 2001, tepat di kompleks Hamadi Sawmill ini.

Nama Hamadi Sawmill sejak lama telah berubah menjadi PT Hanurata yang konon masih ada hubungan dengan Cendana, di mana operator lapangannya melibatkan militer

Ini pula mungkin alasannya mengapa folder Hamadi Sawmill itu mendadak menghilang dari rak besar itu karena beralih kepemilikan. Apakah kreditnya pernah dilunasi, penulis tidak pernah tahu.

Tetapi yang jelas pemilik Hanurata itu masih erat berhubungan dengan penguasa Orde Baru. Hutan dari dulu hingga sekarang selalu dan niscaya berhubungan dengan penebangan dan kekayaan yang tidak pernah sampai ke masyarakat pemilik hutan adat di pihak militer berguna untuk penyamaran dan pemantauan pergerakan pemberontak simbiotis mutualistis.

Pada proyek Fundwi ada perumahan pre-fabricated house di Angkasa maupun Hamadi Gunung. Pada masa Belanda pre-fabricated house produksi dari Manokwari, masih bisa ditemukan di Polimaq IV, Jayapura.