Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
DI TENGAH krisis iklim, bencana ekologis, dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) kian masif, pertanyaan berkelebat selalu muncul: di mana letak kesalahan kita? Apakah pada teknologi, kebijakan atau krisi ekonomi global yang merambat sana sini di seantero lekuk bumi yang kita pijak?
Namun jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya menyentuh akar persoalan lingkungan jauh lebih dalam. Ia bermula atau berawal dari cara manusia memandang alam dan dirinya sendiri.
Pandangan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan bahwa “Tuhan Allah menitipkan kasih melalui semesta” mengajak kita berhenti sejenak dan merefleksikan ulang hakekat relasi manusia dengan alam. Alam bukan sekadar ruang kosong yang boleh dieksploitasi sesuka hati.
Lebih dalam dari itu ialah alam tempat manusia tinggal adalah tanda kasih Allah yang nyata bagi kehidupan manusia. Air yang mengalir, tanah yang subur, udara yang kita hirup, dan hutan yang menopang kehidupan adalah wujud kasih Allah yang setiap hari kita terima —sering kali tanpa disadari.
Sayangnya, paradigma pembangunan modern cenderung memandang alam sekadar sebagai objek ekonomi: sumber bahan baku, ladang keuntungan, dan komoditas. Dalam cara pandang ini, manusia menempatkan diri sebagai penguasa absolut.
Apesnya, di sisi lain alam direduksi menjadi alat pemuas kebutuhan jangka pendek. Ketika alam rusak, kita menyebutnya “konsekuensi pembangunan”, seolah kehancuran adalah harga yang wajar dari kemajuan.
Bukan Lisensi
Padahal, jika alam adalah titipan, maka manusia bukan pemilik mutlak, melainkan penjaga. Kuasa manusia atas alam bukanlah lisensi untuk merusak, melainkan mandat untuk merawat. Di sinilah dimensi moral dan spiritual menjadi penting. Merawat alam bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan tanggung jawab nurani.
Kerusakan lingkungan sejatinya bukan hanya persoalan teknis —bukan semata kegagalan teknologi atau regulasi— melainkan krisis kesadaran manusia. Kita lupa bahwa setiap tindakan hari ini memiliki dampak jangka panjang bagi generasi mendatang. Kita gagal melihat keterhubungan antara penebangan hutan dengan banjir, antara pencemaran sungai dengan krisis kesehatan, antara eksploitasi tanah dengan konflik sosial.
Kesadaran penuh sebagai umat manusia berarti menyadari bahwa kita hidup bersama alam, bukan di atas alam. Alam bukan benda mati, melainkan jejaring kehidupan yang saling terhubung. Ketika satu bagian rusak, seluruh sistem ikut terganggu —termasuk manusia sendiri. Karena itu, menjaga alam bukan hanya demi “lingkungan”, tetapi demi keberlanjutan hidup manusia.
Dalam konteks Papua, tanah adalah ibu bumi kehidupan dan warisan ekologis dunia. Refleksi ini menjadi sangat nyata ketika kita menatap Papua. Papua bukan sekadar wilayah geografis di timur Indonesia, melainkan tanah bagi kehidupan.
Ia ruang di mana manusia, alam, dan budaya hidup dalam relasi yang nyaris tak terpisahkan. Hutan Papua, sungai-sungainya, pegunungan, rawa hingga dan keanekaragaman hayatinya bukan hanya kekayaan lokal atau nasional, tetapi aset ekologis dunia.
Bagi orang asli Papua, alam bukan objek yang “dimiliki”, melainkan ibu yang memberi hidup. Hutan adalah ruang identitas, sungai adalah jalur kehidupan, tanah adalah tempat asal dan tempat kembali. Kearifan lokal Papua sejak lama mengajarkan batas dalam mengambil, kehati-hatian dalam mengelola, dan rasa hormat terhadap semesta. Dalam konteks ini, merusak alam Papua bukan hanya merusak lingkungan tetapi juga melukai peradaban dan martabat manusia.
Namun hari-hari belakangan, Papua menghadapi tekanan besar: pembukaan hutan skala luas, eksploitasi sumber daya, dan proyek-proyek yang kerap mengabaikan daya dukung ekologis serta abai atas suara masyarakat adat.
Jika paradigma yang digunakan tetap paradigma eksploitatif, maka Papua berisiko kehilangan bukan hanya hutannya tetapi juga dalam intaian bencana ekologi masa depan.
Menjaga alam Papua berarti menjaga paru-paru dunia, tetapi lebih dari itu, menjaga rumah hidup manusia —hari ini dan esok. Papua mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati tidak diukur dari seberapa cepat sumber daya dihabiskan, melainkan seberapa lama kehidupan dapat dipertahankan.
Iman, Kemanusiaan, dan Keadilan Antargenerasi
Lebih jauh, merawat alam adalah tindakan iman sekaligus tindakan kemanusiaan. Iman yang sejati tidak berhenti pada doa dan ritual, tetapi mewujud dalam sikap tanggung jawab terhadap kehidupan anugerah Allah. Setiap hutan Papua yang dijaga, setiap sungai yang tetap jernih, setiap tanah adat yang dihormati adalah bentuk kasih yang diteruskan —bukan diabaikan.
Persoalan lingkungan juga menyentuh dimensi keadilan antargenerasi. Alam yang kita rusak hari ini adalah hak hidup yang kita rampas dari anak cucu —baik di Papua maupun di seluruh dunia. Mereka berhak atas udara bersih, air layak, dan lingkungan yang sehat. Menjaga alam berarti menghormati masa depan.
Karena itu, sudah saatnya kita menggeser paradigma: dari eksploitasi ke perawatan, dari kepemilikan ke amanah hingga dari keserakahan ke tanggung jawab. Pendidikan, kebijakan publik, dan praktik pembangunan —terutama di Papua— harus berpijak pada kesadaran bahwa kasih Tuhan, martabat manusia, dan keberlanjutan alam tidak dapat dipisahkan.
Alam bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan bagi generasi mendatang. Ketika manusia menjaga alam, ia sedang menghormati kasih Tuhan. Ketika manusia merusaknya, ia sedang menolak amanah. Di titik inilah iman, etika, dan ekologi bertemu.
Menjaga bumi —dan menjaga Papua— bukan sekadar isu lingkungan lokal maupun global. Ia adalah panggilan iman, tugas kemanusiaan, dan tanggung jawab moral lintas generasi.










